[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih 

Syarat paling penting adalah vaksin atau obat COVID-19

Jakarta, IDN Times – Pandemik COVID-19 sudah memasuki usia ketujuh bulan saat pertama kali diumumkan Presiden Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo pada 2 Maret 2020. Hingga kini, COVID-19 masih mempengaruhi sejumlah lini massa kehidupan manusia, bukan hanya dari segi kesehatan, namun mengubah sejumlah keadaan seperti kondisi pendidikan, sosial, transportasi hingga ekonomi secara keseluruhan.

Tahun ini, IDN Times kembali mengeluarkan laporan riset dalam Indonesia Millenial Report 2021 dengan tema membahas keadaan ekonomi dan bisnis di masa pandemik dan proyeksi 2021.

Salah satu yang manjadi bahan riset laporan tersebut adalah wawancara khusus dengan pakar ekonomi yang pernah menjabat Wakil Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Perdagangan RI, Bayu Krisnamurthi. Berikut laporan wawancara tersebut.

Bagaimana kebijakan dan langkah ekonomi yang diterapkan pemerintah selama enam bulan pandemik ini?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Ilustrasi ekonomi terdampak pandemik COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Pertama, kita harus menyadari bahwa situasi wabah pandemik COVID-19-19 ini adalah situasi amat sangat luar biasa, belum pernah terjadi di dalam sejarah manusia kita menghadapi situasi seperti ini. Kalau dilihat dari segi wabahnya mungkin wabah Spanish Flu atau Flu Spanyol di tahun 1920 mungkin serupa dengan COVID-19.

Tapi dilihat dari magnitude-nya, dilihat betapa besarnya cakupan dari COVID-19-19 jumlah negara yang terkena, jumlah orang yang sakit dan sebagainya, Spanish Flu sama sekali tidak bisa dibandingkan. Apalagi bahwa dibandingkan dengan seratus tahun yang lalu interkoneksi di dunia itu sekarang udah jauh lebih kuat, jauh lebih erat dibandingkan pada waktu itu.

Jadi memang gak ada textbook-nya, gak ada pengalaman sebelumnya dan akibatnya tidak ada roadmap untuk tahu bagaimana sih seharusnya solusinya, itu point saya yang pertama. Jadi menurut saya apa pun usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah baik juga oleh masyarakat, oleh dunia usaha, itu adalah langkah-langkah yang semuanya think by doing. Dan itu tidak ada disalahkan memang begitu situasi.

Nah, secara prinsip memang kita sudah bisa mendapatkan data bahwa sebenarnya kondisi perekonomian yang buruk ini disebabkan oleh tiga faktor. Faktor yang pertama adalah virusnya sendiri atau penyakitnya sendiri. Tapi ini kecil ini kalau dampak langsung dari COVID-19 pada perekonomian itu gak nyampe 10 persen.

Ini dilihat dari jumlah orang yang sakit, bagaimana pengeluaran yang dilakukan untuk kesehatan, bikin rumah sakit meskipun kelihatannya gede dan seperti spektakuler tapi kalau dibandingkan dengan total perekonomian sepertinya kecil sekali anggaplah 10 persen.

Nah 45 persen lagi yang lain itu adalah ketakutan orang terhadap penyakit ini yang membuat mereka mengubah perilakunya. Mnahan diri untuk berada di rumah, belanjanya jadi berbeda, tidak bepergian, tourism kemudian berhenti tidak ada kegiatan wisata dan lain-lain itu karena orang takut untuk melakukannya dibayang-bayangi oleh kekhawatiran terhadap penyakit.

Dan 45 persen yang lain itu adalah langkah yang diambil oleh otoritas untuk melarang perdagangan, perjalanan dan sebagainya apalagi kalau dikenal dengan lockdown atau PSBB. Itu langkah yang perlu, tapi langkah itu sendiri memang membatasi perekonomian karena dunia itu adalah interlocking. Jadi global supply change itu begitu terkaitnya, satu ditutup maka dampaknya kepada semua. Jadi sekali lagi, karena ini memang ini situasi yang tidak mudah dan tidak ada ramuan untuk mengatasinya, maka apa pun yang dilakukan oleh pemerintah itu sebuah usaha yang menurut saya positif yang harus kita apresiasi dan harus kita dukung.

