TII Soroti Risiko Korupsi Makan Bergizi Gratis, BGN Buka Suara

Intinya sih...
Transparency International Indonesia (TII) mengidentifikasi risiko korupsi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), termasuk tata kelola yang belum optimal dan proses penunjukan mitra pelaksana yang tidak transparan.
TII memperkirakan potensi pelebaran defisit hingga 3,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto, melebihi ambang batas 3 persen yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Kerugian keuangan negara diperkirakan mencapai Rp1,8 miliar per tahun untuk setiap satuan layanan SPPG.
TII merekomendasikan moratorium program MBG guna memberi ruang pembenahan menyeluruh, penyusunan Peraturan Presiden sebagai dasar hukum ut
Jakarta, IDN Times - Transparency International Indonesia (TII) merilis laporan bertajuk Risiko Korupsi di Balik Hidangan Makan Bergizi Gratis yang membahas potensi kerentanan dalam pelaksanaan program MBG. Melalui pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA), kajian tersebut mengidentifikasi sejumlah faktor yang dinilai berisiko.
Sejumlah faktor yang rentan dalam program MBG di antaranya, tata kelola yang belum optimal, kemungkinan tumpang tindih kepentingan, serta praktik pengadaan barang dan jasa yang dinilai belum sepenuhnya akuntabel.
Dengan estimasi anggaran mencapai Rp400 triliun dan target penerima manfaat sebanyak 82,9 juta orang, MBG menjadi salah satu program prioritas nasional. Namun dalam kerangka CRA, TII mencatat adanya sejumlah titik rawan yang perlu diperhatikan untuk memastikan pelaksanaan program berjalan efektif dan transparan.
1. Sejumlah temuan risiko dalam kajian TII
Transparency International Indonesia (TII) mencatat belum adanya regulasi pelaksana berupa Peraturan Presiden hingga pertengahan 2025. Program MBG masih dijalankan berdasarkan petunjuk teknis internal, yang dinilai belum cukup sebagai dasar hukum dan mengaburkan mandat koordinasi antarinstansi.
TII juga menyoroti proses penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka. Beberapa yayasan pengelola disebut memiliki afiliasi dengan aktor politik, institusi militer, dan kepolisian. Salah satu contoh yang disorot adalah keterlibatan aparat kepolisian lalu lintas dalam proses distribusi, yang dinilai tidak sesuai dengan fungsi pokoknya.
Dalam aspek pengadaan barang dan jasa, laporan TII menemukan bahwa sebagian besar kegiatan tidak terdokumentasi secara terbuka dan belum didukung sistem pengawasan berbasis data. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Komisi Pemberantasan Korupsi, sektor pengadaan masih mendominasi kasus suap dan gratifikasi, dan MBG menunjukkan indikator yang serupa.
Lemahnya pengawasan juga menjadi perhatian, terutama terkait risiko mark-up harga dan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah. Salah satu kasus yang tercatat adalah insiden keracunan makanan yang dialami siswa penerima manfaat.
Selain itu, TII mengingatkan kebijakan menyasar 82,9 juta penerima manfaat tanpa skema prioritas berisiko menimbulkan beban fiskal. Kajian Corruption Risk Assessment memperkirakan potensi pelebaran defisit hingga 3,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto, melebihi ambang batas 3 persen yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara.
Kerugian keuangan negara dari program tersebut diperkirakan mencapai Rp1,8 miliar per tahun untuk setiap satuan layanan SPPG.
2. Rekomendasi perbaikan dari TII
Sebagai tindak lanjut dari kajian Corruption Risk Assessment, TII mendorong pemerintah untuk segera melakukan sejumlah langkah korektif dalam pelaksanaan MBG. Salah satunya adalah pemberlakuan moratorium program guna memberi ruang pembenahan menyeluruh.
TII menilai, penyusunan dan penetapan Peraturan Presiden sebagai dasar hukum utama perlu segera dilakukan untuk memperjelas arah kebijakan dan koordinasi lintas sektor. Selain itu, kapasitas kelembagaan Badan Gizi Nasional sebagai pelaksana program dinilai perlu diperkuat.
Pendekatan distribusi yang berbasis kebutuhan atau segmented coverage juga direkomendasikan agar pelaksanaan program lebih tepat sasaran, khususnya untuk menjangkau kelompok rentan di wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).
TII turut menekankan pentingnya pembenahan dalam mekanisme seleksi dan verifikasi mitra pelaksana, terutama pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), agar sesuai dengan prinsip pengadaan barang dan jasa yang transparan dan berintegritas.
Dalam aspek pengawasan, TII mendorong adanya pelibatan aktif organisasi masyarakat sipil, satuan pendidikan, serta komunitas penerima manfaat untuk memantau mutu makanan, proses distribusi, dan penggunaan anggaran. Audit berkala terhadap pelaksanaan program juga dinilai penting dan perlu dipublikasikan secara terbuka sebagai dasar evaluasi dan penyempurnaan kebijakan ke depan.
“Program MBG tampak menjanjikan di atas kertas, namun gagal memenuhi prasyarat tata kelola yang sehat. Tingginya kerentanan korupsi dalam program MBG menunjukkan program ini harus dimoratorium segera supaya tidak memperbesar kerugian negara,” ujar Peneliti Transparency International Indonesia, Agus Sarwono.
3. BGN jamin pengawasan dari berbagai institusi
Badan Gizi Nasional (BGN) merespons laporan Transparency International Indonesia terkait risiko korupsi dalam program makan bergizi gratis (MBG). Kepala BGN Dadan Hindayana menyatakan peluang penyalahgunaan anggaran kecil karena program dijalankan dengan mekanisme yang ketat serta melibatkan pengawasan dan pendampingan dari berbagai pihak.
Hal itu meliputi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan masyarakat.
"Dengan mekanisme yang dikembangkan BGN ditambah dengan pengawasan serta pendampingan dari berbagai institusi seperti BPKP, LKPP, Kejaksaan Agung, BPK serta publik, risiko penyalahgunaan anggaran peluangnya kecil," kata Dadan menjawab pertanyaan IDN Times, Senin (30/6/2025).