Mengapa Klub Degradasi EPL Lebih Cuan dari Juara Liga Eropa Lain?

- Klub degradasi EPL tetap kaya berkat parachute payments yang besar
- Pendapatan siaran TV EPL fantastis, lebih dari liga top Eropa lainnya
- Keuntungan besar dari pendapatan komersial dan matchday yang semakin meningkat
English Premier League (EPL) bukan hanya liga paling kompetitif di dunia. Liga ini juga menjadi yang paling menguntungkan secara finansial. Bahkan, klub yang terdegradasi dari EPL tetap membawa pulang hadiah finansial yang mampu menyaingi atau bahkan melampaui pendapatan klub juara di liga top Eropa lainnya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kesenjangan ekonomi antar liga yang semakin melebar.
Ketika juara liga Eropa lain, seperti Eredivisie, Primeira Liga, atau bahkan Serie A harus mengencangkan ikat pinggang, klub papan bawah EPL justru menerima uang pelipur lara dalam jumlah fantastis. Hal ini menunjukkan betapa besarnya daya tarik komersial EPL dan bagaimana sistem distribusi keuangannya menciptakan ketimpangan global. Berikut lima alasan utama klub degradasi EPL bisa lebih cuan dari para juara liga Eropa lain.
1. Parachute payments yang menghasilkan keuntungan besar
Klub yang terdegradasi dari English Premier League tidak benar-benar kehilangan segalanya karena mereka masih menerima dana kompensasi bernama parachute payments yang nilainya sangat besar. Dilansir Give Me Sports, parachute payments adalah skema kompensasi finansial dari English Premier League untuk klub-klub yang terdegradasi dan diberikan selama maksimal 3 tahun. Pada tahun pertama setelah degradasi, klub menerima sekitar 55 persen dari bagian hak siar bersama (equal share), yaitu 40 juta pounds atau sekitar Rp884 miliar. Pada tahun kedua, nilai ini turun menjadi 45 persen, yaitu 35 juta pounds atau sekitar Rp773 miliar. Sementara pada tahun ketiga, klub menerima sekitar 20 persen, yakni 15 juta pounds atau sekitar Rp330 miliar.
Skema ini menjadi alasan kuat klub-klub yang baru terdegradasi dari EPL tetap lebih kaya secara finansial dibandingkan juara liga dari negara lain. Sebagai perbandingan, juara Liga Portugal hanya memperoleh sekitar 10 juta euro atau sekitar Rp175 miliar dari hak siar domestik dalam satu musim. Bahkan, klub-klub juara di liga-liga Eropa lainnya, seperti Liga Skotlandia atau Eredivisie Belanda, memiliki total pendapatan tahunan yang lebih rendah daripada nilai parachute payment satu tahun dari EPL.
Misalnya, Feyenoord sebagai juara Eredivisie 2022/2023 hanya menerima hadiah sekitar 10 juta euro (Rp189 miliar) dari liga. Bahkan, Inter Milan yang menjuarai Serie A 2023/2024 mendapatkan hadiah liga kurang dari 25 juta euro (Rp472 miliar). Hal ini menciptakan kesenjangan besar, di mana klub yang turun kasta dari EPL bisa tetap lebih kaya secara finansial dibanding klub juara liga lain yang seharusnya berada di puncak kejayaan.
2. Dominasi pendapatan siaran TV EPL yang fantastis
English Premier League dikenal sebagai liga terkaya di dunia. Salah satu faktor utamanya adalah pendapatan fantastis dari hak siar televisi. Pada 2023/2024, total pendapatan EPL diperkirakan mencapai 6,3 miliar pounds atau sekitar Rp139 triliun. Bahkan, nyaris setengahnya atau 3,25 miliar pounds (sekitar Rp59 triliun) berasal dari penjualan hak siar domestik dan internasional. Angka ini jauh melampaui pendapatan liga-liga top Eropa lainnya, seperti La Liga Spanyol yang hanya mengumpulkan sekitar 3,7 miliar euro atau sekitar Rp69 triliun dan Bundesliga Jerman yang mencapai sekitar 3,6 miliar euro atau sekitar Rp68 triliun per musim.
Dalam siklus hak siar 2022–2025, English Premier League mampu menghasilkan rata-rata 3,5 miliar euro atau sekitar Rp66 triliun per tahun. Nominal ini menyamai bahkan melampaui gabungan pendapatan hak siar Bundesliga dan La Liga yang merupakan rival terdekatnya. Menurut data Statista, nilai kontrak hak siar tahunan EPL telah menyentuh angka 4,5 miliar euro atau sekitar Rp81 triliun, sementara La Liga hanya berada di kisaran 2 miliar euro atau sekitar Rp36 triliun. Pencapaian ini menunjukkan dominasi kekuatan merek EPL secara global, termasuk pasar Asia dan Amerika yang sekaligus menciptakan ekosistem keuangan yang tidak tertandingi oleh liga-liga lain.
Skema pembagian hak siar di EPL juga menjadi faktor krusial dalam menjamin stabilitas keuangan klub, termasuk yang mengalami degradasi. Dari total pendapatan hak siar, sekitar 50 persen dibagi rata kepada semua klub, 25 persen berdasarkan posisi akhir klasemen, dan sisanya didistribusikan berdasarkan jumlah pertandingan yang disiarkan langsung. Dengan sistem ini, klub yang bahkan berada di posisi ke-20 sekalipun masih dapat menerima puluhan juta pound sterling dari hak siar.
3. Keuntungan besar dari pendapatan komersial yang terus melejit
Pada musim 2023–2024, total pendapatan English Premier League meningkat sebesar 4 persen menjadi 6,3 miliar pounds atau sekitar Rp139 triliun. Dari total pendapatan tersebut, sektor komersial menyumbang porsi yang besar. Pendapatan dari sponsor, penjualan merchandise, tur stadion, dan aktivitas non-pertandingan tercatat mencapai 2,15 miliar pounds atau sekitar Rp55 triliun. Angka ini mengalami pertumbuhan 9 persen dibandingkan musim sebelumnya. Klub-klub seperti Manchester United, Arsenal, dan Liverpool menjadi penyumbang terbesar dalam kategori ini yang berasal dari kesepakatan kontrak sponsor jersey utama dengan apparel masing-masing. Dilansir Reuters, klub-klub selain big six juga menggencarkan pengembangan fasilitas untuk menyelenggarakan konser dan acara lain yang makin mendorong diversifikasi sumber pendapatan
Pertumbuhan sektor komersial ini membuat English Premier League unggul dibandingkan liga-liga besar lainnya di Eropa dalam hal diversifikasi pendapatan. Menurut data yang dirilis Deloitte, dari total pendapatan sebesar 20,4 miliar euro atau sekitar Rp385 triliun yang dihasilkan oleh lima liga top Eropa, sekitar 8 miliar euro atau sekitar Rp151 triliun berasal dari aktivitas komersial dan klub-klub English Premier League menjadi kontributor utama. Bahkan, dari total 11,2 miliar euro atau sekitar Rp211 triliun yang dihasilkan oleh klub-klub elit dunia, sekitar 44 persen di antaranya berasal dari sektor komersial sehingga melampaui pendapatan dari siaran televisi maupun penjualan tiket.
Dari adanya struktur pendapatan yang terdiversifikasi ini, klub-klub English Premier League, termasuk yang terdegradasi, tetap memiliki fondasi finansial yang kuat untuk bertahan dan bersaing. Sementara juara liga-liga kecil Eropa kerap bergantung pada satu sumber pendapatan seperti hak siar atau tiket, klub EPL memiliki lebih banyak jalur pemasukan yang terus berkembang. Inilah alasannya meski secara prestasi menurun, secara ekonomi klub-klub degradasi EPL masih berada jauh di atas banyak juara liga lain di Eropa.
4. Matchday menjadi sumber pendapatan yang semakin besar
Pada 2022/2023, pendapatan matchday English Premier League melesat hingga mencapai sekitar 867 juta pounds atau sekitar Rp19 triliun. Angka ini tumbuh 14 persen dari tahun sebelumnya, seiring rekor rata-rata kehadiran sebanyak 40.291 penonton per pertandingan dan kenaikan harga tiket. Pertumbuhan ini terus berlanjut pada 2023/2024 ketika pendapatan dari hari pertandingan (matchday revenue) mencapai 909 juta pounds atau sekitar Rp20 triliun. Kenaikan ini dipicu oleh meningkatnya rata-rata uang yang dibelanjakan setiap penonton, dari sekitar 47 pounds menjadi 52 pounds per orang, sebagaimana dikutip Matchday Finance. Selain tiket, klub-klub juga mendapat pemasukan lebih besar dari layanan eksklusif seperti ruang VIP dan paket jamuan makan bagi tamu korporat.
Klub-klub besar seperti Manchester United, Arsenal, dan Liverpool memanfaatkan kapasitas besar stadion mereka untuk menghasilkan pendapatan rata-rata per pertandingan mereka terus meningkat. Dilansir The Sports Journal, investasi besar dalam renovasi dan pengembangan stadion turut meningkatkan kapasitas dan kualitas fasilitas. Misalnya, Anfield dan Etihad Stadium mengalami ekspansi yang meningkatkan pendapatan per penonton masing-masing sebesar 63 persen dan sampai mencapai 184 persen selama satu dekade terakhir. Selain itu, stadion baru seperti milik Tottenham Hotspur serta kebijakan Everton pindah ke stadion yang baru dan Manchester United untuk merenovasi markas mereka menunjukkan tren yang jelas. Klub-klub EPL fokus menjadikan stadion sebagai pusat revenue non-siarkan dan non-komersial.
Oleh sebab itu, dengan kekuatan matchday yang sedemikian besar, klub-klub EPL, termasuk yang terdegradasi, tetap memiliki fondasi pendapatan yang kokoh, bahkan ketika mereka turun ke Championship. Komposisi pendapatan yang seimbang antara hak siar, komersial, dan matchday membuat struktur keuangan mereka tetap jauh di atas juara liga-liga kecil Eropa, yang umumnya hanya menggantungkan diri pada hak siar dan tiket. Bahkan setelah degradasi, modal besar dari hasil mengoptimalkan stadion membantu mereka menghindari krisis likuiditas dan tetap berdaya saing secara finansial di level domestik maupun dalam jangka panjang.
5. Sturuktur finansial klub degradasi EPL tetap lebih kuat daripada juara liga lain
Dari keempat poin di atas, benang merahnya terletak pada satu hal, yaitu struktur keuangan English Premier League yang sangat dominan. Situasi ini membuat klub-klubnya, termasuk yang terdegradasi tetap berada jauh di atas mayoritas klub juara di liga lain, baik dari segi pendapatan maupun daya saing. Lewat penerimaan parachute payments mencapai puluhan juta pounds, ditambah pembagian hak siar yang masif dan merata, klub-klub ini memulai musim di Championship dengan kondisi finansial yang sudah unggul sejak awal.
Tak hanya dari sisi hak siar, kekuatan finansial klub-klub EPL juga diperkuat oleh pendapatan dari sektor komersial dan matchday yang terus meningkat setiap musim. Dengan pendapatan komersial dan pendapatan hari pertandingan yang sangat besar, klub-klub EPL memiliki sumber pendanaan yang jauh lebih beragam dan stabil dibandingkan klub juara di liga lain yang umumnya hanya mengandalkan satu atau dua sumber pendapatan. Bahkan, ketika performa menurun dan klub harus turun kasta, kemampuan mereka untuk menjual merchandise, menarik sponsor global, serta memonetisasi stadion tetap menjadikan mereka pemain utama dalam lanskap finansial sepak bola Eropa.
Ketimpangan ini menjadi cerminan bahwa kompetisi global sepak bola ditentukan oleh seberapa dalam dompet masing-masing klub. Klub seperti Leicester City atau Southampton yang terdegradasi masih bisa menggaji pemain bintang, mempertahankan infrastruktur kelas atas, dan bersaing untuk promosi ulang. Di sisi lain, juara liga seperti Red Star Belgrade, Dinamo Zagreb, atau bahkan Galatasaray masih harus berjibaku dengan keterbatasan dana operasional. Dalam ekosistem yang timpang ini, English Premier League sangat layak dianggap sebagai liga terkuat secara kualitas serta sistem yang menciptakan dominasi ekonomi yang makin sulit disaingi.
Berbagai faktor di atas membedakan ekosistem sepak bola Inggris dengan liga-liga lainnya di dunia. Klub yang terdegradasi dari English Premier League tetap mampu berdiri tegak secara finansial karena ditopang oleh sistem distribusi pendapatan yang luar biasa besar dan terstruktur. Selama sistem ini berjalan, dominasi ekonomi klub-klub EPL, baik yang bertahan maupun yang turun kasta akan terus sulit ditandingi oleh juara liga lain di luar sana.