Nah, challenge nya atau tantangannya itu sebenarnya bukan kepada kebijakan apa atau strategi apanya, tetapi lebih kepada bagaimana pelaksanaannya. Benarkah itu terlaksana? Contoh saja, kalau kita pakai data BPS yang pada sampai Q2, saya belum inikan sebentar lagi akan keluar yang Q3, tapi anggaplah yang Q2 nya itu tiga angka yang menurut saya perlu kita perhatikan. Satu, ternyata memang pertumbuhan pertanian masih positif dua pekan ini. Ini Indonesia ya, data Indonesia.

Tapi kalau dilihat dari data itu kenapa sih kok bisa positif? Apakah karena memang pertanian itu dikelola sedemikian hebat sehingga kemudian bisa melewati gejolak wabah ini? Rasanya gak. Kalau didalami ternyata positifnya pertanian itu karena memang siklusnya positif gitu, siklusnya memang kuat. Yang pertama adalah karena kita panen padi dan itu impact-nya besar. Jika panen tebu, panen beberapa komoditas pertanian yang signifikan, ditambah lagi dengan beberapa perkebunan ekspor itu harganya naik karena situasi global--yang mungkin agak aneh juga karena sawit naik cukup tinggi padahal banyak negara yang melakukan lockdown.

Tapi apa pun latar belakangnya pertanian itu positif 2 persen. Tapi yang saya katakan adalah dia positif 2 persen itu menurut saya agak sulit kita mengatakan itu adalah hasil dari sebuah prestasi pengelolaan, prestasi spon gitu ya jadi karena memang kondisinya yang memang membuat dia positif.

Saya tidak tahu pada Q3 dugaan saya ini akan menurun khusus mengenai pertanian memang COVID-19 ini ternyata bias kota, bias pada kota karena penyakit yang paling banyak menderita adalah masyarakat di Kota bukan di Desa, jadi dia lebih banyak kena pada kegiatan produksi di kota.

Kedua, yang saya kira perlu diperhatikan dari situ adalah bahwa konsumsi ekonomi dari sektor konsumsi jadi angka konsumsi kita turun -5 persen di Q2. Padahal konsumsi itu 50 persen lebih dari ekonomi Indonesia. Jadi benar-benar udah kena gitu ekonomi kita itu.

Dan yang ketiga yang saya agak gelisah adalah government expenditure itu ternyata turun atau minus juga sekitar 7 persen kalo gak salah atau 6 persen gitu. Padahal government expenditure itu ada di government ada tangannya pemerintah. Jadi ini menegaskan yang saya katakan tadi, strategi apa pun sepanjang dia berusaha untuk melakukan counter cyclical dari proses perlakuan ekonomi is fine kita harus coba, harus pakai, harus laksanakan. Tapi kuncinya adalah bagaimana melaksanakannya itu, bagaimana implementasinya.

Angka tadi mengindikasikan bahwa mungkin kita belum terlalu berhasil melaksanakan strategi yang kita canangkan sendiri dan itu mungkin pula misalnya Bapak Presiden kemarin sempat menyampaikan kekhawatirannya, kegusaran beliau dengan kondisi ini.

Evaluasi apa saja yang sebenarnya bisa dilakukan pemerintah selama pandemik ini?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih PSBB Banten (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Kalau menurut saya pertama kata belajar itu sangat tepat tetapi juga harus kita pahami yang belajar bukan hanya Indonesia, seluruh dunia belajar menghadapi COVID-19. Jadi tidak usah berkecil hati bahwa kita ini masih belajar, karena memang gak ada yang pinter, belum ada yang tau. Hanya memang ada beberapa keberhasilan di negara lain yang mungkin bisa jadi catatan atau inspirasi pada kita.

Nah saya kutip saja tulisan yang dibuat oleh Francis Fukuyama misalnya di bulan Agustus kemarin dia bilang ada 3 faktor yang tampaknya menjadi pembeda di antara negara-negara yang dinilai berhasil seperti Jerman, New Zealand, Taiwan misalnya seperti itu dibandingkan negara-negara lain yang belum berhasil di Amerika Serikat atau India atau negara yang lain.

Yang pertama itu adalah kompetensi dari aparat Pemerintah. Ini menurut saya sangat-sangat penting dan kompetensi itu menyangkut banyak bidang seperti di bidang kesehatan, bidang kesehatan menurut saya juga mengatakan dokter kita gak kompeten, tapi antara jumlah dokter kemudian perawat dengan penduduk itu menurut saya rasionya di Indonesia masih terbatas. Demikian juga rasio jumlah tempat tidur, jumlah rumah sakit dan seterusnya.

Jadi kompetensi ini orang-orang yang menangani ini menurut saya sangat kritikal. Dan demikian juga misalnya kompetensi di bidang ekonomi, kompetensi di bidang bagaimana melakukan restructure credit, bagaimana melakukan penanganan logistik dan seterusnya.

Kemudian yang kedua adalah trust, tingkat kepercayaan antara pemerintah, otoritas dengan masyarakatnya. Kalau pemerintah ngomong A itu kira-kira nurut apa gak kalau strategi ini yang dilakukan, kira-kira dijalankan atau tidak. Ini akan menjadi faktor yang sangat luar biasa. Kalau lagi-lagi misalnya contoh hanya untuk masalah yang sederhana seperti memakai masker itu saja masih ya ibaratnya itu gak semuanya nurut gitu, jadi bagaimana kita bisa membuat langkah strategis yang efektif kalau apa yang disampaikan oleh pemerintah itu ternyata tidak dijalankan dengan baik.

Baca Juga: 3 Kunci Agar UMKM Jadi Kekuatan Perekonomian Nasional Versi Bos BI

Hal apa yang belum tersentuh oleh pemerintah sepanjang pemberian stimulus ditengah pandemik ini?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Pemberian insentif untuk tenaga kesehatan di Banyuwangi. IDN Times/Istimewa

Saya tidak bisa, saya tidak punya kapasitas untuk menilai itu karena saya tidak melakukan riset ya. Jadi saya kira ada beberapa kisi-kisi yang bisa kita pakai sebagai alat uji. Siapa saja boleh melakukan menggunakan ini dan mengujinya, menggunakannya sebagai alat uji, apakah langkah-langkah yang diterapkan sekarang ini sudah tepat, sudah sesuai.

Yang pertama, misalnya ini adalah apakah proses ini accountable atau tidak, bagaimana tingkat akuntabilitasnya, bagaimana kita mempertanggungjawabkan kegiatan itu. Kalau kita lihat bahwa pemerintah sudah mengambil langkah pada pertengahan bulan Maret, maka tentunya sudah ada langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah pada bulan April. Jadi menurut saya sekarang April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September sudah 6 bulan, jadi sudah 1 semester program itu direncanakan.

Seyogyanya menurut saya sudah ada report bagaimana aktivitas dari apa yang dilakukan di April dan Mei dan seterusnya jadi bukan hanya sekadar mengatakan kami akan melakukan ini, tapi harusnya juga melihat kami telah melakukan ini dan begini hasilnya. Apa pun menurut saya apakah itu berhasil atau tidak, efektif atau tidak itu rakyat akan bisa menerima dan memang semuanya dengan situasi yang serba berat. Tapi kalau itu dilakukan dan disampaikan dijadikan pengetahuan publik maka menurut saya akan terbangun trust tadi, sehingga pada saat nanti pemerintah melakukan langkah masyarakat akan lebih mendukung itu yang pertama.

Bagaimana akuntabilitasnya dan hubungan di mana akuntabilitas adalah akses publik, akses masyarakat pada informasi. Informasi hal-hal apa yang telah dilakukan tadi, sekarang ini dunia penuh dengan informasi justru tapi kemudian malah membuat seperti seolah-seolah tidak ada informasi. Saking banyaknya informasi sehingga kita kesulitan untuk mencerna dan men-judge informasi-informasi itu, jadi tugas menurut saya bagian dari lagi-lagi komunikasi publik dari pemerintah untuk mampu menjelaskan dan membuka informasi siapa saja yang mau lihat silakan mengakses informasi itu.

