[Puisi] Segores Luka Anak

Di sudut rumah yang makin bisu,
Aku duduk, menunduk pilu.
Bukan karena nakal, bukan karena salah,
tapi karena aku terbiasa disalahkan atas segalanya.
Piring pecah—katanya aku yang paling dekat.
Tugas lupa—namaku langsung disebut.
Saat bibirku ingin berkata pelan,
Suara mereka sudah lebih dulu naik ke awan.
Aku belajar diam,
karena setiap kata dariku dianggap membangkang.
Mereka tak butuh penjelasan,
Hanya butuh seseorang untuk disalahkan.
Hari demi hari,
aku bukan lagi bagian dari tanya,
Hanya jawaban yang sudah ditentukan,
Sebelum mulutku sempat menjelaskan.
Aku tetap hadir di ruang ini,
Melangkah pelan, menahan napas.
Berharap tak ada suara dari jejak kakiku,
Agar tak ada alasan baru untuk marah.
Aku mencintai mereka,
Tapi tak tahu bagaimana dicintai balik.
Sebab peluk yang kuharapkan,
Datang dalam bentuk tuduhan dan teriakan.
Dalam tidurku,
Aku membayangkan meja makan tanpa suara keras,
Obrolan hangat tanpa tudingan,
Dan mata yang melihatku apa adanya.
Aku hanyalah anak,
Yang ingin dipercaya walau sekali.
Yang ingin didengar,
Meski tak sempat bicara panjang lebar.
Segores luka ini tak terlihat,
Tapi tumbuh di tiap kalimat yang kutahan.
Ia mengendap di dada yang kecil,
Dan mengeras di hati yang masih ingin berharap.
Tapi belum terlambat untuk mendengar,
Bukan hanya kata, tapi juga diam yang bicara.
Terkadang, cinta bukan soal keras suara,
Melainkan pelukan saat aku mencoba menjelaskan dunia.
Jika saja hati mau belajar mendengar,
Aku pun akan berani tumbuh dan bicara.
Karena luka yang dipeluk dengan sabar,
Bisa perlahan berubah menjadi cahaya.