Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Traveler Zaman Sekarang Lebih Memilih Slow Travel? 

ilustrasi traveling (unsplash.com/Hank Paul)
ilustrasi traveling (unsplash.com/Hank Paul)
Intinya sih...
  • Dunia traveling berubah, dari kunjungi banyak tempat dalam waktu singkat, kini banyak traveler pilih slow travel untuk meresapi tempat yang dikunjungi.
  • Slow travel memberikan pengalaman personal, refleksi diri, hemat energi dan ramah lingkungan, serta terlibat dalam gerakan ecotourism.
  • Traveling dengan slow travel mengajarkan untuk menikmati setiap momen, hadir sepenuhnya tanpa terburu-buru, serta membangun koneksi bermakna dengan warga lokal.

Dunia traveling sudah berubah. Dulu, orang liburan pengin bisa mengunjungi sebanyak mungkin tempat dalam waktu singkat. Semakin banyak spot yang bisa dicentang dari bucket list, makin keren rasanya.

Namun sekarang, banyak traveler mulai balik arah. Mereka justru pengen menikmati perjalanan dengan ritme yang lebih pelan, santai, dan bermakna. Inilah yang disebut slow travel.

Slow travel bukan cuma soal jalan-jalan santai, tapi lebih ke arah bagaimana seseorang benar-benar meresapi tempat yang dikunjungi. Bukan sekadar numpang foto lalu pergi.

Traveler zaman sekarang lebih sadar, kalau esensi jalan-jalan itu bukan di jumlah destinasinya, tapi seberapa dalam koneksi yang bisa dibangun sama tempat, budaya, dan orang-orang lokal. Kenapa traveler sekarang lebih memilih slow travelya?

1. Pengalaman lebih otentik dan personal

ilustrasi slow travel (unsplash.com/Mei-Ling Mirow)
ilustrasi slow travel (unsplash.com/Mei-Ling Mirow)

Slow travel bikin perjalanan jadi lebih personal. Ketika seseorang menginap lebih lama di satu tempat, mereka punya waktu buat mengenal budaya lokal dengan lebih dalam. Mulai dari ngobrol dengan pemilik warung kopi kecil sampai ikut kegiatan komunitas di desa, semua itu ngasih pengalaman yang gak bisa didapat kalau cuma mampir sebentar.

Bukan cuma soal budaya, tapi juga soal mengenal diri sendiri. Dengan waktu yang lebih longgar, seseorang bisa lebih reflektif. Ada ruang buat mikir, nulis jurnal, atau sekadar duduk diam sambil mendengar suara alam. Semua itu jadi semacam terapi alami yang bikin perjalanan terasa lebih menyentuh hati.

2. Lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan

ilustrasi slow travel (unsplash.com/jewad alnabi)
ilustrasi slow travel (unsplash.com/jewad alnabi)

Slow travel biasanya lebih hemat energi dan ramah lingkungan. Karena gak banyak pindah kota, otomatis transportasi yang digunakan juga lebih sedikit. Artinya, jejak karbon yang ditinggalkan juga lebih kecil. Banyak juga traveler yang mulai milih transportasi umum atau jalan kaki sebagai cara utama buat eksplorasi.

Selain itu, menginap di homestay atau akomodasi lokal juga bantu perekonomian masyarakat setempat. Gak cuma itu, banyak dari mereka juga mulai terlibat dalam gerakan ecotourism, seperti bawa botol minum sendiri, gak pakai plastik sekali pakai, dan menjaga kelestarian alam sekitar. Ini bentuk tanggung jawab sosial yang keren banget!

3. Gak cuma FOMO, tapi juga mindful

ilustrasi slow travel (unsplash.com/Aviv Rachmadian)
ilustrasi slow travel (unsplash.com/Aviv Rachmadian)

Kalau dulu banyak yang jalan-jalan karena takut ketinggalan tren alias fear of missing out (FOMO), sekarang trennya bergeser ke mindfulness. Orang makin sadar pentingnya hidup di saat ini. Gak mengejar itinerary, tapi lebih ke menikmati setiap momen yang ada.

Traveling jadi semacam latihan buat lebih peka, misalnya, menikmati secangkir teh di gang kecil Kyoto, Jepang, sambil ngobrol sama nenek penjual wagashi bisa jauh lebih berkesan daripada buru-buru ke lima kuil dalam satu hari. Slow travel mengajarkan buat hadir sepenuhnya, tanpa terburu-buru.

4. Koneksi lebih dalam dengan komunitas lokal

ilustrasi slow travel (unsplash.com/J F)
ilustrasi slow travel (unsplash.com/J F)

Ketika seseorang tinggal lebih lama di satu tempat, mereka jadi punya waktu buat kenal lebih dekat sama warga lokal. Bukan cuma ketemu sekilas, tapi bisa jadi teman ngobrol, bahkan teman makan bersama di rumah mereka. Ini bikin perjalanan jadi jauh lebih hangat dan bermakna.

Koneksi seperti gini gak bisa dibeli. Justru inilah yang sering jadi bagian paling memorable dari sebuah perjalanan. Banyak traveler slow travel yang akhirnya punya teman baru dari belahan dunia lain, atau bahkan balik lagi ke tempat yang sama karena sudah jatuh cinta sama komunitasnya.

5. Lebih hemat dan gak burnout

ilustrasi villa private (unsplash.com/Faruk Tokluoğlu)
ilustrasi villa private (unsplash.com/Faruk Tokluoğlu)

Traveling cepat-cepet sering kali malah bikin lelah dan boros. Bayangin saja, pindah hotel tiap malam, naik kereta atau pesawat antar ota, belum lagi bujet makan dan tiket masuk tempat wisata yang gak murah. Slow travel justru kebalikannya, lebih hemat karena tinggal lebih lama di satu tempat, jadi bisa dapet diskon akomodasi mingguan atau bulanan.

Selain hemat duit, slow travel juga lebih hemat energi. Gak ada drama bangun pagi buat mengejar itinerary padat. Ritmenya santai, jadi badan dan pikiran lebih rileks. Perjalanan kayak gini bisa jadi penyegaran total dari rutinitas, bukan malah bikin burnout pas balik dari liburan.

Slow travel bukan sekadar gaya jalan-jalan, tapi lebih ke filosofi hidup. Tentang menikmati setiap langkah, bukan cuma fokus ke tujuan. Tentang koneksi, kesadaran, dan keberlanjutan. Mungkin justru di era yang serbacepat ini, slow travel jadi cara terbaik buat kembali ke esensi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Daffa A.N
EditorDaffa A.N
Follow Us