Khawatir Jadi Negara Bangkrut, Malaysia Batalkan 2 Proyek Besar China
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Beijing, IDN Times - Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad mengumumkan bahwa dia membatalkan dua proyek infrastruktur yang sedianya dikerjakan perusahaan-perusahaan asal Tiongkok. Pengesampingan dua proyek besar itu dilakukan karena anggarannya yang terlalu besar untuk sebuah negara yang tengah dililit utang.
1. Utang Malaysia capai 1.087 triliun ringgit
Ya, Malaysia tengah menghadapi masalah utang cukup pelik. Per 31 Desember 2017, utang Malaysia mencapai 1,087 triliun Ringgit, Jika dirupiahkan, angkanya mencapai Rp3.500 triliun.
Utang tersebut membuat pemerintahan Mahathir Mohamad kelimpungan karena rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 60 persen.
2. Keputusan ini kontras dengan hasil pertemuan PM Malaysia dengan Presiden China
Penolakan proyek yang merupakan bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) itu sangat kontras--jika tidak mau disebut bertolak belakang--dengan pertemuan Mahathir Mohamad dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, sehari sebelumnya. Padahal, dalam pertemuan diselingi makan malam itu, kedua negara yakin dan optimis kerja sama mereka di masa depan untuk menguatkan tingkat kepercayaan politik kedua negara.
“Saya yakin, China tidak mau melihat Malaysia menjadi negara bangkrut. China memahami masalah kami dan sudah setuju," kata Mahathir dalam pengumuman, Selasa (21/8), seperti dikutip dari situs Washington Post.
Editor’s picks
Baca Juga: 4 Fakta Kemenangan Mahathir dalam Pemilu Malaysia
3. Pukulan telak bagi Tiongkok?
Salah satu proyek yang dibatalkan itu adalah East Coast Rail Link, yang sedianya akan menghubungkan Laut Cina Selatan dengan rute pelayaran strategis di barat Malaysia. Akses ini semula digadang akan menjadi jalur perdagangan penting.
Proyek lainnya adalah pipa gas alam di Sabah yang terletak di Pulau Kalimantan. Dikutip dari situs China Economic Review, nilai kedua proyek itu diperkirakan mencapai US$20 miliar.
Mahathir mengatakan, beberapa rincian kunci, termasuk kompensasi, masih harus diselesaikan.
Sementara itu, peneliti asal Heidelberg University, Marina Rudyak, menilai keputusan Mahathir itu menjadi pukulan telak bagi Tiongkok. "Xi Jinping memproyeksikan BRI sebagai kontribusi China di era baru. Di mana, China berperan sebagai salah satu pemain global," kata Rudyak.
Pembatalan proyek besar itu, imbuhnya, menandakan kegagalan diplomasi ekonomi China.
Baca Juga: Mantan PM Malaysia Najib Razak Dituntut dengan Pasal Pencucian Uang