Pemusnahan Amunisi TNI Berujung Maut

- Keluarga bantah korban masuk secara ilegal ke area pemusnahan amunisi
- Keluarga terkejut karena ditinggal mendadak
- Temuan Komnas HAM buktikan TNI AD ikut libatkan 21 warga sipil
Jakarta, IDN Times - Tangis warga menyelimuti RSUD Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat pada 12 Mei 2025 lalu. Mereka menanti kepastian identifikasi dari korban ledakan amunisi afkir milik TNI Angkatan Darat (AD).
Ledakan amunisi yang sudah kedaluwarsa itu menewaskan 13 orang. Sembilan orang di antaranya merupakan warga sipil. Sedangkan Kepala Gudang Pusat Amunisi III Pusat Pelatihan TNI AD Kolonel Cpl Antonius Hermawan ikut gugur bersama tiga anggota TNI AD lainnya.
Dalam proses aktivitas yang berbahaya itu, rupanya tidak hanya militer yang berada di lokasi pemusnahan amunisi di Desa Sagara, Kabupaten Garut. Warga sipil pun ikut terlibat dalam pemusnahan amunisi.
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi, ketika itu menyampaikan warga sipil bisa ikut tewas karena diduga kuat mendekat ke titik lokasi pemusnahan untuk mengambil sisa lempengan amunisi yang masih memiliki nilai jual ekonomi. Tak lama setelah pernyataan itu, kecaman datang dari ruang media sosial terhadap korban.
Seorang anak perempuan yang mengenakan jilbab hitam memprotes pernyataan Kristomei. Ia membantah ayahnya meninggal karena ikut memulung sisa amunisi yang diledakan. Bantahan itu disampaikan perempuan tersebut di hadapan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
"Saya meminta pertanggungjawabannya. Karena bapak saya di situ bukan seperti yang orang-orang pikirin. Bapak saya bukan mulung! Bapak saya di situ kerja sama tentara!" ujar anak korban sambil meneteskan air mata di hadapan Dedi di depan RSUD Pameungpeuk.
Anak korban mengetahui hal itu lantaran sudah sejak sekolah ia menyaksikan ayahnya membantu TNI. "Sudah lama bapak saya (kerja sama TNI). Sudah ke mana-mana, sudah ke Manado, Makassar, Bali, Jakarta, Mabes Polri," kata anak korban.
1. Keluarga bantah korban masuk secara ilegal ke area pemusnahan amunisi

Anggota keluarga korban juga membantah ayahnya masuk ke lokasi pemushanan amunisi di Desa Sagara secara ilegal. Ia justru ikut membantu TNI Angkatan Darat (AD) untuk memusnahkan amunisi yang sudah tidak terpakai.
"Katanya banyak yang bilang kalau bapak saya ke situ nyelonong, ngelawan TNI, itu gak bener!" kata anak korban.
Pernyataan anak korban tersebut sejalan dengan viralnya video sebelum terjadi ledakan amunisi di Desa Sagara. Dalam video yang viral itu, terlihat dua pria tanpa peralatan yang mumpuni tengah memukul amunisi di sebuah tenda. Mereka tidak terlihat mengenakan pakaian dinas TNI sehingga diduga merupakan warga sipil.
Sedangkan, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berusaha memahami runtutan pengakuan dari para keluarga korban. Dalam pandangannya, keterlibatan warga sipil dalam aktivitas pemusnahan amunisi sama seperti kecelakaan kerja di tempat lain.
"Jadi, posisinya ini sudah biasa bekerja di situ, dan ini kategorinya adalah sedang melakukan pekerjaan. Ini kategorinya kecelakaan (kerja). Ini kayak orang lagi nyangkul kepancong, orang lagi melaut tenggelam, orang lagi nyetir (mengalami) tabrakan," tutur dia.
2. Keluarga terkejut karena ditinggal mendadak

Sementara, rasa duka mendalam juga terasa di rumah duka Kolonel Cpl Antonius Hermawan di Kaliwanglu, Harjobinangun, Pakem, Sleman. Hermawan adalah anak kebanggaan dari keluarganya. Sebab, ia satu-satunya yang berkarier di dunia militer dan sudah menjadi perwira menengah.
"Kami punya anak apalagi bisa masuk di perwira itu adalah kebanggaan. Dengan adanya (insiden) ini jelas itu merupakan yang terpukul bagi kami," ujar ayah Hermawan, Johanes Sugiarto, yang ditemui di rumah duka pada pertengahan Mei lalu.
Meski begitu, keluarga mencoba tabah. Sebab, ia yakin apa yang menimpa Hermawan sudah digariskan oleh Tuhan.
"Untungnya kami masih bisa besar iman sehingga apapun yang terjadi yang diberikan dan itu yang diambil dari Beliau yang di atas," imbuhnya.
Namun, hasil penyelidikan yang dilakukan oleh tim investigasi, Mabes TNI justru melempar kesalahan semata kepada Hermawan. Padahal, ia sudah gugur dalam bertugas. Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi menyebut, pelibatan warga sipil dalam aktivitas peledakan amunisi menjadi tanggung jawab Hermawan.
"Jadi investigasi menyatakan bahwa ada kelalaian tadi dari Almarhum sebagai Kagupus sehingga masyarakat sipil tadi ikut dalam (aktivitas) peledakan. Nah, kesalahan sebenarnya di situ," ujar Kristomei di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada 26 Mei 2025 lalu.
Menurut Kristomei, warga sipil yang turut menjadi korban dalam ledakan di Garut sebelumnya hanya dipekerjakan untuk membantu mengangkat barang hingga menyediakan konsumsi.
Namun dalam insiden ledakan pada 12 Mei 2025, warga sipil justru ikut serta dalam proses pemusnahan amunisi dan alat peledak kedaluwarsa.
"Biasanya mereka hanya membantu dalam rangka, misalnya tugas-tugas perbantuan, misalnya mengangkat barang, kemudian memasak. Tidak dilibatkan dalam (aktivitas) ledakan," kata jenderal bintang dua itu.
"Nah, hasil investigasi itu menyatakan bahwa ada kesalahan prosedur yang dilakukan oleh almarhum," imbuhnya.
3. Temuan Komnas HAM buktikan TNI AD ikut libatkan 21 warga sipil

Sementara, berdasarkan temuan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada 21 warga sipil yang diajak untuk menjadi tenaga harian lepas dan diberi honor Rp150 ribu per hari.
Itu menjadi jawaban mengapa bisa terdapat warga sipil yang ikut jadi korban meninggal dunia. Padahal, sesuai aturan, area pemusnahan amunisi seharusnya tidak melibatkan warga sipil yang tak memiliki sertifikasi khusus.
"Kegiatan pemusnahan amunisi oleh jajaran Puspalad TNI-AD turut serta melibatkan 21 warga sipil yang dipekerjakan sebagai tenaga harian lepas," ujar Komisioner Komnas HAM bidang pemantauan dan penyelidikan, Uli Parulian Sihombing, ketika memberikan keterangan pers pada 23 Mei 2025 lalu di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.
Aktivitas pemusnahan amunisi, kata Uli, memang menjadi kegiatan rutin bagi TNI AD. Mereka berencana melakukan pemusnahan amunisi dalam dua gelombang.
Gelombang pertama, pemusnahan amunisi berlangsung pada 17 April hingga 5 Mei 2025. Sedangkan, pemusnahan gelombang kedua dilakukan pada 29 April hingga 15 Mei 2025. Amunisi itu diketahui merupakan inventaris dari Gudang Pusat Amunisi III yang berlokasi di Cakung, Jakarta Timur. Namun, aktivitas pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Desa Sagara pada 12 Mei 2025 lalu berujung maut.
4. Warga sipil yang diajak pemusnahan amunisi tak melalui proses pelatihan

Uli juga menjelaskan, puluhan pekerja lepas yang membantu pemusnahan amunisi TNI AD di Kabupaten Garut berada di bawah koordinasi Rustiawan. Rustiawan termasuk satu dari sembilan warga sipil yang ikut meninggal dunia.
"Saudara Rustiawan sudah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja dalam proses pemusnahan amunisi, baik dengan TNI maupun Polri," kata Uli.
Tetapi, puluhan pekerja lepas itu tidak pernah memiliki sertifikasi mengenai pemusnahan amunisi milik instansi kepolisian atau militer. "Para pekerja diajarkan atau belajar secara otodidak selama bertahun-tahun dan tidak melalui proses pendidikan atau pelatihan yang tersertifikasi," tutur dia.
Komnas HAM turut melaporkan sebelum terjadi ledakan, sempat terjadi perdebatan singkat antara Komandan Gapusmus dengan koordinator pekerja yang dipimpin Rustiawan. Mereka berdebat mengenai penanganan sisa detonator yang belum dimusnahkan.
"Biasanya (detonator) dimusnahkan dengan cara akan ditenggelamkan ke dasar laut untuk mempercepat proses disfungsi. Namun, pada hari itu dipilih dengan cara menimbun (amunisi) dengan menggunakan campuran urea," kata Uli.
Ketika ledakan terjadi para korban, kata Uli, sedang menurunkan sisa detonator yang telah dimasukan ke dalam drum. Drum tersebut akan ikut dimasukan ke dalam lubang.
"Posisinya beberapa orang berada di dalam lubang dan sisanya berada di sekitar lubang dan sedang mengangkut material detonator," ujarnya.
Tetapi, saat proses tersebut dilakukan, drum yang berisi detonator tersebut tiba-tiba meledak.
5. TNI AD pertimbangkan tambah lokasi pemusnahan amunisi

Sementara, TNI Angkatan Darat (AD) sedang mempertimbangkan menambah lokasi pemusnahan amunisi kedaluwarsa. Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Wahyu Yudhayana mengatakan, rencana menambah lokasi penghancuran afkir itu bagian dari evaluasi imbas peristiwa ledakan di Garut, Jawa Barat pada pertengahan Mei lalu.
"Kami mencoba mengevaluasi tempat yang sudah ada sekarang, dan juga menambah titik-titik penghancuran di tempat lain, yang aman," ujar Wahyu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada 26 Mei 2025 lalu ketika menjawab pertanyaan IDN Times.
Berdasarkan penjelasannya, saat ini baru ada dua lokasi pemusnahan amunisi kedaluwarsa yaitu di Kebumen, Jawa Tengah dan Garut, Jawa Barat. Dia mengatakan, penambahan lokasi pemusnahan afkir itu diperlukan mengingat lokasi tersebut hanya ada di Pulau Jawa. Area di Garut itu pun tanahnya meminjam dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Garut.
"Kami tidak punya titik penghancuran di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Kami memerlukan pertimbangan (untuk menambah)," tutur dia.
TNI AD, kata dia, juga mempertimbangkan untuk memiliki lahan sendiri dalam kegiatan peledakan amunisi kedaluwarsa tersebut. Menurut dia, bila aparat militer memiliki lahan sendiri untuk proses pemusnahan afkir itu maka hasilnya lebih optimal.
6. Panglima TNI berjanji akan ubah SOP pemusnahan amunisi afkir

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan, pihaknya akan mengubah prosedur standar terkait pemusnahan amunisi yang sudah kedaluwarsa. Kebijakan ini diambil usai terjadi ledakan amunisi di Kabupaten Garut pada 12 Mei 2025, yang menewaskan 13 orang, termasuk sembilan warga sipil.
Dalam pandangan Agus, amunisi yang sudah kedaluwarsa sensitif terhadap gerakan, gesekan dan cahaya. Akibatnya mudah untuk meledak.
"Sehingga, memang ini jadi masukan buat kami. SOP-nya nanti akan kami ubah supaya personel yang melaksanakan pemusnahan itu bisa aman. Kami akan koreksi ke dalam, mudah-mudahan tidak terjadi seperti itu," ujar Agus usai menggelar rapat tertutup dengan komisi I DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat.
Dalam kesempatan itu, jenderal bintang empat tersebut justru menyebut tidak melibatkan masyarakat sipil dalam aktivitas berbahaya. Warga sipil hanya membantu aktivitas administratif dan memasak bagi prajurit TNI yang bermalam di titik pemusnahan amunisi.
"Sebenarnya, masyarakat sipil itu tukang masak dan pegawai di situ," tutur dia.
Ketika ditanyakan kembali mengapa bisa puluhan tahun warga sipil ikut membantu aktivitas pemusnahan, Agus lagi-lagi hanya menyebut mereka bertugas sebagai juru masak.
Perbedaan pernyataan itu kemudian dikecam oleh koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan. Salah satu LSM yang ikut tergabung di dalam koalisi sipil adalah Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Mereka menyayangkan pernyataan Agus yang menyangkal adanya pelibatan warga sipil dalam aktivitas pemusnahan amunisi yang telah kedaluwarsa.
"Pernyataan itu memberikan indikasi kuat rendahnya tingkat obyektivitsas, integritas dan kredibilitas penyelidikan internal TNI atas kasus ini," ujar Ketua PBHI, Julius Ibrani di dalam keterangan tertulis.