Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Chief Econmist Permata Bank, Josua Pardede (kanan) dan ekonom PIER saat memberikan penjelasan. (IDN Times/Umi Kalsum)

Jakarta, IDN Times - Permata Institute for Economic Research (PIER) memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,15 persen di tahun 2025. Sedangkan pertumbuhan ekonomi global diprediksi masih stabil di level 3,2 persen.

Chief Econmist Permata Bank, Josua Pardede, dalam pemaparannya, Selasa 3 Desember 2024, mengatakan, konsumsi rumah tangga dan investasi masih jadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Kalau dilihat dari kondisi global yang cenderung melambat, kondisi Indonesia relatif lebih baik, masih didorong konsumsi domestik. Memang tidak sampai di atas 5 persen, tapi kami optimistis untuk tahun depan," kata Josua. 

Perkiraan PIER ini tidak terlalu jauh dengan prediksi sejumlah lembaga keuangan internasional seperti IMF yang memprediksi pertumbunan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 di angka 5,1 persen. Begitu pula dengan Bank Dunia sebesar 5,1 persen. Sedangkan Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksi di angka 5 persen, dan OECD sebesar 5,2 persen. 

1. Prediksi inflasi dan nilai tukar

Riset dan analisa PIER Bank Permata tentang nilai tukar (IDN Times/Umi Kalsum)

Selain pertumbuhan ekonomi di angka 5,15 persen, PIER juga memperkirakan inflasi di level 3,12 persen. "Angka ini masih sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia meskipun kenaikan tarif PPN dan cukai menjadi 12 persen pada rokok, plastik, dan minuman manis juga akan memberikan tekanan pada inflasi," ujarnya.

Sedangkan nilai tukar diperkirakan menguat di kisaran Rp15.200-Rp15.700 per dolar AS dengan perkiraan masuknya aliran investasi asing dan portofolio. Namun imbal hasil obligasi diproyeksikan menurun karena kebijakan suku bunga yang lebih rendah dari BI dan The Fed. Bank sentral AS di 2025 memiliki ruang menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 3,75 persen - 4 persen

Menurut Josua, investasi di Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh didukung penurunan biaya pinjaman dan kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan UMKM. Meskipun terdapat risiko eksternal seperti tarif perdagangan baru AS dan penguatan inflasi global, Indonesia, kata Josua, tetap memiliki prospek pertumbuhan yang positif. "Ini diperkuat dengan inisiatif diversifikasi ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu dan memperkuat daya saing global," katanya.

Sebab sejumlah komoditas seperti minyak mentah, batubara, dan CPO -- yang menjadi andalan ekspor Indonesia -- tahun depan diperkirakan akan melanjutkan tren penurunan akibat peningkatan produksi minyak mentah, permintaan batubara yang terbatas, dan normalisasi produksi CPO.

2. Tiga faktor yang paling memengaruhi pertumbuhan ekonomi RI tahun depan

Meski kondisi global melambat, ekonom Bank Permata dalam laporan PIER masih optimistiak. (IDN Times/Umi Kalsum)

Meski optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif lebih baik, Josua menyebutkan ada tiga faktor utama yang perlu diwaspadai dan menjadi tantangan di tahun depan.

Pertama, melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina. Pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu ini secara struktur, menurutnya, belum bisa mencapai double digit, sehingga tahun depan sulit melihat ekonomi Cina akan meningkat. Indikasi ini terlihat dari dua kuartal di tahun 2024, yakni kuartal kedua dan ketiga, di mana pertumbuhan ekonomi China turun di bawah 5 persen.

"Kalau ada perlambatan di Cina tentu akan berpengaruh ke Indonesia, mengingat Cina merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar kita," katanya.

Kedua, hasil pemilu global pada 2024, terutama pemilihan presiden AS yang dimenangi Donald Trump. Dengan mantra "Make American Great Again", Trump menjanjikan penurunan pajak yang disambut positif dunia usaha AS. Kondisi ini diperkirakan akan berdampak pada aliran modal asing dari negara emerging market tersedot ke AS.

Ketiga, maslaah geopolitik yang terjadi sejak tiga tahun terakhir di Eropa Timur antara Rusia dan Ukraina, Timur Tengah, dan Iran - Israel menimbulkan ketidakpastian di pasar. "Ini terefleksi pada IHSG yang merosot dari level 7.800 menjadi 7.100 - 7.200," kata Josua.

Karena itu kunci ke depan, menurut Josua, memantau secara intens apa yang dilakukan pemenang pemilu AS, Trump. "Pantengin terus sosmednya karena apa kebijakan yang akan diterapkan Trump terefleksi dari pernyataan-pernyataannya, dan ini berpengaruh ke pasar," ujar dia.

3. Seberapa besar dampak perlambatan ekonomi dunia terhadap Indonesia?

Analisa sentivitas ekonomi Indonesia yang dilakukan PIER Bank Permata. (IDN Times/Umi Kalsum)

Terkait perlambatan ekonomi global ini, Josua menjelaskan PIER juga melakukan kajian strategis terhadap sensitivitas ekonomi Indonesia. Ada lima negara yang menjadi kajian, yakni Cina, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan India.

Menurutnya, setiap 1 persen perlambatan ekonomi di Cina berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,10 persen. Sementara potensi pelebaran transaksi berjalan dengan melambatnya ekspor sebesar 0,07 persen dari GDP, dan pengaruh terhadap penerimaan pemerintah bisa mencapai Rp1,9 triliun.

Sementara setiap 1 persen penurunan ekonomi negara-negara Eropa akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,06 persen. Sedangkan penurunan 1 persen pertumhunan ekonomi AS akan berdampak  penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,07 persen. 

Adapun penurunan 1 persen pertumbuhan ekonomi Jepang dan India terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing 0,05 persen dan 0,03 persen.

Editorial Team