Kemudian yang ketiga adalah apakah partisipatif, karena ini masalah semua bukan hanya sekadar masalah pemerintah, tidak fair jika semua dibebankan hanya kepada pemerintah. Pemerintah tentu punya porsinya, punya tugasnya, punya kewajibannya untuk melakukan sesuatu. Tapi harusnya ini menjadi sebuah orkestrasi gerakan masyarakat secara keseluruhan menghadapi COVID-19 termasuk di bidang ekonomi gitu.

Saya mendapatkan kesannya mungkin salah tapi karena datanya memang tidak terlihat, peran swasta, peran usaha dan mikro, peran society organization gitu di dalam menggerakkan semua ini aktif terbatas seperti seolah-seolah semua bertumpuk pada Pemerintah. Iya menurut saya bagus itu cuman tidak akan cukup, ini membutuhkan sebuah partisipasi semua.

Kemudian yang keempat, nah ini agak sensitif karena mulai ada indikasi dan laporan dari paling tidak sharing dari teman-teman itu, pertanyaan untuk bisa menjawab apakah program-program ini bersifat nondiskriminatif atau tidak karena kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan, kelompok marginal, kelompok-kelompok yang sifatnya khusus gitu termasuk mintanya difable terus kemudian apa yang ada di ujung-di ujung seperti di daerah-daerah terpencil, terdepan itu apakah terlibat, apakah mendapatkan porsi perhatian yang sama.

Dan yang kelima saya kira pertanyaannya sebagai alat bedah untuk melihat ini apakah ini sustenable artinya berkelanjutan, apakah hanya sebuah satu kali, satu shock begitu aja dan kemudian sudah selesai kemudian tidak ada bekas. Jadi saya pikir, saya tidak punya datanya untuk men-judge, membuat, menghakimi tapi kalau kita gunakan lima pertanyaan tadi menurut saya kita akan mendapatkan gambaran apakah program-program yang sekarang berlangsung itu sudah seperti yang kita harapkan.

Bantuan terhadap pelaku UMKM sudah efektif atau belum, bagaimana evaluasinya?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Ilustrasi UMKM yang menjual kain jumputan khas Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Lagi-lagi justru yang seharusnya mengeluarkan data evaluasi itu adalah pemerintah menurut saya ya. Soalnya saya sangat-sangat beruntung dan berterima kasih pagi ini, hari ini atau kemarin, mendapatkan hasil kajiannya BPS yang melihat bagaimana dampak COVID-19 pada UKM. Ternyata, secara garis besar saja saya lihatkan angkanya di sini, 60 persen dari usaha kecil menengah kita masih beroperasi, 40 persen itu yang terganggu kegiatan usahanya.

Kita boleh menggunakan terserah Anda mau pakai prinsip gelas setengah kosong atau gelas setengah penuh, kalau yang setengah penuh akan mengatakan toh masih 60 persen beroperasi gitu kan. Kalau yang pesimistis akan mengatakan 40 persen terganggu, tapi apa pun, begitu datanya. Dari yang terganggu sekitar 9 persen itu berhenti perusahaannya. Kemudian sekitar 7 persen itu membagi dengan work from home apakah sebagian atau seluruhnya jadi mengurangi kegiatannya. Dan sekitar mungkin sekitar 24-an atau 23 persen itu mengurangi kapasitas. Jadi size mereka turun dari sebelumnya.

Nah yang harus diingat adalah yang 40 persen ini kalau memang benar 40 persen sebagai porsi maka jumlahnya nah ini yang agak ngeri adalah jumlahnya. UKM usaha mikro kecil di Indonesia itu kurang lebih sekarang sudah mendekati 60 juta unit. 40 persen itu artinya 20 jutaan unit yang terganggu. Dan kita bisa bayangkan 20 juta itu menyangkut berapa jumlah orang dan berapa rumah tangga itu yang menurut saya sangat-sangat penting untuk kita dalangi.

