TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Faktor Ini Diduga Hambat Elon Musk Berinvestasi di Indonesia

Ekosistem kendaraan listrik Indonesia harus berbenah

Elon Musk, pendiri Musk Foundation. instagram.com/elonrmuskk

Jakarta, IDN Times - Founder Indonesia National Battery Institute, Evvy Kartini, menduga penyebab Elon Musk tak kunjung merealisasikan investasi di Indonesia lantaran faktor environmental social governance (ESG).

ESG adalah hubungan perusahaan dengan lingkungan (environment), masyarakat (social), dan juga manajemen yang transparan (governance).

"Tesla itu sebenarnya ingin ke Indonesia. Tapi ketika ingin investasi, sekarang yang banyak didengungkan di Amerika itu ESG," kata Evvy di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (1/8/2023).

Baca Juga: Luhut Ungkap Kabar Terbaru Rencana Investasi Tesla di RI 

Baca Juga: Luhut Temui Elon Musk Ketiga Kalinya, Berhasilkah Bawa Investasi?

1. Ekosistem kendaraan listrik di Indonesia belum sepenuhnya sejalan dengan ESG

Tambang nikel PT Makmur Lestari Primatama di wilayah Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. (dok. MLP)

Menurutnya, ekosistem kendaraan listrik di Indonesia belum sepenuhnya sesuai koridor ESG, salah satunya pada proses penambangan bahan baku baterai kendaraan listrik.

"Kalau misal, kita ingin pakai mobil listrik, itu kan di hilir, mobil listrik no polution tapi di hulu waktu nambang gak pakai energi bersih. Inginnya Elon Musk itu, mining (penambangan) dengan energi bersih. Jadi dari hulu ke hilirnya bersih," tuturnya.

Tak sampai di situ, sumber energi yang digunakan untuk mengisi daya baterai kendaraan listrik juga belum sepenuhnya menggunakan energi hijau (green energy). Dalam hal ini, sumber listriknya masih mengandalkan batu bara yang tidak ramah lingkungan.

"Kalau orang naik kendaraan pakai baterai gak ada polusi, diisinya pakai (listrik) PLN. PLN sumbernya sama juga energi fosil. Jadi, sumber listrik PLN juga harus energi terbarukan," jelas Evvy.

2. Investor selalu mentok di ESG

Ilustrasi ekonomi hijau (Freepik.com)

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menambahkan bahwa smelter di Indonesia juga belum bisa sepenuhnya mematuhi ESG.

Smelter adalah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam. Dalam hal ini, nikel diolah menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.

"APNI diundang di beberapa negara, mentoknya kita dengan investor-investor Eropa, Amerika, dari sisi ESG. Sekali lagi, ESG itu yang harus kita angkat, environmental-nya seperti apa, social, governance-nya seperti apa untuk masyarakat sekitar, masyarakat umum, dan good governance, sehingga jaminan dan kepastian berusaha," tuturnya.

Meidy menerangkan, kepatuhan terhadap ESG selayaknya diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk regulasi. Jadi, regulasi tersebut menjadi pedoman yang harus dipatuhi oleh pelaku industri. Dengan demikian, investor akan tertarik dengan Indonesia.

"Semua, hulu-hilir, kita bicara green energy, green battery, renewable energy, tapi prosesnya harus green, jadi kembali lagi, lingkungan harus diperhatikan," tuturnya.

Baca Juga: Tesla Disebut Bakal Bangun Pabrik di India, Indonesia Gimana?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya