Bukan Rokok, Ini Faktor Pendorong Stunting di Indonesia

Faktor pendidikan dan pendapatan pengaruhi terjadinya stunting

Jakarta, IDN Times - Survei Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), menunjukkan produk hasil tembakau seperti rokok bukanlah faktor utama penyebab stunting dan penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia. Namun disebabkan faktor pendidikan dan pendapatan yang mendorong terjadinya stunting dan PTM di Indonesia.

Direktur PPKE FEB UB, Candra Fajri Ananda, mengatakan berdasarkan hasil survei dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan random forest, faktor dominan penyebab terjadinya PTM di Indonesia adalah pendapatan, makanan dan minuman berpemanis, serta kurangnya konsumsi sayur.

"Di sisi lain, berdasarkan analisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan memiliki berpengaruh signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia," jelasnya dalam keterangannya, Rabu (18/10/2023).

Baca Juga: Tekan Stunting, BPIP Luncurkan Gerakan Percepatan Penurunan Stunting

1. Survei dilakukan pada 1.600 responden

Bukan Rokok, Ini Faktor Pendorong Stunting di IndonesiaIlustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Riset berbasis data primer dengan melakukan survei pada 1.600 responden masyarakat yang berada di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali. 

Kajian tersebut dilakukan PPKE FEB UB untuk menyikapi pro dan kontra penyebab stunting dan penyakit tidak menular (PTM).

"Hasil kajian juga menyatakan konsumsi produk hasil tembakau seperti rokok dan lingkungan yang terkontaminasi oleh asap rokok, bukan indikator utama penyebab PTM di Indonesia," jelasnya.

2. Target turunkan kemiskinan ekstrem masuk APBN 2024

Bukan Rokok, Ini Faktor Pendorong Stunting di Indonesiailustrasi perbedaan tinggi anak stunting dengan anak normal (Dok. IDN Times)

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, mengatakan dalam APBN 2024 sudah dimasukan target penurunan kemiskinan ekstrem.

Ada tiga hal pokok yang utama, yakni menjaga inflasi, menurunkan kemiskinan ekstrem maksimal satu persen dan penanganan stunting.

“Penanganan stunting ini menjadi target dan menurut saya ini harus diakselerasi, kami menginginkan penurunan yang cepat dalam penanganan stunting,” ujarnya.

Baca Juga: Sukses Turunkan Stunting, Pemkab Halbar Diganjar Dana Insentif Fiskal

3. Stunting disebabkan multifaktor

Bukan Rokok, Ini Faktor Pendorong Stunting di Indonesiailustrasi rancangan undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara, Asisten Deputi Bidang Perekonomian Makro, Perencanaan Pembangunan, dan Pengembangan Iklim Usaha Kemenko Perekonomian, Roby Arya Brata berpendapat tudingan penyebab stunting dikarenakan rokok harus dilihat secara utuh.

“Kalau dikaitkan dengan stunting sebabnya multi faktor, tetapi kita sudah berhasil menurunkan angka stunting meskipun masih jauh dari target. Karena itu, harus ada riset yang tepat dan komprehensif yang dapat mengakomodir semua kepentingan,” kata Roby.

4. Cukai naik belum tentu penerimaan negara naik

Bukan Rokok, Ini Faktor Pendorong Stunting di IndonesiaIDN Times/Arief Rahmat

Roby juga menampik anggapan kenaikan cukai akan meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya semakin tinggi cukai belum tentu penerimaan negara naik, yang ada malah rokok ilegal yang naik.

Roby mencontohkan, adanya penolakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau, sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, itu akan memengaruhi industri rokok.

"Kami sedang menyiapkan kebijakan Peraturan Presiden yang klausulnya menyatakan menteri tidak bisa membuat peraturan seenaknya tanpa sepengetahuan Presiden. Kemudian lintas sektor kementerian/lembaga semuanya masuk. Pasalnya, sebelumnya ada menteri yang membuat peraturan menteri tanpa koordinasi antar kementerian/lembaga,” ujar dia.

Sementara, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, mengatakan diperlukan keseimbangan kebijakan yang mengatur rokok dengan memerhatikan aspek kesehatan dan aspek ekonomi.

Menurut Edy, aspek ekonomi industri hasil tembakau (IHT) menjadi tempat bergantung bagi petani tembakau, petani cengkeh, juga lainnya.

“Dan, IHT itu menggerakan industri lainnya. Karena itu, harus bijaksana dalam melahirkan kebijakan yang tepat dan berkeadilan,” kata dia.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya