Kenapa Daihatsu Sirion Kurang Laku di Indonesia

- Posisi harga yang serba tanggung membuat Sirion kalah menarik dibandingkan dengan LCGC dan city car populer lainnya.
- Daya tarik merek dan efek "halo" pesaing seperti Brio membuat Sirion kurang eksis di kalangan anak muda.
- Persepsi resale value, jaringan, dan ketersediaan unit Sirion yang terbatas memengaruhi minat pembelian konsumen di pasar.
Kamu mungkin sering melihat nama Daihatsu Sirion muncul di iklan atau postingan review, tapi saat turun ke jalan, unitnya terasa jarang. Padahal di atas kertas, Sirion punya banyak bekal: fitur keselamatan yang cukup oke, kabin lapang, dan konsumsi BBM yang efisien. Lalu kenapa penjualannya tidak sekencang para pesaing? Pertanyaannya menarik, karena Sirion sebenarnya bukan produk yang buruk, hanya saja konteks pasarnya di Indonesia membuatnya sulit bersinar.
Sejak awal, Sirion bermain di segmen hatchback perkotaan yang ketat persaingan. Di satu sisi ada LCGC yang harganya lebih ramah dompet, di sisi lain ada city car dan hatchback populer dengan brand power kuat. Sirion yang berstatus CBU dari Malaysia menanggung harga dan positioning yang serba tanggung. Buat banyak orang, selisih jutaan rupiah bisa jadi penentu, apalagi kalau faktor pajak, diskon, dan program kredit membuat rival terlihat lebih menggoda.
1. Posisi harga yang serba tanggung

Sirion kerap terjepit di antara LCGC seperti Agya dan Ayla yang lebih murah serta city car populer seperti Brio yang punya daya tarik besar. Karena berstatus CBU, struktur biayanya berbeda dari model CKD yang dirakit lokal. Hasilnya, ketika konsumen membandingkan fitur per rupiah, Sirion sering terasa kalah menarik di showroom. Kamu bisa dapat mobil yang lebih “tenar” dengan cicilan mirip, atau dapat mobil yang lebih murah dengan utilitas yang cukup untuk kebutuhan harian. Di pasar kita, rasio value itu krusial.
2. Daya tarik merek dan efek “halo” pesaing

Secara citra, Daihatsu kuat di segmen irit-biaya dan mobil keluarga praktis. Namun untuk hatchback gaya hidup, “halo effect” merek pesaing sering lebih kuat. Brio misalnya, punya komunitas aktif, modifikasi meriah, dan eksposur balap yang bikin anak muda merasa keren. Sirion sebenarnya fun to drive, tapi narasi emosionalnya kurang terbangun. Minimnya kampanye spesifik anak muda membuatnya kalah gaung di TikTok, Instagram, dan event otomotif. Tanpa cerita, produk bagus bisa jadi terasa biasa.
3. Persepsi resale value, jaringan, dan ketersediaan unit

Pasar kita sangat sensitif pada nilai jual kembali. Karena populasi Sirion tidak besar, harga bekasnya cenderung kurang menjanjikan di mata sebagian konsumen. Ini menciptakan lingkaran: unit jarang di jalan, maka minat turun, lalu nilai bekas menekan daya tarik pembelian baru. Selain itu, karena unitnya CBU, suplai dan pilihan varian sering lebih terbatas. Walau jaringan bengkel Daihatsu luas, persepsi “suku cadang dan opsi” untuk model yang populasinya kecil tetap membuat calon pembeli ragu.
So, Sirion bukan kalah karena kualitas, melainkan karena ekosistem persaingan: harga yang serba tanggung, brand story yang kurang “nendang”, dan persepsi pasar tentang nilai bekas. Kalau kamu mencari hatchback fungsional yang irit dan nyaman, Sirion tetap layak dipertimbangkan. Namun jika tolok ukurnya hype, komunitas, dan kemudahan menjual lagi, wajar kalau banyak orang berlabuh ke pesaing yang sudah duluan membangun panggung.


















