The Fed Kembali Pangkas Suku Bunga, Pasar Tenaga Kerja Jadi Sorotan

- The Fed memangkas suku bunga acuan untuk kedua kalinya tahun ini sebesar 0,25 poin persen menjadi rentang 3,75-4 persen.
- Inflasi tahunan pada September naik menjadi 3 persen dibanding tahun sebelumnya, melampaui target The Fed di angka 2 persen dan menjadi yang tertinggi sejak Januari.
- Powell menjelaskan bahwa tarif impor era Presiden AS, Donald Trump, menjadi salah satu faktor utama yang membuat inflasi tetap tinggi, meski efeknya diharapkan hanya bersifat sementara.
Jakarta, IDN Times – Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuan untuk kedua kalinya tahun ini sebesar 0,25 poin persen menjadi rentang 3,75-4 persen. Langkah ini langsung menekan biaya pinjaman untuk kredit kendaraan dan kartu kredit, sementara suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) ikut bergerak searah meski tidak terikat langsung. Tujuannya untuk mendorong pengeluaran masyarakat dan perusahaan agar pasar tenaga kerja kembali bergairah.
Ekonomi AS saat ini tengah menghadapi perlambatan penciptaan lapangan kerja di tengah inflasi yang masih di atas target 2 persen. Pertumbuhan lapangan kerja melambat sepanjang tahun ini, sementara harga barang terus naik. Pemangkasan suku bunga ini difokuskan untuk menahan pelemahan di sektor ketenagakerjaan yang mulai terasa di berbagai wilayah.
1. Powell ibaratkan kebijakan The Fed seperti mengemudi di kabut

Ketua The Fed, Jerome Powell, menggambarkan kondisi saat ini dengan analogi sederhana.
“Apa yang kamu lakukan jika kamu mengemudi di kabut? Kamu melambat,” katanya dalam konferensi pers pada Rabu (29/10/2025), dikutip dari NBC News.
Penutupan operasional pemerintah sejak 1 Oktober 2025 membuat rilis data ekonomi penting tertunda, termasuk laporan ketenagakerjaan bulanan. Situasi ini membuat The Fed harus mengambil keputusan dengan data terbatas. Laporan terakhir yang dirilis awal September menunjukkan penambahan lapangan kerja pada Agustus turun lebih dari 100 ribu dibanding musim semi, dengan tingkat pengangguran mencapai 4,3 persen, tertinggi sejak 2021, dilansir dari The Guardian.
Perusahaan penggajian swasta ADP juga mencatat kehilangan 32 ribu pekerjaan sektor swasta pada September. Para pencari kerja kini rata-rata membutuhkan waktu hampir enam bulan untuk mendapatkan pekerjaan baru, mencerminkan pasar tenaga kerja yang mulai longgar.
2. Inflasi tetap tinggi di tengah tekanan harga impor

Inflasi tahunan pada September naik menjadi 3 persen dibanding tahun sebelumnya, melampaui target The Fed di angka 2 persen dan menjadi yang tertinggi sejak Januari. Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) masih sempat merilis data tersebut meski ada penutupan pemerintah. Sementara itu, indeks pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) yang menjadi acuan utama The Fed juga menunjukkan angka di atas 2 persen pada Agustus.
Powell menjelaskan bahwa tarif impor era Presiden AS, Donald Trump, menjadi salah satu faktor utama yang membuat inflasi tetap tinggi, meski efeknya diharapkan hanya bersifat sementara.
“Tarif adalah kenaikan pajak terbesar sejak akhir 1960-an,” kata Ekonom utama Wilmington Trust, Luke Tilley, dikutip dari NBC News.
Inflasi tanpa pengaruh tarif disebut sudah mendekati target 2 persen, menandakan tekanan harga mulai berkurang di beberapa sektor.
3. Powell sebut pemangkasan suku bunga sebagai langkah antisipatif

Pertemuan The Fed berikutnya dijadwalkan pada akhir tahun ini, namun Powell mengatakan pemangkasan suku bunga saat itu belum menjadi kesimpulan yang pasti karena adanya pandangan berbeda di antara anggota komite.
Dilansir dari BBC, dua anggota diketahui menolak keputusan ini yaitu Stephen Miran mendorong pemangkasan 0,5 poin persen, sementara Jeffrey Schmid memilih mempertahankan suku bunga. Powell menambahkan bahwa kebijakan The Fed tidak berada pada jalur yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ia menyebut langkah ini sebagai bagian dari risk management untuk menjaga pasar tenaga kerja agar tidak semakin lemah, terutama akibat berkurangnya imigrasi. The Fed juga akan menghentikan pengurangan neraca keuangannya pada akhir tahun ini, menutup proses tiga tahun pasca-pandemi. Di sisi lain, pasar saham AS mencatat rekor baru seiring lonjakan investasi di sektor kecerdasan buatan (AI), dengan nilai perusahaan Nvidia kini menembus 5 triliun dolar AS (setara Rp82,8 kuadriliun).
















.jpg)