Pedagang E-Commerce Bakal Kena Pajak, Ini Penjelasan DJP

Jakarta, IDN Times - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka suara memberikan klarifikasi terkait rencana pengenaan pajak terhadap para penjual di platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menyampaikan pemerintah berencana menunjuk marketplace sebagai pihak pemungut pajak atas transaksi yang dilakukan para penjual online. Namun, rencana ini masih dalam tahap finalisasi dan belum dipastikan kapan mulai diberlakukan.
"Saat ini, rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak masih dalam tahap finalisasi aturan oleh pemerintah," ujar Rosmauli saat dihubungi, Rabu (25/6/2025).
1. Ketentuan aturannya akan disampaikan secara resmi

Kebijakan ini dirancang untuk menciptakan keadilan antara pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) daring dan luring. Sebab, UMKM yang beroperasi secara offline telah dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Saat ini, UMKM dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar dikenakan PPh Final sebesar 0,5 persen dari penghasilan bruto.
"Prinsip utamanya adalah untuk menyederhanakan administrasi pajak dan menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku usaha UMKM online dan UMKM offline," jelas Rosmauli.
Dia menegaskan, pemerintah akan menyampaikan informasi secara terbuka setelah aturan resmi diterbitkan.
"Begitu aturannya resmi diterbitkan, kami akan sampaikan secara terbuka dan lengkap ya," ujar Rosmauli.
2. Rincian pajak yang dikenakan atas penjualan di e-commerce

Beberapa pajak yang dikenakan atas penjualan di e-commerce di antaranya:
PPh: Penghasilan yang diperoleh penjual dari transaksi e-commerce merupakan objek PPh. Jika omzet kurang dari Rp4,8 miliar per tahun dikenakan PPh Final 0,5 persen dari omzet bruto sesuai PP No. 55/2022. Bila omzet di atas Rp4,8 miliar maka penjual wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PK) dan dikenakan tarif progresif (orang pribadi) atau tarif PPh Badan 22 persen untuk badan.
PPN: Penjual yang sudah PKP wajib memungut Pajak Perambahan Nilai (PPN) dengan tarif sebesar 11 persen dari harga jual.
PPnBM: Apabila e-commerce menjual barang mewah, maka penjual wajib memungut Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM) sebesar 12 persen dari harga jual.
3. Cara hitung ketentuan pajak pelaku usaha e-commerce

Seorang pelaku usaha e-commerce yang dikenal sebagai Tuan A, menjalankan bisnis penjualan pakaian secara daring dengan omzet tahunan mencapai Rp4 miliar. Meski mengelola usaha dengan nilai transaksi cukup besar, Tuan A belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan oleh karena itu, tidak diwajibkan memungut maupun menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualannya.
Sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Tuan A dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen dari omzet bruto, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018.
Dari omzet yang mencapai Rp4.000.000.000 dalam setahun, Tuan A dikenakan PPh Final sebesar:
0,5 persen x Rp4.000.000.000 = Rp20.000.00
Pajak ini dibayarkan secara bulanan, sehingga Tuan A wajib menyetorkan sekitar Rp1,66 juta per bulan ke kas negara. Dengan omzet yang masih di bawah ambang batas Rp4,8 miliar, Tuan A tidak diwajibkan menjadi PKP. Namun, apabila omzet usaha ke depannya melampaui batas tersebut, maka ia wajib mengajukan pengukuhan sebagai PKP dan akan dikenai kewajiban memungut PPN sebesar 11 persen atas setiap transaksi penjualan.