Migrasi dari kartu SIM fisik ke eSIM menjadi salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk meminimalisir dampak terhadap perlindungan data pribadi dan menciptakan ruang digital yang lebih aman dan kondusif. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa transformasi menuju teknologi eSIM adalah bagian integral dari revolusi digital global yang semakin mendesak kebutuhan akan keamanan dan efisiensi yang lebih tinggi. Pernyataan ini disampaikan dalam Sosialisasi Peraturan Menteri tentang eSIM dan Pemutakhiran Data di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada Jumat (11/4/2025), seperti yang dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Melalui integrasi sistem digital dan pendaftaran biometrik, eSIM menawarkan perlindungan ganda terhadap penyalahgunaan data serta kejahatan digital yang semakin marak seperti spam, phishing, dan judi online. Tak hanya itu, Meutya juga menyoroti masalah terkait jumlah nomor seluler yang digunakan yang sering kali tidak sesuai ketentuan. Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021 mengatur bahwa setiap NIK (Nomor Induk Kependudukan) hanya boleh memiliki maksimal tiga nomor per operator seluler atau total sembilan nomor untuk tiga operator berbeda. Ironisnya, ada kasus di mana satu NIK digunakan untuk lebih dari 100 nomor, yang berisiko besar terhadap kejahatan digital dan dapat memengaruhi pemilik NIK yang sah.
Meskipun penggunaan eSIM pada smartphone flagship semakin populer, banyak pengguna mulai meragukan tingkat keamanannya. Apalagi, hari apes tidak ada dalam kalender. Lantas, apakah eSIM benar-benar lebih kebal terhadap risiko penyadapan dan duplikasi? Di satu sisi, penguatan enkripsi dan peningkatan keamanan kredensial data menjadi nilai tambah bagi penggunaan eSIM. Namun, di sisi lain, pengguna eSIM terus aktif ke jaringan operator dan tertanam dalam mesin smartphone yang membuatnya lebih mudah dilacak. Dari kedua sisi ini, seberapa aman eSIM dari risiko penyadapan dan duplikasi data? Berikut penjelasan selengkapnya!