Bank Emas Diresmikan, Rupiah Ditutup Melemah

- Rupiah ditutup pada level Rp16.380,5 per dolar AS setelah pelemahan 9,50 poin atau 0,06 persen dari penutupan sebelumnya.
- Berbagai mata uang di Asia mengalami pelemahan, termasuk Ringgit Malaysia, Yuan China, dan Rupee India.
Jakarta, IDN Times - Pergerakan rupiah di pasar spot ditutup pada level Rp16.380,5 per dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir perdagangan Rabu (26/2/2025). Pelemahan ini usai bullion bank atau bank emas diresmikan.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah melemah 9,50 poin atau 0,06 persen dibandingkan penutupan kemarin di level Rp16.371 per dolar AS.
1. Rincian mata uang yang melemah dan menguat sore ini
Daftar mata uang di Asia yang mengalami pelemahan
- Ringgit Malaysia melemah 0,14 persen
- Yuan China melemah 0,07 persen
- Rupee India melemah 0,58 persen
- Dolar Taiwan melemah 0,01 persen
- Dolar Singapura melemah 0,10 persen
- Yen Jepang melemah 0,24 persen
Sementara itu ada sejumlah daftar mata uang yang mengalami penguatan:
- Bath Thailand menguat 0,08 persen
- Peso Filpina menguat 0,09 persen
- Won Korea menguat 0,12 persen
- Dolar Hongkong menguat 0,04 persen
2. Indeks keyakinan konsumen AS turun
Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra mengatakan, jatuhnya indeks dolar AS ini dipicu oleh data tingkat keyakinan konsumen AS pada Februari yang dirilis semalam yang hasilnya jauh lebih rendah dari ekspektasi pasar.
"Realisasi data indeks keyakinan konsumen 98,3 vs 102.7 dibandingkan data bulan Januari dirilis 105.3 terjadi penurunan sekitar 7 poin dibandingkan bulan sebelumnya dalam 2,5 tahun terakhir," ujarnya.
3. Kenaikan tarif dikhawatirkan ganggu ekonomi AS
Selain itu, turunnya tingkat keyakinan konsumen AS ini dikaitkan dengan ekspektasi kenaikan tarif impor Presiden Trump yang akan menaikan harga-harga konsumsi dalam negeri AS.
Penurunan tingkat keyakinan konsumen AS ini bisa berujung pada pelambatan ekonomi AS, karena konsumsi memegang peranan besar dalam pertumbuhan ekonomi AS. Sehingga ini membuka harapan pemangkasan tingkat suku bunga acuan di AS.
"Tapi di sisi lain, gaung kenaikan tarif Presiden Trump masih menjadi momok dan memberikan sentimen negatif untuk aset berisiko. Tingkat keyakinan konsumen yang anjlok bisa menjadi bukti bahwa kebijakan tarif Trump ini memberikan dampak negatif untuk pertumbuhan ekonomi," tutur Ariston.