TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Rekomendasi ke Pemerintah Cegah Lonjakan Kemiskinan akibat COVID-19

Jangan sampai kemiskinan membludak

Ilustrasi kemiskinan (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Ketidakmampuan penduduk yang miskin dan rentan miskin dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, khususnya mereka yang tidak tercakup dalam bantuan sosial pemerintah, akan memperlambat proses penanggulangan pandemik COVID-19. Sebab, sebagian besar mereka terpaksa tetap keluar rumah untuk bekerja memenuhi kebutuhan dasar mereka meskipun dilakukan kebijakan PSBB.

Selain itu, meningkatnya jumlah penduduk miskin dan rentan miskin yang tidak terjangkau bantuan sosial pemerintah berpotensi memicu naiknya angka kriminalitas, yang belakangan ini sudah semakin marak.

Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan selain meningkatkan kapasitas tenaga medis dan fasilitas kesehatan untuk menanggulangi pandemik COVID-19, pihaknya menekankan pentingnya meletakkan prioritas kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saat ini pada menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat terutama yang berada di sekitar garis kemiskinan.

"Setidaknya ada lima langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut," kata Faisal dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (9/5).

Baca Juga: Duh, Sudah 3 Juta Pekerja di Indonesia Terdampak COVID-19

1. Pemerintah perlu memperluas anggaran bansos dan penerima manfaatnya

Paket sembako sebagai bansos untuk warga miskin di Palembang. (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Pemerintah harus mengantisipasi lonjakan angka kemiskinan akibat pandemik COVID-19 yang diperkirakan akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah bantuan sosial yang disiapkan saat ini.

Sebagau informasi, target penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yang dianggarkan pemerintah selama pandemi adalah 10 juta keluarga dengan alokasi anggaran Rp37,4 triliun atau Rp3,7 juta per tahun.

Sementara, Kartu Sembako ditargetkan sebanyak 20 juta keluarga dengan anggaran Rp43,6 triliun, yang terdiri dari Rp200 ribu per bulan selama sembilan bulan, termasuk Rp600 ribu untuk 1,776 juta keluarga di Jabodetabek selama tiga bulan.

Selain itu, ada transfer cash dari Program Kartu Prakerja untuk 5,6 juta peserta senilai Rp600 ribu selama empat bulan.

"Di samping terus memperbaharui data penduduk miskin dan rentan miskin yang layak mendapatkan bantuan sosial, pemerintah perlu meningkatkan anggaran Bantuan Sosial dan memperluas jumlah penerima bantuan kepada penduduk yang jatuh miskin akibat COVID-19," jelas Faisal.

2. Mengintegrasikan penyaluran bansos menjadi lebih sederhana

Mensos Juliari P. Batubara salurkan bansos pada warga (Dok. Kemensos)

Kedua, lanjut Faisal, pemerintah harus mengintegrasikan penyaluran bantuan sosial sehingga menjadi lebih sederhana, melakukan penyeragaman nilai bantuan, serta terus melakukan pemutakhiran data penerima bansos.

Di banyak tempat, berbagai bentuk bansos yang berbeda-beda jenis dan jumlahnya telah menimbulkan ketegangan sosial di sejumlah daerah. Hal ini diperparah dengan basis data bansos, khususnya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang digunakan oleh pemerintah daerah yang belum mencakup masyarakat yang sebelumnya tidak terdata namun kondisi ekonominya memburuk selama pandemik.

Salah satu alternatif yang dapat ditempuh pemerintah adalah menggandeng bank-bank pemerintah untuk melakukan transfer bansos secara langsung melalui rekening khusus untuk setiap penerima bantuan.

"Selain penyalurannya lebih efisien, penerima bantuan tidak tumpang tindih. Di samping itu, potensi berkurangnya jumlah bantuan dapat dihindari," tutur dia.

3. Mengurangi beban pengeluaran masyarakat khususnya masyarakat miskin dan hampir miskin

Ilustrasi (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Hal itu bisa dilakukan pemerintah dengan menurunkan biaya-biaya yang dikontrol pemerintah (administered prices). Seperti menurunkan harga BBM yang menjadi salah satu komponen terbesar pengeluaran penduduk miskin (5 persen untuk penduduk miskin di kota dan 4 persen untuk penduduk miskin di desa).

Meskipun penurunan mobilitas orang saat ini berdampak pada berkurangnya penggunaan BBM, namun tetap berperan besar dalam mobilitas barang (logistik) yang tetap sangat krusial perannya selama masa wabah.

Apalagi, harga minyak mentah terus mengalami penurunan hingga di bawah US$25 per barel. "Semestinya harga dasar BBM di bawah RON 95 dapat turun setidaknya pada kisaran Rp 4.500- Rp5.000 per liter," imbuh dia.

Selanjutnya, pemerintah bisa menambah jumlah rumah tangga penerima diskon pemotongan tarif listrik sehingga mencakup minimal seluruh pelanggan 900VA. Saat ini, selain golongan R1/450VA (24 juta pelanggan) yang mendapatkan listrik gratis selama tiga bulan, golongan rumah tangga R1/900VA yang mendapat pemotongan 50 persen hanya sebanyak 7,2 juta pelanggan dari total 22,1 juta.

"Sebagian mereka saat ini diperkirakan telah jatuh ke dalam kategori penduduk miskin dan rentan miskin," tambah Faisal.

Pemerintah juga bisa menurunkan harga LPG tiga kilogram yang kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat menengah bawah. Ini juga sejalan dengan harga propane dan butane yang menjadi bahan baku utama LPG yang turun tajam.

Harga propane Aramco, yang menjadi acuan perhitungan harga subsidi LPG, turun dari $430 per ton pada bulan Maret menjadi $230 per ton pada April 2020.

Sementara itu, harga butane turun dari $480 per ton menjadi $240 per ton pada periode yang sama. Oleh sebab itu, seiring dengan potensi penurunan realisasi anggaran subsidi LPG tiga kilogram (Rp50,6 triliun) tahun ini.

"Pemerintah memiliki cukup ruang untuk menurunkan harga bahan bakar itu di kisaran Rp1.000-Rp2.000/kg. Penurunan tersebut akan memberikan efek yang cukup besar untuk mengurangi biaya hidup masyarakat, khususnya yang terdampak COVID-19," imbuh dia.

Pemerintah juga disarankan untuk memberikan diskon atau menggratiskan tarif air untuk rumah tangga khususnya di daerah-daerah yang menerapkan PSBB. Banyak negara-negara berkembang telah mengadopsi kebijakan ini, seperti Malaysia dan Thailand.

Baca Juga: Skenario Terburuk Pengangguran Bisa Sentuh 12,5 Juta akibat COVID-19

4. Meningkatkan insentif bagi petani, peternak, dan nelayan

Ilustrasi insentif (IDN Times/Arief Rahmat)

Hal itu bisa dilakukan melalui skema pembelian produk oleh pemerintah dan perbaikan jalur logistik hasil pertanian, peternakan, dan perikanan. Di tengah persebaran pandemi COVID-19, para petani, peternak, dan nelayan yang terus berproduksi kini menghadapi minimnya serapan pasar.

Jika insentif di sektor ini tidak segera dan secara khusus diberikan, maka mereka berpotensi menambah jumlah penduduk kemiskinan. Sektor pertanian saat ini masih menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak hingga 34,58 juta orang atau 27,3 persen tenaga kerja nasional per Agustus 2019.

"Selain itu, Kebijakan tersebut juga akan membantu pemerintah mengamankan ketersediaan stok pangan nasional khususnya selama berlangsungnya masa pandemi," ujarnya.

Baca Juga: Ada COVID-19, Angka Kemiskinan di Indonesia Diprediksi Naik 12 Persen

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya