Trump Gelontorkan Bantuan Baru untuk Petani AS Senilai Rp200 Triliun

- Alokasi dana pemerintah mengalir ke program Farmer Bridge Assistance
- Penurunan pendapatan petani perburuk tekanan perang dagang
- Penyesuaian regulasi lingkungan menjadi janji baru Trump
Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merilis paket bantuan senilai 12 miliar dolar AS (Rp200 triliun) pada Senin (8/12/2025). Paket bantuan tersebut untuk meredakan tekanan yang dialami petani akibat tarif dagang serta benturan perdagangan dengan China.
Dana itu disebut bersumber langsung dari penerimaan tarif yang telah terkumpul selama beberapa tahun terakhir. Pengumuman tersebut disampaikan dalam forum meja bundar di Gedung Putih yang turut dihadiri petani, anggota Kongres, Menteri Keuangan Scott Bessent, dan Menteri Pertanian Brooke Rollins.
“Dana yang kami lakukan adalah mengambil porsi yang relatif kecil dari itu, dan kami akan memberikannya serta menyediakannya kepada para petani sebagai bantuan ekonomi,” ujar Trump, dikutip dari Al Jazeera.
1. Alokasi dana pemerintah mengalir ke program Farmer Bridge Assistance

Sebanyak 11 miliar dolar AS (Rp183 triliun) dialihkan ke program baru bernama Farmer Bridge Assistance yang dirancang untuk membantu petani tanaman baris seperti jagung, kapas, sorgum, kedelai, beras, dan gandum yang terpukul perang dagang serta lonjakan biaya produksi.
Penyaluran utama ditargetkan rampung paling lambat 28 Februari 2026, sementara sisa 1 miliar dolar AS (Rp16,6 triliun) masih diformulasikan untuk kelompok petani buah, sayuran, dan tanaman khusus lainnya. Pembagian tanggung jawab itu membuat pemerintah menyiapkan teknis penyaluran yang lebih terfokus.
Bessent menggambarkan, skema baru ini sebagai jembatan likuiditas sementara agar petani bisa mempertahankan usaha mereka sampai kebijakan dagang pulih. Ia menuturkan manfaat lebih besar akan muncul setelah berbagai kesepakatan dagang pemerintah berjalan sepenuhnya.
Rollins kemudian menekankan, dana tersebut memberi kepastian bagi petani ketika menjual panen tahun ini serta menyiapkan benih, pupuk, dan keperluan musim tanam berikutnya.
2. Penurunan pendapatan petani perburuk tekanan perang dagang

Harga benih dan pupuk yang terus melonjak telah menekan petani AS dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi ini diperparah oleh penyusutan pasar ekspor akibat tarif balasan, terutama dari China yang kini banyak membeli kedelai dan sorgum dari Amerika Selatan.
Pemerintah memang telah menyepakati pembelian 12 juta ton metrik kedelai AS hingga akhir 2025 dan tambahan 25 juta ton per tahun selama tiga tahun berikutnya, namun realisasi transaksi tahun ini masih jauh di bawah harapan.
Asosiasi Petani Kedelai Amerika (ASA) memperkirakan petani kedelai bakal mencatatkan kerugian untuk tahun ketiga berturut-turut pada 2025, sebuah tren yang sudah terlihat, bahkan sebelum tarif baru diterapkan.
Laporan FAPRI Universitas Missouri menunjukkan pendapatan bersih sektor pertanian berpotensi turun lebih dari 30 miliar dolar AS (Rp500 triliun) pada 2026 karena subsidi pemerintah menurun dan harga komoditas tetap lemah. Tahun ini, petani menerima hampir rekor 40 miliar dolar AS (Rp667 triliun) dari berbagai program pemerintah.
3. Penyesuaian regulasi lingkungan menjadi janji baru Trump

Trump turut berkomitmen memangkas sejumlah aturan lingkungan pada mesin pertanian yang dianggap menambah beban biaya.
“Peralatan pertanian menjadi terlalu mahal, dan banyak alasannya adalah karena mereka menempatkan kelebihan lingkungan ini pada peralatan, yang tidak melakukan apa-apa kecuali membuatnya rumit,” katanya sambil berharap perusahaan seperti John Deere segera menurunkan harga, dikutip dari CNA.
Senator Demokrat, Amy Klobuchar menyampaikan, kepastian bagi sektor pertanian akan lebih cepat terwujud jika tarif tersebut diakhiri. Kelompok petani bersama politisi Republik dari wilayah pertanian terus mendesak bantuan ini guna menjaga dukungan basis pemilih yang masih setia pada Trump meski terkena imbas perang dagang. Pada masa jabatan pertamanya, Trump pernah menyalurkan bantuan serupa dengan nilai sekitar 23 miliar dolar AS (Rp383 triliun).

















