Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi rokok (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah berencana akan melarang total iklan rokok di media elektronik. Ketentuan itu tertuang dalam rancangan revisi 109/2012 yang tercantum dalam Keppres Nomor 25 Tahun 2022.

Ketua Ikatan Rumah Produksi Iklan Indonesia (IRPII), Ari Uno mengatakan wacana pelarangan total aktivitas iklan rokok untuk menekan prevalensi perokok anak, salah sasaran mengingat rokok masih merupakan produk legal. Sehingga iklan merupakan bagian dari aktivitas komunikasi dalam menunjang keberlangsungan usaha.

Upaya investasi dalam hal periklanan juga merupakan hal yang legal serta turut dijamin dan diatur oleh peraturan perundang-undangan.

“Menjadikan iklan rokok sebagai penyebab tingginya prevalensi perokok anak adalah bentuk simplifikasi yang tidak adil. Pada praktiknya, kami di industri periklanan sudah sangat ketat mematuhi aturan-aturan terkait iklan rokok, mulai dari tidak menayangkan adegan aktivitas merokok, produk, hingga soal jam tayang," ujar Ari dikutip dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/7/2023).

"Yang menjadi pertanyaan, ketika iklan rokok sudah sedemikian rigid-nya, anak-anak bisa terpapar iklan rokok, ini sudah masuk ke dalam ranah privat. Fungsi pengawasan yang patut dievaluasi,” tambah Ari.

1. Industri hasil tembakau sumbang pemasukan terbesar di industri periklanan

Default Image IDN

Ari Uno menuturkan, salah satu pemasukan terbesar industri periklanan, yang merupakan sub sektor ekonomi kreatif, berasal dari industri hasil tembakau. Jika larangan iklan total diimplementasikan, Ari menilai akan mengakibatkan gap ekonomi yang luar biasa. Di sisi lain, belum ada industri pengganti yang nilainya sama dengan industri hasil tembakau.

“Dampak ekonominya sangat besar. Pelarangan total iklan akan berujung pada ketimpangan ekonomi yang pada akhirnya akan menimbulkan chaos. Dengan demikian, pelarangan total iklan, promosi, dan sponsorship bukanlah jawaban atas permasalahan saat ini,” jelas dia.

2. Pelarangan iklan rokok bukan solusi untuk tekan jumlah perokok anak

Ilustrasi Rokok (IDN Times/Aditya Pratama)

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution menuturkan, wacana pelarangan total iklan bukanlah solusi berkelanjutan terhadap upaya penurunan prevalensi perokok anak.

Dia menekankan bahwa pelarangan total iklan rokok menyebabkan dampak langsung pada ketersediaan peluang kerja bagi masyarakat yang terlibat di hulu hingga hilir industri pertembakauan.

“Ada ratusan ribu tenaga kerja yang akan terdampak dengan pelarangan total iklan rokok. Mengampanyekan pelarangan total iklan rokok sangat mempengaruhi indikator pertumbuhan ekonomi mengingat belanja iklan industri rokok turut membantu pertumbuhan industri periklanan dan media kreatif,” ujar Syafril.

Menurut Syafril, hal terpenting dalam upaya penurunan prevalensi perokok anak adalah dengan melakukan evaluasi fungsi pengawasan terhadap penjualan rokok bagi anak di bawah umur 18 tahun.

Dengan kontribusi belanja iklan mencapai Rp4,5 trilliun di semester I-2022, menurut data Nielsen, maka dapat dilihat bahwa kontribusi industri rokok juga menopang keberlangsungan industri media kreatif.

3. Iklan produk tembakau legal, asal sesuai aturan

ilustrasi rokok (IDN Times/Aditya Pratama)

Ketua Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, memaparkan bahwa tembakau dan hasil tembakau (rokok) merupakan barang legal yang mendapat izin edar.

Sebagai produk legal, rokok seharusnya diperbolehkan untuk diiklankan, sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini akan menjadi aneh jika dalam sebuah rancangan peraturan, rokok dilarang total untuk diiklankan.

"Sebagai barang legal, pelaku usaha telah melakukan investasi untuk mengembangkan industri hasil tembakau. Dalam ekosistemnya, ada periklanan sebagai bagian dari media kreatif, yang secara sah di mata hukum diperbolehkan aktivitasnya dengan menaati pembatasan yang ada," ujar Hery.

Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada tahun 2021, terdapat enam subsektor yang terkait dengan industri hasil tembakau, yaitu mulai dari subsektor desain, film/video, musik, penerbitan, periklanan, hingga subsektor penyiaran (TV dan radio), yang secara kolektif mempekerjakan lebih dari 725 ribu tenaga kerja.

"Oleh karena itu, jangan ada lagi peraturan yang bersifat eksesif dan tidak melindungi ekosistem pertembakauan secara menyeluruh karena berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi sejumlah subsektor industri ekonomi kreatif. Kami berharap pemerintah dapat memberi ruang, perlindungan, dan jaminan keberlangsungan berusaha bagi subsektor industri kreatif," jelasnya.

Editorial Team