Ekspor Benih Lobster Diklaim Tingkatkan Kemiskinan Masyarakat Pesisir

Permen KKP 12/2020 dianggap sebagai solusi jangka pendek

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, khawatir Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan nomor 12/2020 yang mengizinkan ekspor benih lobster atau benur justru meningkatkan kemiskinan masyarakat pesisir.

Kebijakan yang berlaku sejak 5 Mei 2020 itu berorientasi jangka pendek yang berdampak terhadap eksploitasi benur di laut.

“Jangka panjangnya kalau benih gak ada, kemiskinan akan meraja lela di lapangan, ujungnya nanti ada konflik karena berebut sumber daya yang tidak pasti,” kata Halim kepada IDN Times, Minggu (19/7/2020).

1. Menyebabkan ketidakpastian harga dan usaha lobster

Ekspor Benih Lobster Diklaim Tingkatkan Kemiskinan Masyarakat PesisirKKP melepasliarkan 95.610 benih lobster (Dok. KKP)

Menurut Halim, seiring dibukanya keran ekspor benur, maka harga lobster besarnya juga akan menurun. Di sisi lain, karena permintaan benur yang tinggi, maka harganya pun bisa meningkat. Dia khawatir Permen KKP 12/2020 menyebabkan ketidakpastian harga di pasar.

“Dampaknya juga ada ketidakpastian usaha karena benih lobster langka. Orang jadi tidak bergairah untuk budi daya lobster. Orang akan lebih memilih menjual benur karena dianggap tidak sebanding dengan waktu dan produksi yang mereka lakukan,” tutur dia.

Baca Juga: Ekspor Benur Dibuka, KIARA: Semua Mau Jadi Neyalan Tangkap Lobster

2. Halim mengkritisi kebijakan yang dibuat tanpa kajian akademis

Ekspor Benih Lobster Diklaim Tingkatkan Kemiskinan Masyarakat PesisirKKP melepasliarkan 95.610 benih lobster (Dok. KKP)

Salah satu argumen yang digunakan pemerintah untuk mengeluarkan peraturan ini adalah perbandingan rate survival rate. Persentase benur yang tumbuh di alam hanya 0,1 persen. Sementara, benur yang dibudidayakan persentase hidupnya mencapai 30 persen.

Menanggapi argumen di atas, Halim menyebut bila penelitian belum tentu cocok dalam konteks Indonesia. Oleh karenanya, dia mendesak supaya Permen 12/2020 ini ditunda sebelum pemerintah melakukan kajian akademis yang kontekstual.

“Itu kan didasarkan pada kajian yang sifatnya terbatas, bisa jadi tidak dilakukan di Indonesia. Kajian terakhir terkait lobster itu dilakukan pada 2015, saya khawatir itu juga yang jadi acuan. Padahal, bisa jadi survival rate di Lombok berbeda dengan Aceh,” kata mantan Sekjen KIARA itu.

3. Mendorong kebijakan untuk budi daya bukan untuk ekspor benur

Ekspor Benih Lobster Diklaim Tingkatkan Kemiskinan Masyarakat PesisirHumas Pemprov Lampung

Beberapa ahli menyebut Permen ini sebagai langkah progresif karena mengizinkan nelayan untuk melakukan budi daya lobster. Sebab, selama ini melalui Permen 56/2016, di zaman Menteri Susi Pudjiastuti, penangkapan benur dan budi daya lobster tidak diizinkan.

Halim sendiri heran dengan ungkapan tersebut. Menurut dia, bagaimana bisa nelayan melakukan budi daya jika benihnya diekspor ke luar negeri.

“Ini kesesatan logika apakah kalau nanti tiga tahun kita budi daya sambil ekspor, maka nanti tahun keempat kita sudah hebat dalam budi daya,” kata dia.

Oleh karena kebijakan ini tidak terlalu menguntungkan, apalagi jika dibandingkan dengan menjual lobster dalam ukuran besar, Halim menyebut Permen ini sebagai kepentingan ekonomi jangka pendek.

“Keuntungan untuk negaranya kecil, bisa juga untuk keuntungan teman-teman separtai (Gerindra),” tutup dia.

Baca Juga: 5 Fakta Kisruh Izin Ekspor Benih Lobster, Seret Bisnis Kader Gerindra

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya