DPR Sebut Lanjutan Pembahasan RUU TNI Ditentukan Kesepakatan Politik

- RUU TNI masuk Program Legislasi Nasional
- Menteri Hukum bantah dalil tidak memenuhi asas keterbukaan
- Pemerintah juga bantah tidak melibatkan partisipasi bermakna publik
Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dengan agenda Mendengar Keterangan DPR dan Presiden untuk lima perkara sekaligus yakni Perkara Nomor 45, 69, 81, 56, dan 75/PUU-XXIII/2025 pada Senin (23/6/2025).
Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto mengatakan, lanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI sangat ditentukan oleh kesepakatan politik antara Presiden dan DPR RI periode baru (2024-2029).
“Dalam hal Presiden yang baru berkeputusan untuk melanjutkan proses pembentukan RUU dan mengirim surat Presiden Nomor R-12/Pres/02/2025 tanggal 13 Februari 2025 untuk melakukan proses pembahasan RUU yang dibahas sebelumnya dan DPR RI menyetujui untuk melakukan pembahasan. Hal tersebut dapat dimaknai adanya kesepakatan politis untuk melanjutkan proses pembentukan RUU a quo dan pembentukan undang-undang tersebut konstitusional,” kata Utut dalam persidangan.
Dilihat dari paparannya, surat presiden yang ditandatangani Prabowo Subianto kepada Ketua DPR RI tersebut perihal penunjukan wakil pemerintah untuk membahas RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI. Isi surat tersebut pada pokoknya disebutkan sehubungan adanya penataan kelembagaan dan perubahan nomenklatur kementerian dan menteri yang ditugaskan yakni Menteri Hukum, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Sekretaris Negara.
1. RUU TNI masuk Program Legislasi Nasional

Selain itu, Utut menyampaikan, RUU TNI masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) karena terdapat Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 mengenai pengujian usia pensiun bagi perwira, bintara, dan tamtama. Meskipun dalam putusan itu MK menolak permohonan untuk seluruhnya, tetapi dalam pertimbangan MK disebutkan, mengacu pada keterangan presiden dan keterangan DPR yang juga dibenarkan Panglima TNI sebagai Pihak Terkait, perubahan UU 34/2004 telah tercantum dalam Daftar Prolegnas RUU Perubahan Kedua Tahun 2020-2024 nomor urut 131.
Sehingga demi memberikan kepastian hukum, pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU 34/2004 dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Ia juga mengatakan, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) memberikan dasar hukum untuk melanjutkan pembahasan RUU kepada DPR RI dan pemerintah periode selanjutnya tanpa mengulangi proses dari awal. Selain itu, Utut menuturkan, tidak ada larangan terkait penggunaan naskah akademik atau draf RUU dari periode DPR RI sebelumnya. Sementara, perbedaan muatan materi antara naskah akademik dan UU yang disahkan tidak menyebabkan proses pembentukan undang-undang tersebut menjadi inkonstitusional.
2. Menteri Hukum bantah dalil tidak memenuhi asas keterbukaan

Presiden pada persidangan kali ini diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Supratman membantah dalil para Pemohon yang menyebutkan pembentukan UU 3/2025 tidak memenuhi asas keterbukaan sebagaimana ditentukan UU P3. Dia mengeklaim pemerintah telah melakukan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat terkait substansi yang kemudian menjadi materi muatan UU 3/2025 sejak 2023 dengan beberapa kegiatan.
“Sebelum RUU (Rancangan Undang-Undang) TNI Perubahan diusulkan oleh DPR RI, Pemerintah telah melakukan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat terkait substansi yang kemudian menjadi materi muatan UU 3/2025 sejak tahun 2023 dengan beberapa kegiatan berupa FGD (fokus grup diskusi) yang diselenggarakan oleh Babinkum Mabes (Badan Pembinaan Hukum Markas Besar) TNI,” kata Supratman.
Selanjutnya, kata Supratman, RUU TNI Perubahan diusulkan oleh DPR RI. Karena RUU TNI Perubahan merupakan inisiatif DPR, maka proses pembentukan RUU TNI Perubahan dikoordinasikan oleh DPR dan dokumentasinya disimpan oleh DPR. Menurut Supratman, RUU TNI Perubahan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 49 UU P3.
Pada tahap penyusunan, pemerintah menyusun DIM RUU TNI Perubahan setelah adanya surat dari DPR RI Nomor B/5667/LG.01.01/5/2024 tertanggal 28 Mei 2024 Perihal Penyampaian RUU Usul DPR RI Tentang Perubahan Atas UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Penyusunan DIM pada tahun 2024 dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Dalam rangka penyusunan DIM pada tahun 2024 yang dikoordinasikan oleh Kemenko Polhukam, pemerintah telah menyelenggarakan kegiatan uji publik melalui kegiatan dengar pendapat publik RUU TNI dan RUU tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada 11 Juli 2024 bertempat di Hotel Borobudur Jakarta dengan dihadiri dari unsur kementerian/lembaga, akademisi dan kelompok masyarakat sipil. Kemudian hasil dari uji publik tersebut dituangkan dalam DIM dan dilaksanakan beberapa kali rapat penyusunan dan pengayaan. Hasil penyusunan DIM ini selanjutnya disampaikan kepada DPR RI untuk dilakukan pembahasan.
Pemerintah juga mengeklaim pada tahap pembahasan telah dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 UU P3 melalui Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II. Dalam rapat Pembicaraan Tingkat II pada 20 Maret 2025 yang dihadiri pimpinan DPR RI, anggota DPR RI, serta unsur pemerintah telah disepakati untuk menyetujui RUU TNI Perubahan ditetapkan sebagai Undang-Undang.
Setelah Pembahasan Tingkat II dan adanya persetujuan RUU TNI Perubahan ditetapkan sebagai Undang-Undang, DPR RI menyampaikan Surat Ketua DPR RI kepada Presiden RI Nomor: B/4342/LG.01.03/3/2025 tanggal 20 Maret 2025. Selanjutnya RUU TNI Perubahan tersebut disahkan dan diundangkan pada 26 Maret 2025 sebagai UU 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
3. Pemerintah juga bantah tidak melibatkan partisipasi bermakna publik

Selain itu, pemerintah membantah dalil para Pemohon yang menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak memenuhi prinsip meaningful participation. Dia mengatakan, pelaksanaan prinsip meaningful participation utamanya diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Sementara, pemerintah menilai para Pemohon yang memiliki fiduciary duty tidak dapat dijadikan alasan adanya kerugian dan pertautan langsung para Pemohon dengan UU TNI ini.
Menurut pemerintah, Mahkamah bukanlah forum public interest litigation yang membuka ruang bagi setiap pihak untuk mengajukan permohonan atas dasar perhatian moral atau aspirasi politik. Karena itu, fiduciary duty para Pemohon lebih tepat disalurkan melalui mekanisme advokasi publik atau saluran politik, bukan melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Di samping itu, digunakan atau tidaknya hak memberikan masukan (hak untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan) oleh masyarakat, kendali sesungguhnya berada pada masyarakat itu sendiri. Penyerapan aspirasi masyarakat yang kemudian dituangkan sebagai materi muatan RUU TNI Perubahan yang telah dimulai sejak tahun 2023 menunjukan bahwa proses pembentukan UU 3/2025 tidak dilakukan secara tergesa-gesa, memenuhi asas keterbukaan, dan memenuhi prinsip meaningful participation.
Sementara, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, isu yang mengemuka dan menjadi titik krusial terkait UU TNI ini ialah dikategorikannya RUU TNI sebagai RUU carry over dari periode sebelumnya. Saldi menyebutkan ada dua syarat agar RUU termasuk carry over yaitu jika pada tahapan sebelumnya atau DPR periode sebelumnya telah masuk pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan harus dimasukkan kembali ke Proglenas periode berikutnya pada masa jabatan DPR periode baru.
“Karena dia tidak selesai dan itu, tahapannya apa sih yang dilakukan di periode sebelumnya yang diceritakan itu, sudah mengundang ini, bahkan ada Pemohon yang diundang di periode sebelumnya itu, lalu itu kan terputus karena bergantinya periode DPR. Nah, tolong nanti kami diberikan penjelasan dan bukti sudah sampai di tahapan apa dan apa kira-kira ijab kabulnya dari proses DPR yang lama ke DPR yang baru berkaitan dengan ini. Karena ini apa, proses transisi itu yang akan menjadi titik ketersambungan sehingga dia bisa dikatakan memenuhi unsur carry over itu,” tutur Saldi.
Sedangkan terkait dengan Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021, Saldi mengatakan, dasar untuk perintah harus melaksanakan perubahan UU 34/2004 ialah berkaitan dengan usia pensiun TNI. Namun, perubahan UU TNI saat ini telah meluas ke persoalan lainnya. Karena itu, Saldi meminta penjelasan alasan terkait ketentuan-ketentuan yang diubah di luar usia pensiun sebagaimana pertimbangan Mahkamah.
Dia juga meminta DPR maupun Presiden menyampaikan bukti-bukti berupa foto, video, ataupun dokumen lain yang meyakinkan atas setiap kegiatan/acara yang terkait dengan proses pembentukan UU TNI. Menurut para hakim konstitusi, hal ini sangat penting bagi Mahkamah untuk menilai perkara pengujian formil UU TNI.
“Supaya Mahkamah punya pengetahuan yang memadai dan cukup komprehensif berkaitan dengan proses ini,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Sebagai informasi, Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima mahasiswa yaitu Muhammad Alif Ramadhan, Kelvin Oktariano, Mohammad Syaddad Sumartadinata, Fiqhi Firmansyah, dan Imam Morezki Bastanta Manihuruk. Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima mahasiswa yaitu Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando. Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 dimohonkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) beserta perseorangan lainnya Inayah WD Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty.
Para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan pelanggaran sejumlah asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Asas dimaksud di antaranya asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; asas dapat dilaksanakan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas kejelasan rumusan; serta asas keterbukaan.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan pembentukan UU 3/2025 tentang Perubahan atas UU 34/2004 tentang TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945, menyatakan UU 3/2025 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan UU 34/2004 tentang TNI berlaku kembali.