Yang kedua adalah UKM ini dalam struktur ekonomi indonesia UKM itu berada di dalam  market yang terpisah dari yang menengah besar. Maksud saya adalah UKM ini jadi misalnya gini kalau satu warung, warteg mati atau tutup maka dibayangkan tukang sayur yang ngirim sayur akan berhenti tukang ayamnya, tukang berasnya kemudian si buruh kecil yang dapat makan murah di situ akan juga terganggu, dan ini adalah kelompok yang tidak bisa disuruh naik makan ke restoran besar tidak bisa mendapat pasokan bahan dari pasar supermaket dan seterusnya.

Mungkin masih hidup gitu jadi lapisan 40 persen terkecil atau termiskin ya kelompok masyarakat 40 persen terbawah dari ekonomi indonesia itu. Ini kalau ini yang terkena maka dampaknya sangat serius secara menerjemahkannya ke dalam ekonomi nasional seperti JJP dan lain-lain. Growth mungkin turun tapi yang jelas ada hampir 20 jutaan orang atau bahkan mungkin bisa dikatakan 20 jutaan mendekati 20 juta keluarga yang terdampak dengan tadi itu menggunakan basis datanya BPS.

Bagaimana perbandingan tingkat kesulitan ekonomi bisnis saat ini dengan 1998 dan krisis 2008?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi turun (IDN Times/Arief Rahmat)

Untuk 1998 dan 2008 gak ada apa-apanya dibanding ini, karena pada 1998 dan 2008 itu gak ada satu faktor yang luar biasa itu si COVID-19 itu sendiri. Dulu kalau orang, pada waktu awal (pandemi) misalnya ada kesimpulan untuk berwisata misalnya ya itu kan ada dikasih bonus untuk diskon tiket pesawat dan lain-lain, itu benar kalau 1998 dan 2008 itu benar, tapi kalau dengan faktornya adalah si virusnya dan itu gak jalan. Jadi menurut saya dibandingkan tadi sudah saya sebutkan kondisi krisis ini tidak ada bandingannya di dalam sejarah manusia sebelumnya.

Pertama masukan saya dari agak berbeda justru itu nih agak gak cocok dengan apa yang statement tadi soal inovasi, kalau menurut saya justru sekarang ini lahir banyak inovasi dari keterpaksaan atau yang sebelumnya yang sebenarnya berpotensi ada inovasi sebelumnya yang potensinya besar sekarang menjadi teraktualisasi.

Contohnya misalnya begini sampai dengan sebelum COVID-19 ini penggunaan platform digital dan e-commerce untuk marketing itu sudah mencapai kira-kira 30-35 persen dari bisnis di Indonesia tapi transaksi itu hanya gak sampai 5 persen, 3-4 persen saja transaksi menggunakan platform digital, e-commerce, market place dan lain-lain. Setelah COVID-19 transaksi itu naik hampir 40 persen, 35-40 persen dari total penjualan sekarang sudah menggunakan transaksi digital, marketing itu naik menjadi 70 persen menggunakan digital.

Jadi menurut saya ini ada sebuah ada pemanfaatan inovasi karena keterpaksaan yang luar biasa. Kemudian yang kedua misalnya adalah bagaimana sekarang P2P bisnis itu berkembang sangat besar. Demikian juga P2P itu dalam arti private to private jarak tidak lewat market komunikasi digital-nya dilakukan dari sebuah perusahaan ke perusahaan lain. Demikian juga dari pribadi ke pribadi, person to person juga, itu juga terjadi dilakukan seperti itu. Seperti misalnya sekarang banyak sekali Ibu-ibu jualan kue dan makanan dan lain-lain, itu menggerakkan ekonomi dari sana timbul kreativitas dan aktivitas yang tinggi. Webinar training yang menggunakan untuk kegiatan-kegiatan seperti berkebunlah, kerajinan dan lain-lain sangat luar biasa marak di mana-mana.

Ini menurut saya juga hal yang memberikan harapan digitalisasi itu sebuah langkah yang menurut saya perkembangan inovasi yang sangat besar, kemudian juga yang lain adalah pertanian sekarang udah bagaimana minat orang pada pertanian dan terutama juga orang kota, millennial terhadap pertanian itu significantly improve gitu ya meningkat. Ini tentu dengan perspektif yang masing-masing tidak seperti petani jaman yang dibuat lalu pakai cangkul dan caping itu tapi sudah sesuatu yang baru yang modern saya sangat yakin ini akan melahirkan inovasi-inovasi lanjutan apabila nanti misalnya situasi COVID-19-nya sudah mereda dan ini kan tinggal insyaallah gitu ya, kita berdoa pada Allah semuanya.

Enam bulan lagilah itu menurut saya ekonomi kita akan kuat menahan ini, nah kalau resesi dengan beberapa prospek seperti tadi menurut saya gak usah khawatir kalau misalnya nanti bulan awal Oktober BPS mengatakan Q3 masih negatif dan sehingga dengan demikian dua kali quarter kita negatif dan juga arti Indonesia resesi menurut saya gak usah terlalu khawatir berlebihan, ya kita hadapi aja.

Itu menurut saya sih sesuatu yang wajar dalam situasi sekarang, tinggal kepercayaan konsumen kita masih cukup tinggi, tingkat kepercayaan pengusaha kita juga masih tinggi, rencana-rencana ke depan setelah COVID-19 bisa diatasi itu juga masih cukup prospektif. Jadi kalau menurut saya ya tentu harapan Bapak Presiden dengan masih ada 2 minggu dan sebagainya itu harapan kita semua. Tapi kalaupun tidak tercapai menurut saya tidak usah khawatir yang berlebihan, kita pasti bisa melewati.

Baca Juga: Pemerintah Targetkan Penyaluran Insentif Capai Rp100 T Akhir September

Apakah pemberian intensif pada pekerja saat ini sudah efektif dan sampai kapan pemerintah akan memenuhi hal tersebut?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Ilustrasi insentif (IDN Times/Arief Rahmat)

Jadi poin saya kira seperti saya katakan tadi, kebijakan semacam itu adalah kebijakan yang dalam istilah text book disebut counter cyclical. Siklus kita sekarang adalah penurunan perekonomian, menuju ke resesi. Jadi orang kehilangan pekerjaan dengan demikian dia daya belinya kurang, karena kurang daya beli kemudian bisnis turun dan berarti dia harus PHK lagi, ada orang lagi yang tidak punya kerja dan seterus makin lama makin dalam-makin dalam, makin suram-makin suramkan.

Jadi policy pemerintah harus counter cyclical jadi harus dibangkitkan perekonomiannya di injeksi dana dan kemudian orang belanja. Karena ada orang belanja, ada bisnis untung, ada bisnis untung, kita hire dan seterusnya ya. Jadi Prakerja dan yang lain ini menurut saya adalah kebijakan baik, kebijakan yang tepat.

Poinnya kalau menurut saya tinggal bagaimana pelaksanaannya karena sampai sejauh ini berbagai informasi menunjukkan belum berjalan dengan artinya belum tersalurkan, itu belum impact-nya belum kerasa. Nah memang belum banyak injeksi yang bisa dilakukan, yang sudah direalisasikan. Kecuali sudah memang ada data lain yang memang saya gak tahu.

Jadi saya kira poinnya di sana. Nah apakah sampai kapan ya tadi sebenarnya pertanyaan yang saya ajukan dengan 5 poin itu apakah ini sustaniable atau tidak? Ini hati-hati biasanya kita itu pinter membual entry to policy atau yang bagaimana sebuah kebijakan masuk ke dalam masyarakat. Tapi yang susah itu nanti adalah exit e-policy gitu dan terutama apalagi dengan kebijakan yang populis seperti ini, biasanya tekanan politiknya tinggi. Sehingga waktu pemerintah mau berhenti, itu terus kemudian 'wah ini pemerintah tidak peduli', dan akhirnya diteruskan, dan akhirnya malah membebani fiskal kita.

