Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
illustrasi navigasi (pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Membaca peta topografi dengan detail untuk memperkirakan medan dan estimasi waktu tempuh

  • Menggunakan kompas secara tepat dengan latihan rutin agar bisa diandalkan kapan pun

  • Mengamati tanda-tanda alam seperti arah matahari, bayangan, dan suara aliran sungai sebagai penanda arah

Mendaki gunung bukan cuma soal fisik kuat atau perlengkapan yang lengkap. Di balik keindahan jalur pendakian, ada tantangan tersembunyi yang harus dihadapi dengan bekal ilmu dan keterampilan mumpuni. Salah satu kemampuan yang sering terlupakan oleh pendaki modern adalah navigasi manual. Padahal, saat sinyal GPS menghilang di tengah rimbunnya hutan atau kabut tebal menyelimuti jalur, hanya keterampilan navigasi dasar yang bisa menyelamatkan perjalanan.

Menguasai teknik navigasi tanpa GPS bukan berarti kembali ke zaman purba, tapi justru menjadi bentuk kesiapan diri menghadapi kondisi darurat. Kompas, peta topografi, hingga kemampuan membaca tanda alam adalah senjata utama yang sering diremehkan. Justru inilah ilmu yang membedakan pendaki berpengalaman dengan pemula yang terlalu bergantung pada teknologi.

Supaya kamu tahu, berikut ini beberapa teknik dasar navigasi gunung tanpa bantuan GPS yang wajib dikuasai sebelum melangkah lebih jauh ke alam bebas. Akan sangat berguna di saat genting ketika mendaki, lho!

1. Membaca peta topografi secara akurat

illustrasi membaca peta (pexels.com/Baihaki Hine)

Peta topografi bukan cuma gambar kontur tanah, melainkan representasi medan yang kompleks. Lewat peta ini, pendaki bisa membaca ketinggian, lereng, punggungan, lembah, dan jalur air yang memengaruhi arah perjalanan. Membedakan kontur rapat dengan kontur renggang bisa membantu memperkirakan seberapa curam medan yang akan dilalui. Bahkan, lewat peta, pendaki bisa menentukan titik istirahat atau sumber air terdekat tanpa harus tersesat mencarinya.

Kemampuan membaca peta topografi dengan detail mengajarkan pendaki untuk memperkirakan estimasi waktu tempuh. Setiap simbol pada peta menyimpan informasi penting, mulai dari batas vegetasi hingga jalur yang mungkin tertutup. Jangan sekadar membawa peta sebagai formalitas, tapi pelajari dengan seksama sebelum dan selama perjalanan. Kombinasikan informasi di peta dengan pengamatan lapangan agar arah perjalanan tetap konsisten dan akurat.

2. Menggunakan kompas secara tepat

illustrasi kompas (pexels.com/Tobias Aeppli)

Kompas adalah alat sederhana yang tetap jadi andalan para pendaki profesional. Fungsi utamanya adalah menunjukkan arah mata angin, tapi dengan latihan, kompas bisa dipakai untuk menentukan bearing, membuat garis lintasan, hingga menyinkronkan arah peta. Sayangnya, banyak yang membawa kompas, tapi gak tahu cara memakainya secara benar. Hal seperti ini bisa berujung fatal saat berada di medan tanpa tanda arah yang jelas.

Penting untuk memahami bagaimana menyetel orientasi peta dengan kompas sebelum mulai berjalan. Kompas harus dipegang sejajar dengan tanah, lalu disesuaikan dengan arah utara magnetik yang ditunjukkan jarum. Setelah itu, arahkan pandangan ke medan nyata dan cocokkan dengan kontur peta. Keterampilan ini gak bisa dipelajari secara instan, tapi butuh latihan rutin agar refleksnya terbentuk dan bisa diandalkan kapan pun.

3. Mengamati tanda-tanda alam

illustrasi mendaki (pexels.com/Ali Kazal)

Alam selalu memberi petunjuk bagi mereka yang tahu cara membacanya. Arah matahari terbit dan terbenam, bentuk bayangan, hingga posisi lumut di pohon bisa digunakan sebagai acuan kasar arah mata angin. Meski metode ini gak seakurat kompas atau peta, tapi tetap bisa membantu saat berada di kondisi darurat. Bahkan, suara aliran sungai atau angin yang konsisten bisa dijadikan penanda keberadaan lembah atau celah.

Pendaki yang peka terhadap tanda alam biasanya lebih cepat beradaptasi terhadap perubahan medan. Misalnya, saat awan mendung berkumpul di satu sisi punggungan, itu bisa jadi tanda perubahan cuaca ekstrem. Atau, saat vegetasi berubah dari lebat ke terbuka, berarti pendaki mungkin sedang berpindah dari zona hutan ke padang rumput. Semua ini penting dipahami sebagai bagian dari navigasi alami yang tak kalah penting dari alat modern.

4. Membuat sketsa jalur dan catatan perjalanan

illustrasi membuat sketsa jalur (pexels.com/Philipp Aleev)

Sketsa jalur adalah salah satu teknik navigasi manual yang sangat berguna saat memasuki area yang belum dipetakan secara lengkap. Dengan membuat catatan tentang belokan, jarak tempuh, dan titik-titik penting sepanjang jalur, pendaki bisa merekonstruksi posisi mereka jika tersesat. Sketsa ini gak harus sempurna, yang penting mencerminkan bentuk medan secara umum agar arah balik bisa ditemukan dengan mudah.

Catatan perjalanan juga membantu pendaki untuk mengevaluasi kecepatan tempuh dan memprediksi waktu sampai ke tujuan berikutnya. Di situ, bisa dicatat berapa lama waktu tempuh dari pos A ke pos B, kondisi jalur, dan rintangan yang dihadapi. Selain meningkatkan kesadaran medan, catatan ini bisa jadi dokumentasi penting untuk pendakian berikutnya atau untuk membantu tim SAR dalam kondisi darurat.

Navigasi tanpa GPS bukan hanya keterampilan lama yang dilestarikan, tapi juga strategi penyelamatan diri yang terbukti efektif di berbagai situasi. Pendaki yang menguasai teknik ini akan jauh lebih tenang dan percaya diri ketika sinyal hilang atau peralatan digital gagal berfungsi.

Memahami arah tanpa bantuan teknologi bukan langkah mundur, tapi bentuk kesiapan mental dan teknis dalam menghadapi medan liar. Jadi sebelum mendaki lagi, pastikan semua teknik di atas benar-benar sudah dikuasai dengan baik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team