5 Gunung di Indonesia yang Gak Disarankan untuk Tektok

Mendaki gunung menjadi pilihan banyak orang untuk melepas penat dari aktivitas sehari-hari yang begitu suntuk. Udara segar, pemandangan terbuka, dan sensasi mencapai puncak seringkali jadi alasan utama. Belakangan ini, muncul tren pendakian cepat atau hanya dilakukan sehari yang dikenal dengan istilah tektok. Aktivitas ini memang terdengar efisien, tapi tidak semua gunung cocok untuk dilakukan secara tektok karena faktor teknis dan keselamatan.
Beberapa gunung di Indonesia memiliki jalur ekstrem, perubahan cuaca yang cepat, atau medan yang sulit diprediksi. Pendakian tanpa perencanaan matang bisa berujung pada risiko yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Berikut sejumlah daftar gunung di Indonesia yang sebaiknya tidak kamu daki dengan metode tektok, meskipun kamu merasa cukup berpengalaman.
1. Gunung Semeru menyimpan risiko ketinggian yang tidak bisa disepelekan

Gunung Semeru memang ikonik, tapi pendakian cepat di sini sangat tidak disarankan. Jalurnya panjang, memakan waktu lebih dari delapan jam hanya untuk mencapai Kalimati. Belum lagi perjalanan ke puncak Mahameru yang memiliki medan berpasir terjal dengan risiko longsor batu dari atas. Tekanan udara rendah juga sering membuat pendaki mengalami gejala ketinggian seperti mual atau pusing.
Kondisi tersebut bukan hal yang bisa dianggap enteng. Banyak pendaki justru kewalahan di tengah jalan karena memaksakan diri tektok. Cuaca yang cepat berubah menambah kerentanan, apalagi jika kamu tidak punya waktu cukup untuk adaptasi. Di titik-titik kritis seperti Arcopodo atau Cemoro Tunggal, istirahat sering kali menjadi satu-satunya cara untuk menghindari kecelakaan. Jika memaksakan pulang-pergi dalam sehari, risiko ini justru akan meningkat drastis.
2. Gunung Rinjani menuntut fisik prima dan perencanaan matang

Gunung Rinjani memang sudah dikenal di dunia dengan jalur pendakiannya yang super panjang dan menantang. Dari Sembalun, butuh waktu sekitar 10 jam untuk sampai ke Plawangan. Pendakian ke puncak masih harus melewati jalur berpasir yang sempit dan curam. Jika tujuannya hanya untuk menaklukkan puncak dalam satu hari, kemungkinan besar fisik akan drop di tengah perjalanan.
Selain itu, suhu di malam hari bisa turun drastis, memicu hipotermia jika kamu kurang persiapan. Pendakian tanpa beristirahat cukup juga membuat tubuh kehilangan konsentrasi, meningkatkan risiko cedera. Banyak sekali pendaki yang nekat mencoba tektok di Gunung Rinjani akhirnya berhenti di tengah jalan atau bahkan harus dievakuasi karena kelelahan. Dengan medan seperti ini, Rinjani jelas bukan gunung yang cocok untuk diperlakukan terburu-buru.
3. Gunung Slamet memiliki jalur panjang dan vegetasi yang melelahkan

Jalur pendakian Gunung Slamet terkenal monoton dan panjang. Butuh waktu lebih dari 8-12 jam dari basecamp hingga ke puncak. Hutan lebat dan tanjakan konstan bisa menguras energi lebih cepat dari yang dibayangkan. Tekanan mental karena suasana sepi dan minim pemandangan juga sering membuat pendaki merasa lelah secara psikologis.
Kalau kamu mencoba tektok di sini, besar kemungkinan waktu tempuh akan melebihi target. Selain itu, kabut tebal sering muncul tiba-tiba, membuat arah menjadi tidak jelas. Jalur tanpa penanda yang memadai juga rentan menyebabkan tersesat. Jika dipaksakan tanpa istirahat dan persiapan matang, Slamet bisa berubah dari jalur menantang menjadi sangat berbahaya.
4. Gunung Raung menyajikan tantangan yang tidak bisa ditektok

Raung terkenal dengan trek ekstrem dan puncak kaldera yang harus dicapai lewat jalur panjat. Pendaki profesional pun harus menggunakan peralatan lengkap seperti harness dan tali karmantel. Tidak cukup hanya kuat secara fisik, kamu juga butuh skill teknis dan keberanian tinggi untuk bisa menyelesaikan jalurnya. Jalur menuju puncak juga sangat sempit dan rentan terhadap angin kencang.
Melakukan tektok di Gunung Raung bukan hanya nekat, tapi bisa berujung fatal. Waktu tempuh yang panjang dari Pos 1 ke Pos 9 saja sudah menguras tenaga. Begitu sampai di jalur tebing, kamu harus tetap fokus penuh tanpa gangguan kelelahan. Karena itu, Gunung Raung lebih cocok untuk ekspedisi beberapa hari agar pendakian tetap aman dan terkendali.
5. Gunung Merbabu menawarkan jalur panjang yang tidak ideal untuk tektok

Gunung Merbabu memang populer karena pemandangannya yang begitu elok, terutama sabana luas dan lanskap Gunung Merapi yang terlihat jelas saat cuaca cerah. Tapi untuk pendakian tektok, medan Gunung Merbabu bisa dibilang cukup menyulitkan, terutama jika dilakukan lewat jalur Selo, Cunthel, atau Thekelan. Jalurnya panjang dan cukup menanjak dengan kontur tanah yang mudah longsor di musim hujan. Meski beberapa pendaki berpengalaman mengklaim bisa menyelesaikan perjalanan ini dalam sehari, risiko kelelahan dan kurangnya waktu istirahat membuat tektok di Merbabu kurang disarankan.
Durasi tempuh yang panjang sering kali bikin pendaki terburu-buru agar bisa turun sebelum malam. Akibatnya, banyak yang melewatkan istirahat cukup atau mengabaikan kondisi fisik sendiri. Selain itu, waktu terbaik menikmati Merbabu justru saat bisa menginap di area sabana dan menyaksikan matahari terbit. Melakukan tektok di gunung ini bukan cuma berpotensi melewatkan momen terbaik, tapi juga bisa mengorbankan keselamatan. Jika ingin mendaki Merbabu, sebaiknya luangkan waktu lebih untuk menikmati jalur dan mengutamakan kondisi tubuh.
Tektok mungkin tampak praktis dan efisien, tapi tidak semua gunung bisa diperlakukan dengan pendekatan yang sama. Medan ekstrem, cuaca yang sulit ditebak, dan risiko teknis sering kali membuat metode ini jadi keputusan yang keliru. Lebih baik menyesuaikan gaya pendakian dengan kondisi lapangan agar perjalanan tetap aman dan pengalaman mendaki tidak berubah menjadi bencana.