AS Selidiki Impor Farmasi dan Chip, Siapkan Tarif Baru

- Pemerintahan Trump membuka penyelidikan tarif khusus untuk impor produk farmasi dan semikonduktor, menimbulkan kekhawatiran di pasar global.
- Penyelidikan dilakukan dengan alasan keamanan nasional AS terkait ketergantungan pada impor semikonduktor dari Taiwan dan bahan farmasi dari China dan India.
Jakarta, IDN Times - Pemerintahan Presiden Donald Trump memulai langkah baru dengan membuka penyelidikan terhadap impor produk farmasi dan semikonduktor. Penyelidikan yang diumumkan melalui Federal Register pada Senin (14/4/2025) kemarin, menjadi sinyal kuat tarif khusus akan segera diberlakukan untuk kedua sektor tersebut.
Langkah ini menimbulkan gelombang kekhawatiran di pasar global, terutama di negara-negara pengekspor besar seperti China, India, dan Irlandia.
Dikutip dari CNN Business, penyelidikan yang dilakukan di bawah wewenang Section 232 dari Trade Expansion Act 1962 bertujuan mengevaluasi dampak impor terhadap keamanan nasional Amerika Serikat (AS), dengan batas waktu penyelesaian 270 hari sejak diumumkan.
1. Alasan di balik penyelidikan
Pemerintahan Trump menyebut ketergantungan AS pada impor semikonduktor, terutama dari Taiwan, dan bahan farmasi dari China dan India, sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Penyelidikan ini mencakup produk jadi maupun bahan baku farmasi, serta peralatan pembuatan chip, yang dianggap krusial bagi industri teknologi dan kesehatan.
“Kami ingin memastikan AS tidak lagi bergantung pada rantai pasok asing untuk kebutuhan vital seperti obat-obatan dan chip,” ujar seorang pejabat senior Departemen Perdagangan AS yang enggan disebut namanya.
Langkah ini juga sejalan dengan janji kampanye Trump untuk mengembalikan manufaktur ke AS, meskipun banyak pihak memperingatkan potensi gangguan rantai pasok global.
2. Dampak potensial terhadap pasar
Tarif yang diusulkan dapat meningkatkan harga obat generik di AS, yang sebagian besar diimpor dari India dan Chin. Industri farmasi memperingatkan bahwa kenaikan biaya ini bisa memperburuk akses pasien terhadap obat-obatan esensial, terutama di tengah kekhawatiran akan potensi kekurangan pasokan.
“Tarif pada chip impor bisa menghambat inovasi dan menaikkan harga perangkat elektronik,” kata Sarah Lin, analis teknologi dari firma konsultan GlobalTech Insights.
Penyelidikan ini juga memicu reaksi dari negara-negara seperti Irlandia, yang mengekspor farmasi senilai lebih dari 30 miliar euro (Rp570,5 triliun) ke AS pada 2024, dengan kekhawatiran akan dampak ekonomi signifikan.
3. Langkah industri dan respons global
Perusahaan farmasi dan teknologi kini berlomba melobi pemerintahan Trump untuk memperlambat penerapan tarif, meminta masa transisi agar mereka dapat menyesuaikan rantai pasok.
Beberapa perusahaan, seperti Pfizer, telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan investasi manufaktur di AS, meskipun proses ini diperkirakan memakan waktu bertahun-tahun. Di sisi lain, Uni Eropa dan India mulai mempertimbangkan langkah balasan.
“Kami sedang berdiskusi untuk mencari solusi yang tidak merugikan pasien di kedua sisi Atlantik,” kata seorang juru bicara Komisi Eropa. Dengan tenggat waktu 21 hari untuk komentar publik sejak pengumuman, dunia kini menanti bagaimana kebijakan ini akan membentuk dinamika perdagangan global ke depan.