TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Biang Kerok Pembengkakan Biaya Proyek Kereta Cepat JKT-BDG

Kebutuhan investasinya diperkirakan naik jadi Rp114 triliun

Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KJCB) oleh PT KCIC (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Jakarta, IDN Times - Biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) diperkirakan membengkak. Saat ini, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sedang melakukan audit dan tinjauan terkait pembengkakan biaya mega proyek tersebut.

Sebelumnya, pada akhir 2021, PT KAI (Persero) selaku pimpinan konsorsium dari proyek KCJB membeberkan kebutuhan investasi untuk proyek tersebut diperkirakan membengkak dari 6,07 miliar dolar AS atau setara Rp86,67 triliun, menjadi 8 miliar dolar AS atau setara Rp114,24 triliun.

"Mengenai perubahan biaya, kami sudah mengajukan angka untuk direview oleh BPKP. Namun kepastiannya masih menunggu hasil audit dan review dari BPKP," kata Corporate Secretary PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Rahadian Ratry kepada IDN Times yang dikutip Senin (11/4/2022).

Ada beberapa hal yang membuat kebutuhan biaya proyek tersebut bengkak.

Baca Juga: Kereta Cepat Hampir Rampung, Ridwan Kamil Bakal Pamer di G20

1. Harga tanah yang dibebaskan naik

Menurut Rahadian, penyebab utama kebutuhan biaya proyek KCJB naik adalah kegiatan pembebasan lahan, di mana harga tanah yang perlu dibebaskan naik.

"Yang memakan porsi cukup besar adalah pengadaan lahan. Jadi memang proses pengadaan lahan ini cukup memakan waktu, dan tak terhindarkan, tanah-tanah yang akan dibebaskan juga mengalami kenaikan harga. Akibatnya, ada penambahan biaya pengadaan lahan dari nilai awal," kata Rahadian.

Baca Juga: KCIC Ungkap Alasan Tukang Las Kereta Cepat Harus dari China

2. Kondisi geologi ekstrem

Kemudian, pembengkakan anggaran juga disebabkan oleh situasi-situasi yang tidak terduga seperti kondisi geologi di tunnel 2.

"Secara perencanaan, memang sudah dipetakan jika itu adalah area clay shale dan masih memungkinkan untuk dibangun tunnel. Namun dalam praktiknya di lapangan, kondisi geologisnya adalah clay shale ekstrem. Hal ini memaksa kami untuk melakukan beberapa metode untuk mengatasi persoalan geologis. Kondisi ini membuat pembangunan sempat terhambat dan akhirnya berdampak pada penambahan biaya," ucap dia.

Sebagai informasi, berdasarkan jurnal Politeknik Negeri Bandung, clay shale merupakan jenis tanah ekspansif yang akan mengalami pengembangan atau peningkatan volume apabila berkontaksi dengan air.

3. Penerapan protokol kesehatan selama pandemik COVID-19 yang membuat kebutuhan biaya naik

Kemudian, pandemik COVID-19 turut menjadi penyebab pembengkakan biaya. Menurut Rahadian, perusahaan membutuhkan tambahan biaya untuk penerapan protokol kesehatan, proses karantina, dan juga tes COVID-19.

"Selain ketika pandemik, produktivitas SDM KCJB sempat berkurang karena adanya pengetatan-pengetatan aktivitas yang dilakukan. Hal ini tentu menjadi salah satu obstacle dan menjadi salah satu faktor penambahan biaya," ujar dia.

Baca Juga: KCIC: 'Tukang Las' Rel Kereta Cepat dari China Latih 100 Pekerja RI

4. Penerapan teknologi GSM-R

Lalu, proyek KCJB juga menggunakan teknologi GSM-R untuk persinyalan kereta api cepat. Teknologi itu digunakan sebagai teknologi transmisi data (train control data) mengadopsi teknologi yang dipakai di China Railway.

Menurut Rahadian, di China, penggunaan frekuensi GSM-R tidak tidak membutuhkan biaya. Sementara, di Indonesia kebijakannya dikenakan biaya.

"Di Indonesia, kebijakannya lain. Harus ada biaya investasi yang dikeluarkan dan ini di luar anggaran awal," tutur dia.

5. Kebutuhan biaya untuk instalasi PLN

Tak hanya itu, pembengkakan biaya proyek KCJB juga disebabkan kebutuhan investasi untuk instalasi listrik.

"Kemudian ada lagi biaya investasi untuk instalasi PLN. Ada biaya instalasi yang harus ditanggung PT KCIC," kata Rahadian.

Baca Juga: Luhut Tinjau Proyek Kereta Cepat JKT-BDG, Uji Coba Februari 2023

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya