Siapkah Indonesia Beralih dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan?

Minyak dan gas pasti habis, perlu cari sumber energi baru

Jakarta, IDN Times - Hingga saat ini, kita masih menikmati bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas (BBG), dan batu bara untuk kebutuhan hidup sehari-hari? Namun, itu tentu tidak untuk selamanya karena tiga jenis bahan bakar itu tidak termasuk energi terbarukan. Mereka akan habis pada waktunya.

Hal itu membuka perbincangan sesi Energy 4.0: Designing the Future of Indonesia's Power Sector di Indonesia Millennial Summit 2020 yang diselenggarakan IDN Times di The Tribrata, Jakarta. Di panggung Visionary Leaders IMS 2020 hadirlah tiga pembicara untuk membahas tema ini.

Ada penasihat Komisi Global Geopolitik Transformasi Energi Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) Mari Elka Pangestu, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arifin Tasrif, dan Executive Director of IBEKA Tri Mumpuni.

“Yang perlu disadari oleh negara seperti Indonesia adalah akan terjadi transformasi penggunaan energi dari tradisional atau minyak bumi dan batu bara, dan akan terjadi puncak penggunaan fossil fuel. Peak-nya mugkin 2050 sudah berubah ke energi terbarukan. Jadi kita harus siap-siap dululah,” kata Mari Elka yang segera menjabat Direktur Pelaksana, Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan untuk Bank Dunia, Jumat (17/1).

Seperti apa gambaran sektor energi Indonesia masa depan? Sudah siapkah kita beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT)? Berikut diskusi mendalam tiga pembicara di IMS 2020 mengenai hal tersebut.

1. Tekanan dari dunia hingga The Greta Effect

Siapkah Indonesia Beralih dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan?Greta Thunberg saat memberikan pidatonya di acara Aksi Iklim di markas PBB di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2019. instagram.com/gretathunberg

Di panggung yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arifin Tasrif membenarkan pernyataan Mari Elka bahwa energi fosil semakin ditinggalkan. Dia menyebut Indonesia mendapat tekanan untuk mulai meninggalkan energi fosil.

“Banyak negara-negara telah dikampanyekan untuk tidak memberikan bantuan finansial untuk proyek-proyek yang menggunakan energi fosil. Tetapi kita masih membutuhkan ini,” ujarnya.

Senada dengan Arifin, menurut Mari Elka, perubahan menuju EBT ini terjadi bukan karena adanya target dari negara tapi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai dari faktor ekonomi, sosial dan politik.

“Untuk negara seperti Indonesia yang tingkat ketergantungan dengan minyak bumi dan batu baranya masih tinggi, bukan hanya untuk energi, tapi juga pajak, ekspor, itu perlu jadi catatan. Ini tidak akan terjadi besok, tapi mungkin terjadi 5-10 tahun ke depan,” ujar Mari.

Salah satu kabar desakan paling hebat untuk perubahan menuju penggunaan EBT datang dari remaja asal Swedia berusia 17 tahun, Greta Thunberg. Namanya tentu sudah tidak asing bagi kita. Greta yang duduk di kelas 9 memutuskan untuk tidak bersekolah sampai pemilihan umum Swedia 2018 digelar pada 9 September. 

Hal itu dilakukannya setelah gelombang panas dan kebakaran hutan di Swedia terjadi. Ia menuntut pemerintah Swedia mengurangi emisi karbon sesuai dengan Persetujuan Paris. Protes itu ia lakukan dengan duduk di luar Riksdag (lembaga perwakilan rakyat) setiap hari selama jam sekolah dengan tanda skolstrejk för klimatet (mogok sekolah untuk iklim).

The message is very simple ‘Rumahku sudah terbakar, apa yang kau lakukan? Dan kau harus melakukan dari sekarang. Kalau tidak, saya tidak punya rumah lagi’. Dan ini tekanan yang akhirnya di Eropa mempengaruhi outcome dari election. Kita belum, awareness-nya masih rendah,” kata Mari.

Selain itu, sejumlah lembaga di dunia seperti Bank Dunia sudah ogah membiayai energi fosil lagi. “Bank Dunia, sudah tidak mau lagi mendanai ha-hal yang terkait penggunaan energi seperti minyak bumi dan batu bara.

