AS Diambang Resesi Tahun Ini, Sri Mulyani Waspadai Dampaknya ke RI

Hantu resesi di Amerika makin nyata

Jakarta, IDN Times - Indonesia mewaspadai ancaman resesi yang menghantui Amerika Serikat (AS). Bahkan diperkirakan resesi di Negara Adidaya akan terjadi pada tahun ini dan berlangsung hingga tahun depan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat semakin nyata, terlihat dari berbagai pandangan para ahli, ekonom, dan pembuat kebijakan.

"Dan ini pun kemudian menyebabkan consumer confidence mengalami penurunan yang cukup tajam. Jadi, munculnya inflasi yang tinggi, pengetatan moneter, dan kemudian hantu resesi di Amerika Serikat yang mulai disebut oleh berbagai pandangan dari para ekonomi maupun policy maker, menyebabkan kondisi di Amerika Serikat menjadi salah satu faktor yang akan sangat mempengaruhi outlook dari ekonomi di dunia," katanya dalam konferensi pers APBNKita, Kamis (23/6/2022).

Pandangan para ahli, ekonom maupun pembuat kebijakan, menurutnya menunjukkan bahwa pilihan kebijakan di Amerika Serikat dalam merespons inflasi yang tinggi dengan kenaikan suku bunga, mendekatkan Amerika Serikat pada resesi.

"Pilihan kebijakan di Amerika Serikat dalam merespons inflasi yang tinggi dengan kenaikan suku bunga sangat memberikan kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat pada tahun ini dan bahkan kemungkinan berlangsung hingga tahun depan," tambahnya.

Baca Juga: Sri Mulyani Datang ke Sekolah Partai PDIP, Ada Apa?

1. Indonesia juga waspada lonjakan inflasi di Amerika

AS Diambang Resesi Tahun Ini, Sri Mulyani Waspadai Dampaknya ke RIIlustrasi Inflasi. IDN Times/Arief Rahmat

Tekanan inflasi yang sangat tinggi di Amerika mencapai 8,6 persen, dijelaskan Sri Mulyani telah direspons dengan pengetahuan suku bunga Federal Reserve (Fed), yang juga dikombinasikan dengan pengetatan likuiditas dalam bentuk Balanced Federal Reserve dalam memegang surat-surat berharga yang mulai diproyeksikan mengalami penurunan. 

"Ini kombinasi yang sangat mempengaruhi kesehatan ekonomi dunia yaitu interest rate (suku bunga) naik dan likuiditas ketat. Tentu ini akan mempengaruhi banyak negara," tuturnya.

Lanjut Sri Mulyani, berdasarkan studi yang dilakukan oleh The Financial Stability Board (FSB) and International Monetary Fund (IMF), setidaknya ada lebih dari 60 negara yang kondisi keuangannya mengalami tekanan, meliputi APBN maupun kondisi ekonominya, terutama external balance atau keseimbangan eksternalnya.

"Sehingga dengan adanya pengetahuan ini diperkirakan akan memicu adanya kesulitan ekonomi yang cukup serius di berbagai negara," ujarnya.

Baca Juga: Koalisi Semut Merah Bidik Anies dan Sri Mulyani Jadi Capres 2024

2. Kenaikan harga komoditas masih terus berlanjut

AS Diambang Resesi Tahun Ini, Sri Mulyani Waspadai Dampaknya ke RIIlustrasi kenaikan harga minyak (IDN Times/Arief Rahmat)

Harga komoditas masih melanjutkan kenaikan. Dijelaskan Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, harga komoditas mengalami kenaikan akibat perang Rusia-Ukraina.

"Dan ini terlihat hampir sama dan masih bertahan dari bulan lalu, natural gas, coal, brent, CPO, wheat, soybean dan corn ini dalam posisi yang relatif tinggi. Untuk CPO terjadi penurunan harga karena dalam hal ini terjadi perbaikan logistik. Ini mungkin hal yang perlu untuk kita lihat dari sisi dinamika harga-harga komoditas," ujarnya.

3. Industri manufaktur global dibayangi kebijakan Zero COVID di China

AS Diambang Resesi Tahun Ini, Sri Mulyani Waspadai Dampaknya ke RIIlustrasi industri/pabrik. IDN Times/Arief Rahmat

Dia menjelaskan, untuk ekspansi manufaktur global menyentuh di level 52,4. PMI manufaktur dari negara-negara ASEAN terpantau bervariasi, namun semuanya masih dalam zona ekspansi. 

"Indonesia sendiri kalau kita lihat agak mengalami penurunan di 50,8," sebutnya.

Namun, terlihat bahwa kegiatan di sektor manufaktur menunjukkan permintaan yang meningkat. Tapi di berbagai negara terjadi kendala dari sisi suplai karena faktor tenaga kerjanya sehingga menimbulkan kenaikan ongkos produksi.

Sementara China masih mengalami kontraksi karena adanya kebijakan Zero COVID dan adanya lockdown di berbagai kota di negaranya. Hal itu menyebabkan kinerja dari PMI manufaktur di China mengalami pelemahan atau dalam zona kontraktif, yaitu di bawah 50, tepatnya 48,1.

Bertolak ke Eropa, benua biru tersebut sedang menghadapi kondisi perang, meskipun manufakturnya relatif masih dalam level ekspansi.

"Namun kita juga lihat bahwa kondisinya akan sangat dipengaruhi oleh suplai bahan bakunya," tambah Sri Mulyani.

Baca Juga: Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi 2023 Diproyeksikan 5,3-5,9 Persen

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya