Indonesia Emas 2045 Dinilai Sulit Tercapai Tanpa Mitigasi Risiko

- Perencanaan matang diperlukan untuk mengatasi risiko dalam mencapai target Indonesia Emas 2045
- Kolaborasi antara pemerintah, industri, masyarakat, NGO, media, dan akademisi diperlukan untuk mencari solusi bersama
- Risiko kesehatan, terutama pada usia produktif, menjadi tantangan yang harus dicermati dalam pembangunan Indonesia Emas 2045
Jakarta, IDN Times - Indonesia menghadapi tantangan untuk mencapai target Indonesia Emas 2045 jika pendekatan sadar risiko tidak diterapkan dalam pembangunan.
Ketua Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (Masindo), Dimas Syailendra R mengatakan, dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks memerlukan identifikasi, mitigasi, dan adaptasi terhadap berbagai risiko, mulai dari bencana alam, krisis kesehatan dan ekonomi hingga perubahan iklim.
“Kita harus sadar bahwa isu mengenai risiko ini harus masuk dalam cara pandang kita melihat ke depan," kata dia dalam diskusi Kompas Gramedia Radio Network (KGRN) dan Masindo di Jakarta, dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (8/2/2025).
Menurutnya, mengatasi risiko membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, industri, masyarakat, NGO, media, dan akademisi untuk mencari solusi bersama.
Dimas memperingatkan tanpa perhatian serius terhadap risiko, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi wacana. Dia menekankan perlunya langkah konkret dan strategi tepat agar target kesejahteraan nasional tercapai.
1. Bonus demografi di 2045 menghadapi ancaman

Dia mengungkapkan, salah satu tantangan yang harus dicermati adalah risiko kesehatan, terutama karena pada 2045 sekitar 70 persen populasi Indonesia diperkirakan berada dalam usia produktif.
Menurutnya, pengelolaan risiko harus menjadi prioritas untuk memastikan pembangunan yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis mitigasi risiko dalam menghadapi Indonesia Emas 2045. Dimas menyoroti penyakit jantung sebagai penyebab kematian utama di Indonesia akibat pola hidup tidak sehat.
"Selama ini kita makan dengan tidak memperhatikan gula, garam, atau masih melakukan kebiasaan merokok, maka 70 persen populasi yang masuk dalam masa produktif itu akan terancam,” ungkapnya.
2. Pemerintah menyadari kurangnya mitigasi risiko bisa berdampak luas

Kementerian PPN/Bappenas menyadari kurangnya literasi dan kepedulian terhadap potensi risiko, menyebabkan banyak ancaman tidak diantisipasi dengan baik yang bisa berdampak pada ekonomi, sosial, dan keberlanjutan pembangunan.
Sementara itu, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami, menilai hal tersebut sebagai permasalahan serius.
“Misalnya di pembangunan kesehatan, penyakit tidak menular itu adalah penyumbang terbesar kematian. Apakah diabetes, apakah stroke, apakah jantung, semuanya itu dari pola makan yang tidak sehat. Karena itu, kami di Bappenas memberi penekanan betul bahwa faktor risiko dikurangi dan dicegah,” sebut Amich.
Adapun anggota DPR RI Komisi XI, Puteri Anetta Komarudin, menegaskan perlunya kebijakan berbasis kesadaran risiko untuk menjaga stabilitas dan ketahanan ekonomi.
Pemahaman yang baik terhadap potensi risiko di sektor keuangan dan pembangunan dinilai krusial agar langkah antisipatif dapat diterapkan secara efektif.
3. Perencanaan yang baik menjadi kunci dalam mengatasi risiko

Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI), Hari Prasetiyo, menekankan perencanaan yang baik merupakan kunci dalam mengatasi risiko. Dia menjelaskan, proses kajian diperlukan untuk memahami tingkat risiko yang dihadapi.
“Untuk bisa tahu bahwa ada di level mana risiko yang kita hadapi harus dimulai dengan proses kajian, dan pemerintah harus campur tangan memberikan informasi kepada masyarakat,” kata Hari.
Menurutnya, deteksi risiko sejak dini memungkinkan pembuat kebijakan merancang langkah antisipatif dan mitigatif guna mencegah dampak yang lebih luas. Dengan pemetaan risiko yang tepat, kebijakan dapat lebih terarah, efektif, dan responsif terhadap berbagai tantangan.
Dalam konteks industri hasil tembakau, dia menyoroti pentingnya kesadaran risiko dalam perumusan kebijakan yang seimbang antara aspek kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan pekerja.
“Pendekatan pengurangan risiko bisa juga diadopsi untuk menciptakan keseimbangan, misalnya dengan penggunaan produk tembakau alternatif yang secara profil risiko lebih rendah sehingga tujuan dari Bappenas mengurangi prevalensi merokok dan dampak kesehatan dari merokok bisa dimulai dari situ,” tutupnya.