Anies Baswedan Ungkap 4 Tantangan Hantui Ekonomi RI
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Calon Presiden (Capres) nomor urut 1, Anies Baswedan mengungkapkan ada empat tantangan besar yang akan dihadapi Indonesia di masa mendatang. Hal ini disampaikannya dalam paparannya di acara Conference on Indonesian Foreign Policy 2023 (FPCI 2023) yang digelar di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (2/11/2023)
Ia mengatakan tantangan pertama, berkaitan dengan masalah geopolitik yang bergeser dari unipolar ke multipolar. Dia juga menyebut epicentrum geopolitik beralih dari perang Atlantik ke Asia, yang sebelumnya ketegangan terjadi antara Amerika dan Uni Soviet, kini antara Amerika dan China.
"Kita menyaksikan juga ancaman-ancaman yang sudah tidak lagi homogen yakni campuran milter dan nonmiliter, istilahnya hybrid. Kemudian ini grey (abu-abu) jenis-jenis ancamannya, tidak perang dan tidak juga damai," kata Anies.
Baca Juga: 5 Perbedaan Ekonomi Negara yang Berperang dan Tidak
1. Berbagai negara lomba tambah anggaran pertahanannya
Anies mengatakan tiga tahun lalu, dirinya tak pernah membayangkan kalau negara-negara akan mulai berfokus pada anggaran pertahanan seperti saat ini dan bersiaga menghadapi situasi ini.
"Di awal 2022 percakapan tentang peningkatan anggaran pertahanan itu muncul di banyak negara, kita pikirkan untuk anggaran lingkungan hidup, kesejahteraan. Tahu-tahu yang muncul peningkatan anggaran pertahanan. Itu tiga tahun lalu nggak terbayang, sekarang sangat kuat," ujarnya.
Baca Juga: BI Perkirakan Suku Bunga The Fed Bakal Naik Jadi 5,75 Persen
2. Pergerakan arus modal dipengaruhi kebijakan The Fed
Kemudian tantagan selanjutnya berkaitan dengan pergerakan arus modal dari negara berkembang ke maju karena perubahan suku bunga dari The Fed. Selain itu, ada disrupsi produksi terkait teknologi yang berdampak pada geopolitik.
Editor’s picks
"Kita memiliki misalnya ketergantungan gandum pada Ukraina hampir 30 persen pupuk pada Rusia 15 persen dan ketika mereka berdua terlibat dalam konflik dampaknya terasa. Lalu rivalitas antara barat dan China yang berdampak pada bagaimana kita bertransisi energi. Kebetulan 85 persen dari kapasitas, pengelolaan rantai teknologi bersih berada di China," jelasnya.
3. Kompetisi di tingkat global naik
Menurutnya sejumlah fakta-fakta ekonomi baru telah menunjukkan kompetisi sistem ekonomi global meningkat signifikan ditambah dengan adanya aging demografi, di mana orang-orang usia produktif dengan usia pasca produktif proporsinya berubah signifikan.
"Ini semua merupakan salah satu fenomena penting di Global. Selanjutnya yang ketiga yang paling mendasar dan paling berdampak adalah lingkungan hidup ada ketidakadilan iklim di sini 12 persen penduduk dunia berada di negara maju memproduksi lebih dari 50 persen emisi karbon dunia," ucap Anies.
Namun dampak emisi gas rumah kaca (GRK) justru paling dirasakan oleh negara-negara miskin.
"Di Indonesia kita merasakan, ketika terjadi pergeseran, kita menyebutnya bukan climate change tapi climate crisis. Yang paling merasakan justru masyarakat yang paling bawah. Ketika kemarin kita merasakan ada heat wave di Jakarta dan di Indonesia, yang mampu tinggal nyalain AC, nyaman. Tapi bagi yang tidak, itu luar biasa dampaknya pada kesehatan dan lain-lain. Target mitigasi, target adaptasi untuk perubahan iklim ini belum terpenuhi," imbuh Anies.
4. 37 persen populasi negara di dunia anut sistem otoriter
Terakhir, Anies menyoroti tentang tantangan dalam hal demokrasi dunia. Menurutnya, banyak negara-negara dunia yang bergerak ke arah non-demokrasi dalam catatannya, hampir 37 persen populasi dunia kini, berada dalam sistem rezim otoriter dan indeks demokrasi 92 negara stagnan atau bahkan turun.
"Seluruh dunia, banyak negara-negara yang bergerak ke arah non-demokrasi. Mau dibilang otoriter belum tampak, lalu juga bergerak ke arah less good governance. Tapi mau dibilang corrupt juga belum. Tapi jelas kita tidak berada di dalam track democratic consolidation, good governance," jelasnya.
Sementara itu, indeks persepsi korupsi, khusus untuk Indonesia jelas mengalami penurunan signifikan, dari posisi 36 tahun 2018, sekarang menjadi 34.
Baca Juga: OJK: Perang Israel-Hamas Makin Signifikan Ganggu Perekonomian Global