Misalnya Standard Chartered, sudah mengumumkan tidak akan memberi pinjaman kepada power plant yang menggunakan batu bara,” kata Mari.

Baca Juga: Tri Mumpuni: Indonesia Butuh Peran Millennial untuk Energi Terbarukan 

2. Energi fosil yang akan terus berkurang

Siapkah Indonesia Beralih dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan?(IDN Times/Kevin Handoko)

Lama kelamaan, cadangan energi yang berasal dari fosil tersebut akan habis. Meski pemerintah terus mengupayakan adanya sumber baru untuk menghasilkan produksi minyak dan gas (migas), namun untuk minyak memerlukan waktu. “Minyaknya butuh waktu. Apalagi kita bisa mendapatkan sumber yang dapat dikatakan sebagai mega discovery,” kata Arifin.

Arifin juga mengakui bahwa pemerintah Indonesia belum mempersiapkan untuk EBT ini. “Memang dalam beberapa tahun ini produksi migas kita menurun dan memang kita baru mengetahui ada kecenderungan penurunan.

Karena sumber-sumber migas ada volumenya, ada memang periode waktunya. Dan ini kita memang tidak mempersiapkan, belum menemukan sumber migas yang baru. Ada beberapa tapi belum di-develop,” katanya.

Berdasarkan laporan BPPT Energy Outlook 2019 disebutkan produksi minyak bumi akan menurun sekitar 5 persen per tahun dari 292,4 juta barel pada tahun 2017 menjadi 53,8 juta barel pada tahun 2050 karena sumur yang sudah tua dan sumber daya yang terletak di daerah frontier.

“Demikian juga ekspor minyak bumi diperkirakan akan menurun dari 102,7 juta barel pada tahun 2017 dan berakhir pada tahun 2035. Net impor minyak meningkat dari 79,2 juta barel pada 2017 menjadi 924,9 juta barel pada tahun 2050 dengan tingkat pertumbuhan per tahun 7,7 persen atau akan meningkat lebih dari 11 kali lipat,” kata BPPT.

Saat ini, kebutuhan minyak bumi dan BBM dalam negeri dipenuhi dari produksi minyak bumi dalam negeri, impor minyak bumi, dan impor BBM. Hal ini diperburuk dengan kapasitas kilang Indonesia selama 20 tahun terakhir tidak bertambah dan konsumsi BBM yang terus meningkat menyebabkan impor BBM semakin besar dari tahun ke tahun.

BPPT mencatat, dalam kurun waktu dari tahun 2017 - 2050 diperkirakan impor minyak bumi akan meningkat 5 kali lipat, meningkat dari 181,9 juta barel pada tahun 2017 menjadi 924,9 juta barel pada tahun 2050 dengan pertumbuhan 5,1 persen per tahun.

Selain itu BPPT juga memproyeksikan Indonesia akan kehabisan batu bara 69 tahun lagi terhitung sejak 2020. “Cadangan batu bara Indonesia pada tahun 2018 sebesar 39,89 miliar ton dengan potensi sebesar 151,40 miliar ton. Dengan tingkat produksi batu bara sekitar 558 juta ton per tahun, semua jenis cadangan batu bara (lignit, subbituminus, bituminus) akan habis dalam kurun waktu 71 tahun,” tulis BPPT.

3. Biaya besar untuk EBT dan peranan teknologi untuk memangkas biaya

Siapkah Indonesia Beralih dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan?IDN Times/Kevin Handoko

Arifin mengatakan salah satu kesulitan pemerintah mengadopsi EBT adalah karena biayanya yang besar. Pemanfaatan EBT masih banyak kendala yang dihadapi di antaranya adalah kesenjangan geografis antara lokasi sumber energi dengan lokasi kebutuhan energi serta biaya investasi teknologi energi berbasis EBT yang masih mahal.

Namun pernyataan Arifin langsung dibantah oleh Mari. Menurutnya, dengan perkembangan teknologi dan inovasi, EBT sangat memungkinkan untuk diadopsi.

“Biaya renewable (energy) sendiri itu sudah banyak sekali turun. Baik hydro, solar, wind. Mungkin ini perdebatan ya. Tadi Pak Arifin mengatakan perlu waktu, biaya belum masuk, teknologi belum mapan. Tapi kalau kita lihat average price of solar and wind, itu sudah sekitar 45 persen ya world wide ya,” kata Mari memaparkan.