Jadi saya kira tantangan yang tidak mudah di satu sisi memang itu langkah diperlukan untuk melakukan counter cyclical kita. Kuncinya adalah bagaimana itu dilaksanakan tetapi tantangannya atau tantangannya lanjutannya itu, bagaimana dia bisa lebih sustainable policy-nya.

Kapan sebenarnya pemulihan nasional Indonesia akan memulai pemulihan ekonomi, apakah di Q4 2020 atau Q1 2021? Serta apa syarat terpentingnya?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Syarat yang paling penting itu vaksin dan obat, itu syarat terpenting. Tidak ada syarat yang lebih penting dari dua itu. Kapan? Ya siapa yang tahu gak ada yang tahu ya tapi katakanlah menggunakan data yang ada semua selama ini yang paling realistis itu mengharapkan adalah kira-kira 6 bulan dari sekarang. Jadi di Februari dan Maret 2021, kalau itu sudah ada maka menurut saya ekonomi akan segera bangkit.

Orang tidak takut lagi melakukan kegiatan ekonomi demikian juga PSBB atau lockdown dan sebagainya tidak perlu lagi dilakukan maka ekonomi akan bergerak. Tetapi kita harus sadar saya ingin mengatakan dan ingin mengajak melalui forum IDN Times ini adalah saya adalah yang tidak terlalu setuju dengan sebutan new normal.

Saya tidak nyaman betul dengan istilah itu gak bisa naik haji kok disebut normal gak bisa bukan itu bukan normal. Tetapi menurut saya kita akan segera memasuki New era, New lifestyle itu yang harus kita yakini bahwa memang nanti pun setelah April-Maret katakanlah 6 bulan dari sekarang di bulan tahun 2021 restoran pasti akan berubah. Kemudian bioskop pasti akan berubah, tempat wisata pasti akan berubah, Hotel sangat banyak transportasi umum semua itu akan berubah karena memang kita semua menyadari rentannya kehidupan kita ini artinya bukan satu virus saja.

Jadi tadi kalau ditanya kapan ya tadi setelah ditemukan vaksin dan obat, dan setelah masyarakat bisa menginternalisasi living in the new era, hidup di dalam era yang baru. Era yang membawa kesadaran bahwa kita ini sangat rentan favourable, kehidupan kita ini favourable dengan berbagai kemungkinan adanya shock wabah. Dan walaupun nanti adanya vaksin dan obat pasti kita tidak akan serta merta kemudian langsung tenang-tenang seperti dulu misalnya ketemu teman cipika-cipiki, ketemu orang tua cium tangan dan sebagainya mungkin tidak begitu lagi.

Mungkin masih sebagaian besar kita masih akan pakai masker dan menjaga jarak, cuci tangan dan lain-lain jadi perilaku masyarakat secara keseluruhan akan berubah. Tetapi kita akan lebih percaya diri untuk menapak menjalani kehidupan sosial ekonomi ya itulah saatnya ekonomi maupun kehidupan kita secara keseluruhan akan bangkit.

Organisasi atau kelembagaan serta insfratruktur, apa yang sebenarnya harus berubah untuk bertahan ke depannya nanti?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Ilustrasi Infrastruktur (Pelabuhan) (IDN Times/Arief Rahmat)

Saya kira tidak ada single tidak satu obat yang berlaku untuk semua. Ada panasea itu, jadi yang harus kita lakukan yang memang sebagai bangsa secara bersama-sama mencoba untuk melihat hal-hal apa sih yang sebenarnya masih kurang pas kita lakukan selama ini. Kenapa sih kemiskinan gak turun-turun atau kemiskinan kita belum bisa mencapai seperti yang kita inginkan, kenapa masih ada kualitas yang belum tercapai.

Mengapa belum dimensi kesetaraan gender misalnya masih belum seperti yang kita harapkan, ternyata infastruktur dan perangkat kesehatan kita itu masih ya menghadapi banyak masalah dengan pada saat terjadi dengan shock sebesar ini. Fleksibilitas kita dalam pendanaan dalam pembiayaan, bagaimana part negara dalam melakukan pelayanan pada masyarakat dan bagaimana masyarakat merespons atas pelayanan yang diberikan oleh negara.

Jadi menurut saya banyak sekali hal dan atau kehidupan kita berbangsa, bernegara ya tidak bisa secara parsial kita liat karena hal-hal itu memang berhubungan satu sama lain. Jadi kalaupun mau dirumuskan untuk membuat ini jadi lebih operasional dan terukur pakai saja yang sudah kita sepakati yaitu SDGs (Sustainable Development Goals), tujuan pembangunan berkelanjutan, ada 17 dilihat aja satu-satu itu. Dan karena like behind-nya di mana kekurangan yang kita hadapi.

Baca Juga: Waspada! Para Ibu Terancam Alami Kelelahan Mental di Tengah Pandemik

Pemberian bantuan langsung tunai masih efektif atau tidak?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Penyaluran Bantuan Sosial Tunai di suku anak dalam oleh Kemensos (Dok. IDN Times/Kemensos)

Efektif kalau terlaksana. Terlaksana memang terlaksana, karena mereka butuh injeksi dana. Laksanakan saja, sudah pokoknya laksanakan, keluarkan biarkan masyarakat menikmatinya dan biarkan ekonomi berputar. Demand-nya, karena BLT itu meng-create demand.

Jadi gini, ada kondisi yang seperti ini, pasti akan adalah, gak mungkin 100 persen sempurna, pasti ada masalah-masalah, ya gapapa jalan aja dulu, laksanakan aja. Yang paling tidak efektif itu karena gak dilaksanakan.

Dampak pandemik generasi millennial saat ini?

[WANSUS] Bayu Krisnamurthi Jawab Kapan Ekonomi Indonesia Bakal Pulih Ilustrasi pemakaian internet (IDN Times/Arief Rahmat)

Ini menurut saya adalah pertanyaan yang sangat baik dan harus dijalani. Ini pertanyaan bukan sesuatu yang harus bisa dijawab secara casual, ini pertanyaan sangat serius loh ya. Saya justru ingin mengeco semua pertanyaan ini pada semua siapa pun yang bisa menjawab.

Misalnya, apa dampaknya anak-anak kehilangan satu tahun di rumah saja, tidak bergaul dengan teman-temannya, tidak ngumpul, tidak membuat kegiatan dan aktivitas sebagaimana seorang remaja seharusnya. Tidak bikin kenakalan-kenakalan, keisengan-keisengan dan sebagainya yang seharusnya selazimnya mereka lakukan pada umur-umur ini.

Apa dampaknya ini secara psikologis? Mungkin kalo secara gizi tergantung asupan makanan di rumah, tapi menurut saya ada hal yang sangat serius. Demikian juga dengan kualitas pendidikan yang terjadi karena sekarang guru tidak bertatap muka dengan muridnya, tidak terlihat bahasa tubuh, tidak kelihatan wajahnya bagaimana dan sebagainya. Itu menurut saya ada pertanyaan yang sangat serius. Dan ini waktunya sudah lama, cukup lama gitu dalam era digital dan suasana serba online itu satu tahun tuh panjang.

Bagaimana sekarang makin hari anak-anak makin tidak terpisahkan dengan gadget, 24 jam mereka terkait dengan gadget. Dulu misalnya ada orang tua yang bisa mengatakan gak boleh, hanya kalo tanggal merah ada boleh megang gadget. Nah sekarang gak bisa, kan gitu. Belum lagi pendidikan yang sifatnya online yang kemudian ternyata harus dipisahkan. Katakan harus dibimbing sama orangtua yang orang tuanya gak ngerti, gak ngerti gadget-nya, gak ngerti platform-nya, gak ngerti website-nya gak ngerti materi perkuliahan atau pendidikannya. Ini menurut saya adalah hal yang sangat serius gitu.

Saya tidak tahu dan saya khawatir bahwa kita akan merasakan dampaknya bukan sekarang, tapi mungkin 4, 5, 10 tahunan yang akan datang, anak-anak yang hidup di masa COVID-19 ini pada saat mereka nanti mulai berperan di dalam  masyarakat itu akan terasa dampaknya.

Baca Juga: [WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya