Mengenal Shadow Economy dan Kenapa Negara Perlu Waspada

- Shadow economy adalah aktivitas ekonomi di luar sistem resmi, baik legal maupun ilegal, tanpa tercatat dalam administrasi perpajakan.
- Ukuran shadow economy sulit diestimasi namun diperkirakan mencapai 35-44% dari PDB negara berkembang dan 14-16% dari PDB OECD.
Jakarta, IDN Times - Aktivitas ekonomi yang berlangsung di luar sistem resmi, baik legal maupun ilegal terus berlangsung di berbagai belahan dunia. Hal ini dikenal sebagai shadow economy.
Aktivitas dalam shadow economy berlangsung tanpa tercatat dalam sistem administrasi perpajakan maupun statistik resmi negara. Meski telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, aktivitasnya menunjukkan tren peningkatan dan menjadi perhatian banyak negara karena berbagai dampak yang ditimbulkannya.
Pertumbuhan shadow economy diketahui dapat membuat data resmi pengangguran, pendapatan, hingga konsumsi menjadi tidak akurat. Ketidakakuratan data berpotensi mengarah pada kebijakan publik yang keliru.
Selain itu, transaksi yang tidak dikenai pajak dapat menekan penerimaan negara. Jika basis pajak terus menyusut, pemerintah bisa saja menaikkan tarif pajak yang pada akhirnya mendorong lebih banyak pelaku usaha dan pekerja ke luar sistem resmi. Meski demikian, sebagian besar penghasilan dari shadow economy tetap dibelanjakan di sektor ekonomi formal.
Fenomena tersebut juga dapat menarik tenaga kerja, baik lokal maupun asing, keluar dari sektor ekonomi resmi karena iming-iming keuntungan langsung dan tanpa beban regulasi.
1. Apa itu shadow economy?

Dilansir dari International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter International, shadow economy merujuk pada seluruh aktivitas ekonomi yang tidak tercatat, baik karena sifatnya ilegal maupun karena penghasilannya tidak dilaporkan, padahal berasal dari kegiatan yang sah.
Fenomena tersebut juga dikenal sebagai ekonomi informal, ekonomi bawah tanah, atau ekonomi paralel. Meski demikian, definisi pasti dari shadow economy sulit dirumuskan karena sifatnya yang dinamis dan terus menyesuaikan diri terhadap perubahan kebijakan pajak dan regulasi.
2. Seberapa besar shadow economy?

Memperkirakan ukuran shadow economy menjadi tantangan tersendiri karena pelakunya cenderung menghindari deteksi. Namun, pemerintah dan pembuat kebijakan tetap membutuhkan informasi tentang seberapa besar dan seberapa sering aktivitas ini berlangsung.
Berbagai metode estimasi telah digunakan untuk mengukur skala shadow economy di 84 negara pada dekade lalu. Hasilnya menunjukkan nilai tambah dari aktivitas ini mencapai angka yang sangat besar secara global.
Selama periode 1988-2000, shadow economy di negara-negara berkembang diperkirakan berada di kisaran 35 hingga 44 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) resmi.
Di negara transisi, angkanya berkisar 21 hingga 30 persen. Sementara itu, di negara-negara OECD, kontribusinya relatif lebih kecil, yakni antara 14 hingga 16 persen dari PDB resmi. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh variasi metode estimasi yang digunakan.
3. Seberapa cepat pertumbuhan shadow economy?

Pertumbuhan shadow economy tercatat terjadi di sebagian besar negara transisi dan seluruh negara OECD yang diteliti.
Di negara-negara bekas Uni Soviet, aktivitasnya meningkat dari sekitar seperempat menjadi lebih dari sepertiga dari PDB antara 1990 hingga 1998. Sementara di negara Eropa Tengah dan Timur, kontribusinya cenderung stabil di sekitar seperlima dari PDB.
Selama tiga dekade, shadow economy di 21 negara OECD mengalami kenaikan signifikan. Pada 1970, nilainya kurang dari 10 persen dari PDB, dan meningkat menjadi 20 persen atau lebih pada tahun 2000 di Belgia, Denmark, Italia, Norwegia, Spanyol, dan Swedia. Di Amerika Serikat, angka tersebut naik dari 4 persen menjadi 9 persen pada periode yang sama.
Pertumbuhan paling cepat terjadi pada dekade 1990-an. Di seluruh negara OECD, rata-rata shadow economy meningkat dari 13 persen pada 1990-1993 menjadi 17 persen pada 1999-2000. Hingga akhir dekade tersebut, tren pertumbuhannya masih terus berlanjut di sebagian besar negara OECD.