Dari segi biaya dan teknologi, menurut Mari Elka, sebetulnya sudah banyak kemajuan yang bisa kita tangkap. Teknologi, inovasi, dan investasi adalah jawabannya. Selain itu, menurut laporan BPPT, adanya transformasi digital juga berdampak pada perubahan aktivitas ekonomi dan peningkatan efisiensi karena adanya perubahan teknologi.

IEA (2019) sudah melakukan studi secara spesifik tentang dampak transformasi digital terhadap kebutuhan energi di sektor transportasi, gedung, rumah tangga, dan komersial, dan industri. Sektor transportasi saat ini sudah berkembang konektivitas antarmoda, berbagi perjalanan, dan otomatisasi alat angkut.

“Gedung pintar akan meningkatkan kenyamanan dan mengubah pola penggunaan energi menjadi lebih efisien. Penghematan energi di sektor industri dapat dicapai melalui pemanfaatan sistem kendali proses yang maju dan terintegrasi dengan sensor cerdas serta pemroses data untuk memprediksi kegagalan peralatan,” papar BPPT dalam laporannya.

Baca Juga: Ini Lima Jurus Kurangi Ketergantungan terhadap Energi Fosil

4. Lalu apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk EBT ini?

Siapkah Indonesia Beralih dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan?IDN Times / Arief Rahmat

Ada banyak yang sudah dilakukan pemerintah. Pertama, di Pulau Jawa sudah tidak ada lagi pembangunan energi berbasis fosil. Kedua, pemerintah juga berjanji membangun tempat-tempat sumber tambang batu bara. Ketiga, pemerintah sudah mengganti pembangkit yang selama ini minyak solar, diesel, dengan gas atau gasifikasi.

Keempat, pemerintah akan mendorong penggunaan energi terbarukan dari alam seperti sumber untuk hydropower yang dari bendungan dan pemanfaatan sumber matahari dan potensi biomassa yang cukup besar.

“Sekarang ini juga yang sedang menjadi perhatian pelaku energi adalah pembangkit-pembangkit yang berasal dari arus bawah laut,” kata Arifin.

Tidak ketinggalan, eks Dubes Indonesia untuk Jepang ini mengatakan pemerintah akan terus menggali pemanfaatan dari biosolar dari kelapa sawit. “Kita sudah mengintroduce B20, kita melaunvahing B30 dan dampaknya memang signifikan karena tahun lalu kita bisa menghemat US$3 miliar,” ungkap Arifin.

Namun, sawit tidak akan ‘diperas’ habis-habisan. Arifin berjanji pemerintah akan melakukan diversifikasi nabati dengan mencari tumbuhan lain. “Kita harus cari alternatif pohon lain dan itu banyak," kata Arifin.

Untuk itu, menurutnya, Indonesia mempunyai kebijakan baru sekarang antara lain menanami lahan-lahan rehabilitasi bekas hutan dan perkebunan dengan pohon berbasis energi. "Sehingga kita kena namanya back to energy dan energi yang baik adalah sustain energy,” kata Arifin memaparkan.

Dalam jangka pendek, pemerintah merencanakan untuk membangun hub transmission energy, baik gas maupun juga listrik. “Baik Sumatera atau ke Jawa harus bisa tersambung. Trans Sulawesi, Kalimantan."

Untuk daerah yang berada di luar Pulau Jawa, antara lain wilayah timur, pemerintah akan menyediakan kebijakan untuk off grid. "Kalau itu bisa, tidak harus dilaksanakan oleh PLN, tapi swasta, masyarakat kecil pun bisa,” kata Arifin.

5. Indonesia gak bisa pakai satu solusi energi terbarukan untuk semua wilayah

Siapkah Indonesia Beralih dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan?IDN Times/Kevin Handoko

Meski ada begitu banyak jenis EBT untuk menggantikan energi fosil, Indonesia dinilai tidak menerapkan satu jenis saja untuk diterapkan di semua daerah. Mari Elka, mengutip disertasi salah seorang kawannya 30 tahun lalu yang meneliti tentang energi di Indonesia.

“Meski orang Amerika, dia mengenal listrik di Indonesia. Kesimpulan dia, Indonesia tidak bisa one size, doesn’t fit all. Karena Indonesia kepulauan yang sangat luas dan geografi yang berbeda antar pulau, jadi solusi untuk Jawa, Bali tidak mungkin bisa dilakukan di pulau terluar. Jadi kita harus punya banyak solusi,” kata Mari.

Pernyataan Mari didukung oleh Executive Director of IBEKA Tri Mumpuni. Menurutnya perlu bagi desa di Indonesia untuk maju secara ekonomi. Caranya? Harus ada pengembangan energi di daerah tersebut.

Ia tidak menuntut muluk-muluk dari pemerintah dalam pengembangan energi di desa. Tri berharap Arifin Tasrif dan kementeriannya memberikan ruang bagi rakyat dan terlibat untuk menyediakan energi bagi desa. Ia juga berharap pemerintah dapat memberikan dukungan finansial.

“Oleh karena itu, saya sudah merasa semakin berkurang, gak mungkin tiga bulan saya nongkrong di desa untuk melihat rakyat betul-betul mulai merencanakan, mengoperasikan, sampai menjaga pembangkitnya agar betul-betul bisa sustainable,” ujar Tri.

Masalah energi ini tidak hanya sebatas diversifikasi energi di daerah. Mari Elka juga mengkritik dan berharap PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa melepaskan monopolinya sebagai perusahaan penghasil energi utama.

“Kalau kita mau melakukan inovasi atau business model yang berbeda di Maluku dibanding Jakarta dan Bali, itu memerlukan dilepasnya monopoli PLN dalam distribution. Saya dengar ada wacana berbeda dari sumber renewable-nya atau energi plus berdasarkan region," kata Mari.

"Memang harus ke situ. Kalau saya pulau, saya punya my own energy. I managed myself dan berdasarkan keputusan bersama. Dan kalau ada excess-nya boleh gak saya jual ke pulau sebelah saya? Kalau sekarang kan harus melalui PLN,” sambungnya.

Baca Juga: IMS 2020: Mari Elka: Puncak Penggunaan Bahan Bakar Fosil 10 Tahun Lagi

6. Ada gak sih yang bisa kita lakukan dari sekarang untuk menjaga bumi kita?

Siapkah Indonesia Beralih dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan?IDN Times/Ashari Arief

Tentu ada. Mari menyarankan agar kita mengikuti komunitas atau volunteer di bidang lingkungan. Kamu bisa menggerakan opini publik seperti yang dilakukan Greta. Kalau kamu termasuk yang minat terhadap teknologi, juga bisa terus belajar untuk mengembangkan teknologi dan inovasi untuk lingkungan.

“Bantulah Indonesia mencari solusi untuk renewable energy yang tepat, untuk lokasi, price dan business model yang tepat. Di startup sudah masuk tuh bagaiman solar cell masuk di daerah terpencill. jadi banyak solusi yang bisa dilakukan,” katanya.

Kamu bisa menggunakan big data, artificial intelligence (AI) untuk mendapatkan harga yang terjangkau untuk energi terbarukan. “Untuk memahami berapa price-nya, pada jam ini harus pakai apa, karena one of the worst pollution in Jakarta is pagi hari, karena harganya murah dan banyak pabrik pakai pada jam itu.

“Whatever you can do. Dari pada naik mobil atau gojek, naik MRT, busway, jaaln kalau perlu dari titik A Ke B kalau tidak jauh, naik sepeda. Do your own with you can,” ujar Mari.

IDN Times menggelar Indonesia Millennial Summit 2020. Acara akbar tahunan yang berlangsung pada 17-18 Januari 2020 itu mengusung tema "Shaping Indonesia's Future". IMS 2020 menghadirkan 131 pembicara kompeten di berbagai bidang, dari politik, ekonomi, bisnis, olahraga, budaya, lintas agama, sosial, lingkungan sampai kepemimpinan millennial.

Terdapat beberapa stage yang menampilkan pembicara berpengalaman di bidangnya masing-masing. Mulai dari stage Visionary Leaders (VL), Future is Female, Talent Trifecta dan Hijrah. Tentunya acara ini dihadiri banyak sekali millennial dan Gen Z di Indonesia.

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App. Unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: Menteri ESDM Bocorkan Soal Energi 4.0 Versi Jokowi pada Millennial

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya