Media Asing Soroti Nasib Sarjana di Indonesia Susah Cari Kerja

- Angka pengangguran di RI lebih tinggi dibandingkan negara tetangga
- Ada 7,28 juta pengangguran di Indonesia
- Masyarakat berlomba-lomba kerja di luar negeri
Jakarta, IDN Times - Nasib para sarjana di Indonesia yang kesulitan mencari pekerjaan kini telah disorot oleh media asing. Al Jazeera Media Network yang merupakan media asal Qatar memberitakan nasib Andreas Hutapea, sarjana hukum yang kesulitan mencari pekerjaan setelah menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1) hukumnya dua tahun lalu.
Hutapea pernah gagal lulus seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dia yang berkali-kali menghadapi penolakan, kini membantu orang tuanya menjaga warung kelontong di Medan, Sumatra Utara (Sumut).
Kesehariannya membuka warung di pagi hari, menjaganya sampai akhirnya tutup di malam hari. Meski tak diupah, namun dia tak punya pilihan lain karena orang tuanya masih memberinya makan setiap hari.
"Saya membuka toko untuk mereka di pagi hari, duduk di sana sepanjang hari melayani pelanggan, lalu membantu menutup toko di malam hari,” ujar Hutapea dilansir Al Jazeera.
1. Angka pengangguran di RI lebih tinggi dibandingkan negara tetangga

Sejak pandemik COVID-19 usai, perekonomian dunia memang belum pulih sepenuhnya. Dalam beberapa tahun terakhir, pengangguran berpendidikan di Indonesia terus meningkat.
Al Jazeera menyoroti angka pengangguran muda di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Media itu mengutip data statistik pemerintah, di mana sekitar 16 persen dari lebih 44 juta penduduk Indonesia berusia 15-24 tahun menganggur. Angka itu lebih dari dua kali lipat tingkat pengangguran muda di negara tetangga Thailand dan Vietnam.
Dalam sebuah survei yang diterbitkan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura pada Januari, anak muda Indonesia menunjukkan sikap yang jauh lebih pesimistis terhadap ekonomi dan pemerintah dibandingkan anak muda di Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam.
Hanya sekitar 58 persen pemuda Indonesia yang menyatakan optimistis terhadap rencana ekonomi pemerintah, menurut survei tersebut, dibandingkan dengan rata-rata 75 persen di 6 negara tersebut.
2. Ada 7,28 juta pengangguran di Indonesia

Jika melihat data yang dikutip Al Jazeera, ada sekitar 7 juta orang yang menganggur di Indonesia. Angka itu sama dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025, di mana ada 7,28 juta orang di Indonesia masih menganggur.
BPS melaporkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 ada sebesar 4,76 persen. Hal itu berarti ada lima orang pengangguran dari tiap 100 orang angkatan kerja.
Sebagai informasi, TPT merupakan indikator yang digunakan BPS untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.
Merujuk data tersebut, sebanyak 6,2 persen atau 1,01 juta orang lulusan universitas atau berstatus diploma IV, S1, S2, bahkan S3 belum memiliki pekerjaan alias masih menganggur. Kemudian sebanyak 4,84 persen atau sekitar 177.399 orang lulusan diploma I/II/III juga masih menganggur.
Di sisi lain, lulusan SMA dan SMK juga cukup banyak menyumbang jumlah pengangguran di Indonesia saat ini. Lulusan SMK yang menganggur sampai saat ini sebanyak 1.628.517 orang (8 persen), sedangkan lulsan SMA menganggur tercatat 2.038.893 orang (6,3 persen). Jumlah pengangguran tertinggi disumbang oleh lulusan SD dan SMP, yakni sebanyak 2.422.846 orang (3 persen).
3. Masyarakat berlomba-lomba kerja di luar negeri

Keresahan anak muda terhadap nasibnya di Indonesia ramai-ramai diungkapkan dengan mengkampanyekan Indonesia Gelap. Kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah juga diungkapkan dengan tagar #KaburAjaDulu.
Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Adinova Fauri melihat penyebab tingginya pengangguran muda di Indonesia salah satunya adalah undang-undang ketenagakerjaan yang kaku, yang menyulitkan perekrutan, ditambah lagi rendahnya upah yang diberikan. Hal itu mendorong gerakan mencari pekerjaan di luar negeri.
“Banyak orang memilih untuk berada di luar pasar tenaga kerja daripada harus bekerja dengan gaji di bawah ekspektasi,” ujar Adinova kepada Al Jazeera.
Banyak juga sarjana yang beralih ke sektor informal karena sulitnya mencari pekerjaan di sektor formal.
“Pekerjaan yang baik juga tidak tersedia secara luas, sehingga orang-orang beralih ke sektor informal, yang memiliki produktivitas dan perlindungan yang lebih rendah," tutur dia.
Terbukti, banyak sarjana di Indonesia yang kini menjadi pengemudi ojek online (ojol). Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi mengatakan, sebanyak 31 persen dari total mitra pengemudi Grab Indonesia saat ini adalah lulusan sarjana.
"Dari 3,7 juta driver yang terdaftar di platform kami, 50 persen driver kami adalah korban PHK setelah COVID dan benar bahwa dari total 3,7 juta itu, 69 persen lulusan SMA, SMK, berarti yang 31 persennya lulusan perguruan tinggi termasuk S2, ada juga D3 dan S1," kata Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi dalam IDN Times Leadership Forum.
Kondisi di Grab sejalan dengan data yang pernah disampaikan Kemnaker. Dari jumlah angkatan kerja yang sudah bekerja sebanyak 145,77 juta orang, 12,9 persen di antaranya atau 18.804.330 orang adalah lulusan universitas/diploma. Dari angka tersebut, sebanyak 17,6 persen atau 3,309 juta orang lulusan sarjana bekerja di sektor informal, sedangkan 14,328 juta orang lulusan sarjana berhasil bekerja di sektor formal.