Profil Singkat Tokoh-tokoh yang Menghiasi Uang Rupiah Cetakan Terbaru

Pada tanggal 19 Desember 2016 lalu, bertepatan dengan peringatan Hari Bela Negara, Presiden Jokowi meresmikan pengeluaran dan pengedaran 11 pecahan uang Rupiah Tahun Emisi (TE) 2016. Dengan peresmian itulah, kini 11 pecahan uang rupiah tersebut sudah mulai berlaku untuk dijadikan sebagai alat tukar, alat pembayaran dan transaksi.
Kali ini dalam mengeluarkan uang baru Tahun Emisi 2016, Bank Indonesia (BI) melakukan beberapa perubahan pada gambar pahlawan yang termuat di uang rupiah. Adanya gambar pahlawan itu dimaksudkan agar kita para generasi muda dapat meneladani semangat kepahlawanan dan nilai-nilai patriotisme dalam diri pahlawan yang sudah mengedepankan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan-kepentingan mereka pribadi serta kelompoknya.
Mari kita berkenalan dengan pahlawan-pahlawan tersebut.
Soekarno & Hatta di pecahan Rp 100.000

Sosok pahlawan yang ada pada pecahan Rp 100.000 ini tidak mengalami perubahan, mengingat ini adalah uang pecahan terbesar yang ada di Indonesia jadi memang sudah seharusnya tokoh yang termuat disini adalah sosok yang memproklamirkan kemerdekaan bangsa kita, yaitu Soekarno dan Hatta.
Yang terlihat cukup berbeda adalah pada uang pecahan Rp 100.000 Tahun Emisi (TE) 2014 terlihat wajah Bung Karno dan Bung Hatta dengan bibir terkatup yang menunjukkan sisi formalnya kedua pahlawan kita itu. Kini di TE 2016, Bung Karno dan Bung Hatta terlihat sumringah dengan senyum terbuka.
Ir. Juanda pada pecahan Rp 50.000

Bila di TE 2005, gambar tokoh pahlawan yang ada di Rp 50.000 ini adalah I Gusti Ngurah Rai maka di TE 2016, sosok yang ditampilkan adalah Ir. H. Djuanda Kartawidjaja.
Ada 2 kontribusi besar yang sudah diberikan oleh sosok perdana menteri Indonesia terakhir ini kepada bangsanya, yaitu:
- Deklarasi Djuanda. Berkat deklarasi inilah, bangsa kita akhirnya diakui sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang menyatakan pada dunia bahwa laut Indonesia baik itu laut sekitar, laut yang berada di antara, maupun yang laut di dalam kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah NKRI. Hal ini merubah kondisi dimana kapal asing yang bisa dulunya secara hukum bebas untuk melayari laut yang memisahkan pulau-pulau di Hindia Belanda, kini harus menggunakan izin karena sudah masuk menjadi wilayah Indonesia. Perjuangan Djuanda ini tidaklah sia-sia karena kemudian di tahun 1982, sidang konvensi hukum laut PBB ke-III mengesahkan hal tersebut yang kemudian dibukukan di United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.
- Pembangunan Lapangan Terbang di Surabaya yang atas jasa-jasanya memperjuangkan itu dinamailah menjadi Bandara Djuanda
Bila ingin mengenal sosok beliau lebih jauh, silahkan kunjungi Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda yang di Taman Hutan Raya yang juga bernama namanya, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Bandung.
Sam Ratulangi di pecahan Rp 20.000

Kini di uang pecahan ini, sosok pahlawan yang dimunculkan adalah Dr. G.S.S.J. Ratulangi yang mana sebelumnya di TE 2004 pahlawan yang dihadirkan adalah Oto Iskandar Di Nata. Darinya sosoknya kita bisa menarik pelajaran kalau ternyata para pendahulu kita pun sudah getol menimba ilmu, itu terlihat dari gelar doktoralnya (Ph.D) yang ia peroleh dari Universitas Zurich di Swiss pada tahun 1919 pada bidang ilmu pasti dan ilmu alam.
Kita lebih mengenal sosok Dr. G.S.S.J. Ratulangi dengan nama Sam Ratulangi yang untuk mengenang, menghormati dan menghargai sosoknya, nama pahlawan yang lahir di Tondano, Sulawesi Utara ini diabadikan untuk bandar udara Manado serta Universitas Negeri di Sulawesi Utara (Universitas Sam Ratulangi).
Selain itu, jasa besarnya adalah menjadi anggota dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, ia diangkat sebagai Gubernur (Gubernur Sulawesi Pertama).
Frans Kaisiepo di uang pecahan Rp 10.000

Jika pada uang pecahan Rp 10.000, TE 2005 sosok pahlawan yang dihadirkan adalah Sultan Mahmud Badaruddin II, maka pada TE 2016 ini sosok yang dimunculkan adalah Frans Kaisiepo.
Nama Frans Kaisiepo memang masih kurang familiar di telinga masyarakat Indonesia, namun justru itulah niat baik pemerintah untuk bisa mengenalkan kepada masyarakat luas jasa-jasa pahlawan kita, bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Bagaimana kita bisa menghargai kalau mengenalnya saja tidak!
Bila tadi Sam Ratulangi ada di Pulau Sulawesi, kini sosok pahlawan yang ada di pecahan Rp 10.000 ini lahir di Biak, Papua. Ia merupakan sosok yang hadir dalam Konferensi Malino yang diadakan oleh Kolonial Belanda waktu itu untuk menggagas pembentukan Republik Indonesia Serikat yang juga bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), selain menentang hal tersebut wakil dari Papua ini kemudian mengusulkan perubahan nama Netherland Nieuwe Guinea menjadi “Irian” yang dalam bahasa biak bisa berarti beruap atau tempat yang panas, sebagian orang juga ada yang memahaminya sebagai singkatan dari “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland”.
Sosok yang juga menjadi Gubernur Papua ke-4 ini diabadikan namanya sebagai nama bandar udara di Biak yaitu Bandara Frans Kaisiepo. Berkat jasa-jasanya dalam mempertahankan tanah Papua dari kolonialisme serta usaha penyatuan Irian ke Republik Indonesia, memang sudah sepantasnya beliau menerima penghargaan untuk disematkan di pecahan uang ini.
Dr. KH. Idham Chalid di uang pecahan Rp 5.000

Dr. K.H. Idham Chalid merupakan sosok pahlawan berikutnya yang dihadirkan di uang pecahan terbaru TE 2016 ini. Sebelumnya sosok yang dimunculkan pada TE 2001 adalah Tuanku Imam Bonjol.
Setelah tanah Sulawesi dan Irian, maka tokoh pecahan uang Rp 5.000 ini dilahirkan di tanah Kalimantan, tepatnya di Satui, Kalimantan Selatan. Sosok Idham Chalid banyak dikenal luas oleh masyarakat sebagai ulama dan politisi yang penuh beretika dan santun. Terlahir dari keluarga sederhana yang bukan dari warga kota besar, Idham Chalid mampu menunjukkan kepada kita bahwa yang kegigihan, semangat belajar, perjuangan, penempaan diri serta resistensi yang tinggi adalah mata uang yang tergantikan dimanapun.
Peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, sekaligus sosok yang paling lama dipercayai untuk menjadi ketua umum PBNU ini memiliki prinsip rahmatan lil ‘alamin yang selalu digemakannya di penjuru Indonesia. Bahwa umat islam, keberadaannya tidak hanya boleh menjadi rahmat untuk satu umat islam saja, tetapi untuk seluruh umat manusia dimanapun ia berada.
M.H. Thamrin pada pecahan Rp 2.000

Pada pecahan Rp 2.000 TE 2016 ini sosok pahlawan yang dihadirkan adalah Mohammad Hoesni Thamrin, sedangkan TE sebelumnya yaitu TE 2009, pahlawan yang dimunculkan adalah Pangeran Antasari.
Sosok Mohammad Hoesni Thamrin merupakan contoh pemimpin Indonesia yang disegani oleh segenap rakyatnya, bahkan di saat wafatnya, ia bisa menggerakkan lebih dari 10,000 pelayat untuk berdemonstrasi menuntut pemberian kemerdekaan dari kolonialisme Belanda agar bisa menentukan nasib sendiri. Sedangkan semasa hidupnya, Thamrin benar-benar memperjuangkan nasib bangsa agar dapat merdeka melalui jalan parlementer. Sebagai seorang anggota parlemen Dewan Rakyat bentukan belanda, ia tidak mau menjadi suruhan Belanda untuk menindas masyarakat, justru persoalan-persoalan yang ada di masyarakat dibawanya, ia juga mencarikan beragam solusi untuk bisa mengatasi persoalan tersebut.
Bangsa kita banyak berhutang pada jasa-jasanya yang walaupun kooperatif dengan Belanda tetapi tetap teguh memegang integritas visi Indonesia Merdeka walaupun semasa hidupnya ia tidak sempat menyaksikan itu.
Tjut Meutia di pecahan Rp 1.000

Tjut Meutia adalah sosok pahlawan yang ingin diperkenalkan pemerintah pada pecahan uang Rp 1.000 terbaru TE 2016 yang sebelumnya pada TE 2000 adalah Kapiten Pattimura.
Tjut Meutia merupakan sosok kelahiran Pirak, Aceh Utara yang semasa hidupnya tidak pernah berhenti melawan kolonialisme Belanda yang ada di Aceh. Ia gugur di medan peperangan di Alue Kurieng. Semasa hidupnya, bersama dengan suaminya ia gigih untuk mengusir Belanda dari tanah Aceh. Suami pertamanya yang turut ikut berjuang di medan perang adalah Cut Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Cik Tunong. Suaminya Tjut Meutia tersebut berhasil melakukan penyerangan yang besar pada Belanda di tahun 1899 dan 1901, sayangnya di tahun 1905, ia berhasil ditangkap dan dihukum mati, yang mana sebelum meninggal ia berpesan pada sahabatnya, Pang Nagroe, untuk menikahi istrinya.
Suami keduanya yaitu Pang Nagroe juga melakukan perjuangan yang serupa untuk membela tanah Aceh dari kolonialisme. Pada akhirnya, 5 tahun kemudian, Pang Nagroe juga meninggal di suatu pertempuran. Walaupun begitu, Tjut Meutia tidak tinggal diam, ia terus menerus melakukan perlawan kepada penjajah Belanda hingga akhir hayatnya.