Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

DPR Ingatkan Kebijakan Zero Tolerance Tak Cocok buat Indonesia

Ilustrasi gedung DPR di Senayan. (IDN Times/Kevin Handoko)
Intinya sih...
  • DPR RI menekankan pemerintah untuk menerapkan kebijakan berbasis mitigasi risiko daripada pendekatan zero tolerance.
  • Pemerintah sedang berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta mencari keseimbangan dengan pemangku kepentingan dalam memitigasi berbagai risiko.
  • Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas menyatakan kebijakan berbasis pengurangan risiko telah dimasukkan ke dalam RPJMN.

Jakarta, IDN Times - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengingatkan pemerintah agar menerapkan kebijakan berbasis mitigasi risiko daripada pendekatan zero tolerance yang menuntut penghapusan risiko secara total.

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Puteri Komarudin menilai kebijakan tersebut lebih realistis bagi Indonesia, mengingat ketergantungan negara terhadap sumber daya alam dan statusnya sebagai negara berkembang.

Dia menjelaskan pendekatan zero tolerance lazim diterapkan di negara maju yang sudah berfokus pada isu lingkungan secara ketat. Jika dibandingkan dengan Indonesia, kebijakan tersebut dianggap tidak adil dan kurang relevan.

"Kebijakan zero tolerance banyak diterapkan di negara maju, sedangkan kita masih negara menengah yang sangat bergantung dengan sumber daya alam. Kalau dibandingkan dengan negara maju, ini tidak fair," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (11/2/2025).

1. Tidak apple to apple bandingkan Indonesia dengan negara maju

Puteri Komarudin dalam Sesi "Women's Voice in Politics and Decision Making" IMGS 2022 pada Jumat (30/9/2022). (IDN Times/Tata Firza & Reynaldy)
Puteri Komarudin dalam Sesi "Women's Voice in Politics and Decision Making" IMGS 2022 pada Jumat (30/9/2022). (IDN Times/Tata Firza & Reynaldy)

Saat ini, pemerintah masih berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta mencari keseimbangan dengan pemangku kepentingan dalam memitigasi berbagai risiko, termasuk di sektor lingkungan, kesehatan, dan keuangan.

"Mereka sekarang sudah masuk ke isu lingkungan yang zero tolerance. Tidak apple to apple, tidak adil," jelas Puteri, dalam acara Diskusi Publik "Membangun Indonesia Tangguh: Penerapan Paradigma Sadar Risiko dalam Pembangunan Berkelanjutan" di Jakarta.

Dia menjelaskan, DPR RI setiap tahun membahas manajemen risiko dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas agar kebijakan sejalan dengan APBN dan dapat mengatasi masalah di masyarakat melalui efisiensi anggaran.

Puteri mencontohkan sektor tembakau yang menghadapi tantangan dari aspek industri, tenaga kerja, kesehatan, penerimaan negara, dan regulasi. Karena itu, kebijakan berbasis mitigasi risiko harus mencari keseimbangan yang mempertimbangkan berbagai faktor tersebut.

2. RPJMN menggunakan pendekatan berbasis pengurangan risiko

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami menyatakan kebijakan berbasis pengurangan risiko telah dimasukkan ke dalam RPJMN.

Dia menegaskan dibandingkan pendekatan zero tolerance yang bersifat pelarangan total, prinsip harm reduction (pengurangan bahaya) lebih sesuai dengan tata kelola yang baik dan pembangunan inklusif untuk memitigasi risiko.

Amich juga menekankan perlunya transisi dari brown economy menuju pembangunan berwawasan lingkungan dan budaya guna mencegah kerusakan. Pemanfaatan sumber daya alam, menurutnya, harus mempertimbangkan keberlanjutan lintas generasi sebagai bagian dari pembangunan inklusif.

"Bagaimana kita harus beralih dari brown economy ke pembangunan yang betul-betul berwawasan lingkungan dan kebudayaan sehingga bisa mencegah kerusakan," tambahnya.

3. Perencanaan yang baik menjadi kunci dalam mengatasi risiko

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)

Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI), Hari Prasetiyo, menekankan perencanaan yang baik merupakan kunci dalam mengatasi risiko. Dia menjelaskan, proses kajian diperlukan untuk memahami tingkat risiko yang dihadapi.

“Untuk bisa tahu bahwa ada di level mana risiko yang kita hadapi harus dimulai dengan proses kajian, dan pemerintah harus campur tangan memberikan informasi kepada masyarakat,” kata Hari.

Menurutnya, deteksi risiko sejak dini memungkinkan pembuat kebijakan merancang langkah antisipatif dan mitigatif guna mencegah dampak yang lebih luas. Dengan pemetaan risiko yang tepat, kebijakan dapat lebih terarah, efektif, dan responsif terhadap berbagai tantangan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Trio Hamdani
EditorTrio Hamdani
Follow Us