Amnesty Catat 104 Pembela HAM Jadi Korban Serangan

- 41 pembela HAM dilaporkan ke polisi, 7 ditangkap, dan 15 mengalami kriminalisasi.
- 30 kasus intimidasi dan kekerasan fisik terjadi, termasuk terhadap jurnalis dan lembaga HAM.
- Peningkatan serangan disebabkan oleh otoritarianisme, militerisasi ruang sipil, serta legislasi yang memperluas peran militer.
Jakarta, IDN Times - Amnesty International Indonesia mencatat lonjakan serangan terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) sepanjang semester I-2025. Sedikitnya 104 pembela HAM menjadi korban dalam 54 kasus yang tersebar dari Januari hingga Juni 2025.
Lebih dari separuh korban berasal dari kalangan masyarakat adat dan jurnalis, masing-masing berjumlah 36 dan 31 orang.
Korban lainnya meliputi tokoh masyarakat (8), nelayan (7), aktivis HAM (4), mahasiswa (6), aktivis lingkungan (3), akademisi (2), petani (2), serta masing-masing satu orang dari kalangan aktivis antikorupsi, buruh, advokat, guru, dan pengungkap rahasia (whistleblower).
Amnesty menyebut kepolisian sebagai pihak yang paling banyak diduga terlibat dalam serangan, yaitu pada 20 dari 53 kasus. Pelaku lainnya berasal dari sektor swasta (7 kasus), pegawai pemerintah (3), anggota TNI (1), dan Satpol PP (2), serta beberapa kasus lainnya yang melibatkan aktor tidak dikenal.
“Sejak Januari kami mencatat banyak serangan terhadap pembela HAM. Puncaknya terjadi di bulan Mei ketika 35 pembela HAM menjadi korban serangan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam keterangan resmi, Senin (14/7/2025).
Organisasi tersebut juga mencatat lima bentuk serangan, yakni pelaporan ke polisi, penangkapan, kriminalisasi, intimidasi, serta kekerasan fisik terhadap individu dan lembaga tempat mereka bekerja.
1. Dari laporan polisi hingga status tersangka

Amnesty mencatat sebanyak 41 pembela HAM dilaporkan ke kepolisian selama enam bulan pertama 2025. Mereka termasuk 21 anggota masyarakat adat, tujuh nelayan, dan delapan tokoh masyarakat.
Penangkapan dilakukan terhadap tujuh pembela HAM yang terdiri dari satu aktivis HAM, dua aktivis lingkungan, satu masyarakat adat, satu aktivis buruh, satu mahasiswa, dan satu petani.
Kriminalisasi juga terjadi terhadap 15 pembela HAM, dengan rincian sebelas orang dari masyarakat adat, serta masing-masing satu dari kalangan aktivis lingkungan, whistleblower, advokat, dan petani.
“Alih-alih melindungi whistleblower, Polri malah menunjukkan wajah otoriter dengan melakukan kriminalisasi, terutama dalam merespons kegiatan sipil yang sah dan dilindungi konstitusi,” kata Usman.
Salah satu kasus menimpa sebelas warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur yang ditetapkan sebagai tersangka setelah menolak kegiatan pertambangan di wilayah adat mereka. Sementara di Jawa Barat, seorang whistleblower yang melaporkan dugaan korupsi dana zakat di Baznas dituduh membocorkan rahasia lembaga.
2. Intimidasi dan serangan fisik

Selama periode Januari hingga Juni 2025, Amnesty mencatat 30 kasus intimidasi dan kekerasan fisik terhadap pembela HAM, dengan total korban sebanyak 38 orang. Dari jumlah tersebut, 26 kasus menyasar jurnalis dengan 29 orang menjadi korban.
Dalam berbagai kasus, pelaku kekerasan terhadap jurnalis diduga merupakan anggota kepolisian. Hingga akhir Juni, belum ada laporan bahwa pelaku diproses secara pidana.
Di Jakarta, seorang jurnalis progreSIP diduga dianiaya oleh sejumlah orang yang disebut sebagai polisi tak berseragam. Di Semarang, jurnalis Tempo mengalami dua kali serangan saat meliput aksi Hari Buruh, termasuk upaya pembantingan oleh aparat. Seorang pewarta foto Antara juga mengalami kekerasan saat meliput kunjungan Kapolri di Stasiun Tawang.
"Kasus-kasus serangan polisi terhadap jurnalis menandakan bahwa banyak anggota kepolisian belum memahami jika jurnalis merupakan profesi yang dilindungi oleh undang-undang," ujarnya.
Tiga lembaga pembela HAM juga menjadi sasaran serangan selama semester pertama 2025. Pada Maret, kantor KontraS mengalami aksi teror dari orang tidak dikenal usai mengkritik Revisi UU TNI.
Kantor redaksi Tempo menerima paket berisi bangkai kepala babi dan enam tikus yang dipenggal pada dua kesempatan berbeda di bulan yang sama. Amnesty juga menyoroti kasus serupa yang terjadi tahun sebelumnya di kantor redaksi Jubi di Jayapura, yang hingga kini belum terungkap pelakunya.
“Hingga saat ini polisi belum berhasil mengungkap dalang di balik teror terhadap kantor pembela HAM ini, termasuk dalam mengusut kasus-kasus sebelumnya, seperti teror lemparan bom Molotov ke kantor redaksi Jubi di Jayapura pada 16 Oktober 2024 lalu,” kata Usman.
3. Faktor peningkatan serangan

Amnesty menilai meningkatnya serangan terhadap pembela HAM tidak terlepas dari menguatnya praktik otoritarianisme dan militerisasi ruang sipil. Organisasi tersebut menyebut retorika dari Presiden yang menyerang kredibilitas LSM sebagai pemecah belah, serta legislasi DPR yang memperluas peran militer di ruang sipil, sebagai faktor yang memperburuk situasi.
Pemerintah disebut tetap melanjutkan proyek pembangunan tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat, yang kerap berujung pada kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan hak atas tanah.
Amnesty menilai Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 belum cukup menjamin perlindungan bagi pembela HAM. Meski ada perlindungan hukum terhadap aktivis lingkungan dalam Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009, praktik kriminalisasi tetap terjadi.
“DPR harus memastikan bahwa peraturan baru tersebut tidak merendahkan kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai dan selaras dengan standar-standar HAM internasional,” ujar Usman.
Undang-undang tersebut diminta agar selaras dengan prinsip-prinsip HAM internasional dan tidak mengekang kebebasan berekspresi maupun berkumpul secara damai.