Angka Kelahiran Turun, Vietnam Hapus Kebijakan Dua Anak

- Penurunan kelahiran terutama terjadi di kota-kota besar, seperti Ho Chi Minh dan Hanoi
- Vietnam menghadapi rasio gender yang tidak seimbang, dengan preferensi tradisional terhadap anak laki-laki
- Perubahan kebijakan Vietnam serupa dengan China, yang melonggarkan kebijakan satu anak karena tantangan ekonomi dan sosial jangka panjang
Jakarta, IDN Times - Vietnam telah menghapus kebijakan dua anak yang telah berlangsung lama. Majelis Nasional telah mengesahkan amandemen Undang-Undang Kependudukan pada 3 Juni 2025.
Langkah tersebut ditujukan untuk mengatasi penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua. Para pembuat kebijakan khawatir tren tersebut dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, dilansir NHK News pada Jumat (6/6/2025).
Sebelumnya, Vietnam membatasi keluarga untuk memiliki tidak lebih dari dua anak. Kebijakan tersebut pertama kali diperkenalkan pada 1988, guna memastikan negara itu memiliki sumber daya yang memadai saat beralih dari ekonomi terencana ke ekonomi pasar.
1. Penurunan kelahiran terutama terjadi di kota-kota besar

Saat itu, Vietnam masih mengatasi dampak perang selama puluhan tahun dan juga berupaya mengendalikan pertumbuhan populasi. Namun, langkah tersebut menjadi semakin tidak berkelanjutan karena tingkat kesuburan yang menurun.
Pada 2024, angka kelahiran negara itu mencapai rekor terendah, yakni 1,91 anak per wanita. Jumlah tersebut jauh di bawah penggantian 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran populasi. Penurunan ini terutama terlihat di daerah perkotaan, seperti kota Ho Chi Minh dan Hanoi, yang mana biaya hidup tergolong tinggi.
"Populasi yang menyusut di masa depan, mengancam pembangunan ekonomi dan sosial Vietnam yang berkelanjutan. Serta, keamanan dan pertahanan nasionalnya dalam jangka panjang," kata Menteri Kesehatan Dao Hong Lan, menurut laporan Hanoi Times.
2. Vietnam menghadapi rasio gender yang tak seimbang
Beberapa negara dan wilayah Asia lainnya, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong juga mengalami angka kelahiran yang menurun. Akan tetapi, ekonomi mereka lebih maju daripada Vietnam.
Pemerintah khawatir bahwa periode populasi emas, ketika populasi usia kerja jauh lebih banyak daripada populasi tanggungan, akan berakhir lebih cepat dari yang diharapkan. Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan beban layanan kesejahteraan sosial bagi para lansia.
Menurut World Bank, populasi usia kerja Vietnam diperkirakan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2040. Selain mengatasi angka kelahiran yang rendah, Vietnam juga menghadapi rasio gender yang tidak seimbang. Tahun lalu, rasio jenis kelamin saat lahir adalah 111 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan. Hal itu sebagian besarnya disebabkan oleh preferensi tradisional terhadap anak laki-laki.
Sebagai upaya untuk membalikan tren tersebut, Kementerian Kesehatan pun telah mengusulkan denda tiga kali lipat untuk pemilihan jenis kelamin janin, guna mencegah praktik tersebut.
Kantor Statistik Umum mengatakan, jika hal tersebut tidak segera diatasi, akan ada kelebihan 1,5 juta laki-laki berusia 15-49 tahun pada 2039. Angka tersebut meningkat menjadi 2,5 juta pada 2059, Al Jazeera melaporkan.
3. Perubahan kebijakan terbaru Vietnam, serupa dengan China

Dilansir NBC News, perubahan kebijakan Vietnam sejalan dengan langkah serupa yang dilakukan oleh China. Pada 1979, negara tersebut memberlakukan kebijakan satu anak di tengah kekhawatiran tentang kelebihan populasi. Namun, perlahan-lahan melonggarkan kebijakan tersebut karena tantangan ekonomi dan sosial jangka panjang akibat populasi yang menua.
Meski begitu, efektivitas langkah-langkah tersebut dalam menaikkan angka kelahiran secara signifikan masih menjadi tantangan. Sebab, faktor-faktor seperti meningkatnya biaya hidup dan perubahan norma sosial terus memengaruhi keputusan keluarga berencana.