Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

China Akan Beri Subsidi Nasional untuk Dorong Angka Kelahiran

Ilustrasi kelahiran bayi di China. (unsplash.com/ 东旭 王)
Intinya sih...
  • China memberikan subsidi nasional untuk meningkatkan angka kelahiran.
  • Subsidi dasar sebesar Rp8,1 juta per anak, beberapa kota menerapkan program subsidi tersebut.
  • Kebijakan baru yang berdampak pada kelahiran dan ekonomi China, namun para ahli menekankan masalah struktural yang lebih dalam.

Jakarta, IDN Times - China berencana untuk meluncurkan upaya nasional untuk mendukung pembangunan keluarga melalui, subsidi dan layanan. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan angka kelahiran, mengatasi populasi yang menua, dan menangkal dampak penurunan populasi terhadap pertumbuhan ekonominya.

Upaya ini dilakukan karena populasi di negara itu telah menyusut selama tiga tahun berturut-turut hingga 2024. Sementara, angka kelahiran baru sebanyak 9,54 juta pada tahun lalu hanya setengah dari 18,8 juta yang tercatat pada 2016, ketika China mencabut kebijakan satu anak.

Berdasarkan cakupan nasional, subsidi akan didistribusikan ke seluruh negeri. Sasarannya adalah keluarga dengan anak yang lahir pada atau setelah 1 Januari 2025, dilansir The Straits Times pada Jumat (4/7/2025).

1. Subsidi dasar sebesar Rp8,1 juta per anak

Jumlah subsidi dasar yang akan diberikan adalah sebesar 3.600 yuan (sekitar Rp8,1 juta) setahun untuk setiap anak. Subsidi akan diberikan hingga mereka berusia tiga tahun.

Tantangan demografi China cukup signifikan. PBB memproyeksikan populasinya dapat turun hingga 1,3 miliar pada 2050 dan di bawah 800 juta pada 2100. Pandangan tersebut berasal dari penurunan angka pernikahan yang mengkhawatirkan, yang mencapai level terendah dalam hampir setengah abad dan dapat menyebabkan lebih sedikit kelahiran.

Sebagian besar kemerosotan demografi China merupakan imbas dari kebijakan satu anak yang diberlakukan antara 1980-2015. Sejak 2021, pasangan diizinkan memiliki hingga tiga anak. Namun, semakin banyak anak muda China yang memilih untuk tidak memiliki anak karena alasan tingginya biaya pengasuhan anak. Bahkan, mereka tidak bersedia menikah atau menunda karir karena diskriminasi gender masih terus berlanjut.

2. Beberapa kota di China telah menerapkan program subsidi tersebut

Ilustrasi bendera China. (unsplash.com/CARLOS DE SOUZA)
Ilustrasi bendera China. (unsplash.com/CARLOS DE SOUZA)

Tren yang mengkhawatirkan ini telah mendorong banyak pemerintah daerah untuk meluncurkan berbagai tindakan. Ini termasuk cuti hamil, menawarkan insentif tunai hingga memberian subsidi perumahan, guna membantu meringankan beban keuangan keluarga dan mendorong kelahiran.

Global Times melaporkan, subsidi lokal dalam beberapa kasus bisa sangat besar. Contoh dari kota percontohan adalah Hohhot, ibu kota regional Mongolia Dalam. Pemerintah memberikan subsidi sebesar 50 ribu yuan (Rp112,9 juta) untuk pasangan yang memiliki anak kedua dan 100 ribu yuan (Rp225,9 juta) untuk anak ketiga atau lebih.

Layanan lainnya meliputi, manfaat prenatal, pemeriksaan kesehatan gratis, dan satu cangkir susu setiap hari selama setahun setelah melahirkan.

Di Tianmen, provinsi Hubei, telah terjadi peningkatan kelahiran sebesar 17 persen pada 2024 setelah meluncurkan program subsidi. Ibu yang baru melahirkan mendapat hadiah kelahiran satu kali sebesar 3 ribu yuan (Rp6,7 juta) hingga 8.100 yuan (Rp18,3 juta) dan tunjangan pengasuhan anak bulanan 1.000 yuan (Rp2,2 juta) hingga usia 3 tahun. Serta, subsidi perumahan 18.000 yuan (Rp40,6 juta) dan pembebasan biaya prenatal dengan total hingga 225.100 yuan (Rp508,7 juta) per anak ketiga.

3. Kebijakan baru yang berdampak pada kelahiran dan ekonomi China

Potret Tiananmen Square di Beijing, China. (unsplash.com/Nick Fewings)

Kebijakan baru China mencerminkan pergeseran strategis untuk meningkatkan angka kelahiran dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam menghadapi tren ini.

Akan tetapi, para ahli menekankan bahwa masalah struktural yang lebih dalam, seperti melonjaknya harga perumahan, biaya pendidikan, dan pergeseran nilai-nilai pribadi, dapat membatasi seberapa efektif kebijakan ini dalam membalikkan tren penurunan demografi jangka panjang. Penyesuaian kebijakan ekonomi dan sosial yang lebih luas akan diperlukan.

Menurunnya angka kelahiran memberi dampak terhadap negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Sebab, populasi usia kerja telah menyusut sehingga mengancam pasokan tenaga kerja dan produktivitas.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us