Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

10 Tahun Jokowi: Antara UU Cipta Kerja dan Gelombang PHK

Presiden Jokowi Resmikan Lumbung Pangan Berbasis Mangga dan Taksi Alsinta di Kabupaten Gresik (dok. Sekretariat Presiden)

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang (UU) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan salah satu produk hukum pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang dibuat dengan skema omnibus law.

UU itu sebenarnya disahkan pada 5 Oktober 2020. Namun, pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU itu inskonstitusional bersyarat dan cacat formil.

MK memberikan jangka waktu dua tahun untuk memperbaiki UU tersebut. Aksi pemerintah untuk menyelamatkan UU itu tak habis. Pada 30 Desember 2022, Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu itu disahkan lagi menjadi UU pada 21 Maret 2023 meski menuai kontroversi.

1. Digadang-gadang Jokowi bakal ciptakan lapangan pekerjaan

Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono mendampingi Presiden Joko Widodo meresmikan produksi pabrik pengolahan hasil tambang (smelter) PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kabupaten Gresik, Senin (23/9). (dok. Humas Pemprov Jatim)

Pada 20 Oktober 2019, yakni pada pidato pelantikannya, Jokowi mengatakan UU Cipta Kerja akan menangani tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi dan pertumbuhan lapangan pekerjaan.

“Puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus," kata Jokowi di Gedung MPR RI.

Pada 9 Oktober 2020, Jokowi menyatakan tujuan penciptaan UU tersebut ialah untuk menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran. Menurut Jokowi, jumlah pengangguran di Indonesia selalu bertambah setiap tahun. Sehingga, UU itu diperlukan demi menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk usia kerja baru.

“Pertama, setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru, anak muda yang masuk ke pasar kerja, sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat-sangat mendesak," ujar Jokowi.

2. Jokowi bantah UU Cipta Kerja permudah pengusaha lakukan PHK

Para buruh PT San Xiong Steel Indonesia menggelar aksi demostrasi di kantor Disnaker Lampung. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menegaskan UU Cipta Kerja tidak akan mempermudah perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan. Dia berjanji, UU itu akan memberikan perlindungan kepada karyawan.

"Apakah perusahaan bisa PHK kapan pun secara sepihak, tidak benar. Yang benar perusahaan tidak bisa PHK secara sepihak,” ucap Jokowi.

Dalam UU tersebut, ada 5 poin dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah, yang dinilai merugikan buruh.

Pertama, pasal 59 dalam UU 13/2003 yang diubah menjadi pasal 81 nomor 15 dalam UU Cipta Kerja, sehingga perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak.

Kedua, UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya (outsourcing). Ketentuan ini dinilai memperluas praktik outsourcing.

Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.

Ketiga, terkait waktu kerja, yakni batasan maksimal jam lembur, dari 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu.

Keempat, hak cuti dan istirahat juga dinilai berkurang, karena pekerja hanya mendapat istirahat sebanyak satu kali dalam sepekan.

Kelima, UU Cipta Kerja dianggap mempermudah PHK, karena pada pasal 81 nomor 42, PHK dapat dilakukan karena pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

3. Jumlah PHK selama 5 tahun terakhir

Karyawan pabrik ban di Bekasi kena PHK. (Istimewa)

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), pada 2019 tercatat ada 18.911 orang terkena PHK. Lalu, angka itu meningkat pesat, bahkan hingga 1.945 persen pada 2020 menjadi 386.877 orang.

Setelah UU Cipta Kerja disahkan, angka tenaga kerja yang terdampak PHK sempat menurun hingga 67 persen menjadi 127.085 orang pada 2021.

Kemudian, pada 2022, jumlah pekerja yang terkena PHK menurun lagi hingga 80,2 persen menjadi 25.114 pekerja. Sayangnya, jumlah pekerja terkena PHK meningkat lagi hingga 158 persen menjadi 64.855. Gelombang PHK kembali meledak di akhir masa pemerintahan Jokowi. Berdasarkan data Kemenaker, per 1 Oktober 2024 saja, jumlah pekerja yang terkena PHK sudah melebihi 52 ribu orang.

4. Buruh tuntut UU Cipta Kerja dicabut

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh, Said Iqbal saat berdemo pada Kamis (29/2/2024). (IDN Times/Iglo Montana)

Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyampaikan para buruh masih menuntut pencabutan UU Cipta Kerja. Selain itu, KSPI dan Partai Buruh menolak penggunaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 dalam perhitungan upah minimum yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.

KSPI menilai konsep batas bawah dan batas atas dalam PP tersebut tidak masuk akal dan tidak ada dalam undang-undang sebelumnya, termasuk yang diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja.

Said Iqbal menegaskan, daya beli buruh telah menurun dalam lima tahun terakhir. Litbang KSPI dan Partai Buruh menemukan bahwa dalam periode tersebut, upah riil buruh turun 30 persen. Artinya, daya beli buruh juga menurun 30 persen.

Selama tiga tahun terakhir, kenaikan upah bahkan nol persen, dan dalam dua tahun terakhir kenaikan upah berada di bawah angka inflasi, yang otomatis menggerus nilai upah riil buruh.

“KSPI dan Partai Buruh berharap Mahkamah Konstitusi mengembalikan ketentuan ketenagakerjaan seperti yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, sambil menunggu pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait ketenagakerjaan demi menutup kekosongan hukum,” kata Said Iqbal dikutip dari keterangan resmi yang dikutip Selasa (15/10/2024).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Dwi Agustiar
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us