[CERPEN] Cokelat atau Vanila

Kontes tahun ini sangat meriah. Semua orang berkumpul dengan suka cita, penuh harap, dan rasa cemas. Ini sudah menjadi tradisi bagi setiap orang yang memasuki masa remaja untuk mengikuti kontes ini. Namun, di kontes ini juga persepsi orang lain akan ditentukan.
Kontes ini sederhana, setiap remaja baru harus memilih rasa es krim yang dihadirkan di depannya. Rasa es krim yang disediakan pun sesuai dengan ramalan tanggal lahir setiap orang. Di sini, karakter seseorang akan dideskripsikan secara terbuka, di depan semua warga dan teman sebaya mereka.
Tidak sedikit yang mendapat pendeskripsian yang kurang baik. Mereka yang mendapat hal itu akan memiliki lebih banyak rintangan dalam hidup. Bahkan tidak sedikit yang berakhir di jalanan karena tidak satu pun orang yang mau mempekerjakannya.
"Adi, kamu siap?" tanya Bapak memegang pundakku. Senyumannya terasa canggung.
"Hmm." Aku mengangguk. Tidak peduli pendeskripsian apa yang aku dapat, aku bertekad tidak akan membuatnya mempengaruhi jalan hidupku.
Setelah mengantri untuk mengambil nomor antrian, akhirnya aku mendapat giliran ke sepuluh bersamaan dengan dua teman satu angkatanku. Aku tidak mengenal mereka, tapi rasanya wajah mereka tidak asing.
Semua orang duduk di kursi yang disediakan. Tiga peserta pertama maju. Mereka duduk di kursi masing-masing yang berjarak dua depa ke setiap kursi. Di depan mereka ada sebuah meja dan di sudut panggung berdiri seorang MC. Lalu, di sisi kanan panggung tersedia tempat khusus bagi "Para Pembaca". Istilah yang diberikan pada mereka yang akan melakukan pembacaan karakter.
Tugas Para Pembaca ini dimulai dengan membaca tanggal lahir setia peserta. Lalu, mereka akan menentukan rasa es krim yang harus dipilih, dan tahap paling menegangkan adalah pendeskripsian untuk para remaja baru. Para Pembaca ini terdiri dari 3 orang. Angka ganjil yang dianggap sebagai keberuntungan.
Setelah beberapa menit Para Pembaca membaca tanggal lahir, mereka akhirnya menentukan rasa es krim. Peserta pertama adalah seorang gadis berambut hitam legam panjang dengan mata sayu. Perawakannya cukup tenang. Gadis itu mendapat pilihan rasa stroberi dan choco chips.
"Silahkan dipilih dengan baik sesuai hati nurani." Dialog yang akan dilontarkan MC saat tiba waktuya peserta untuk memilih. Gadis itu mengangguk.
Tangannya bergerak perlahan, matanya masih tidak fokus pada satu pilihan. Namun, tiba-tiba tangannya terhenti. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Setelah beberapa detik, ia membuka kedua kelopak matanya itu dan tangan putihnya segera meraih wadah es krim rasa stroberi--tanpa ragu sedikit pun.
"Wah apa ini yang disebut pilihan dari hati nurani?" bisikku.
Para pembaca mengangguk dan salah satu dari mereka berdiri. Semua orang memperhatikan dengan seksama.
"Selamat remaja baru, kamu adalah seorang yang berpikir logis, bertanggung jawab, dan setia. Namun, hati-hati dengan sikap polos. Itu bisa saja membuat orang lain menangkapnya dalam cara yang berbeda," jelas pembaca itu, lalu ia duduk kembali.
Semua orang bertepuk tangan. Mereka menyambut si gadis stroberi yang polos ini. Pendeskripsian yang ia dapat rasanya cukup relevan dengan tampilannya. Aku mengangguk coba memahami.
"Apa pendeskripsianku juga sesuai tampilanku?" tanyaku dalam hati.
Peserta kedua adalah seorang pria bertubuh jangkung. Aku bingung cara menyebutnya, karena tubuh jangkungnya tidak membuatnya terlihat seperti seorang remaja baru.
Para pembaca kembali senyap. Tidak lama setelahnya, rasa es krim pria jangkung itu ditentukan. Di depannya kini ada dua es krim rasa kacang dan es krim dengan banyak topping di atasnya.
"Baik, silahkan pilih dengan baik sesuai hati nurani." Suasana kembali hening. Rasa-rasanya jadi ikut tegang jika suasana terus berjalan seperti roller coaster begini.
Pria jangkung itu mengangguk dan tangan bergerak ke arah es krim dengan banyak topping. Menakjubkan bagaimana pria jangkung itu tidak memperlihatkan rasa ragu sejak awal. Para pembaca kembali mengangguk dan salah seorang dari mereka berdiri.
"Selamat remaja baru, kau adalah pendengar yang baik dan cukup agresif. Kesuksesan seperti sudah menjadi takdirmu. Tapi, agresif dan tidak peka bisa menjadi bencana jika terlalu sering bersama, berhati-hatilah."
Pembaca itu duduk. Aku melihat wajah semua orang. Aku penasaran ekspresi apa yang akan mereka tunjukkan pada orang dengan yin dan yang yang sangat jelas ini. Pria jangkung itu berdiri penuh wibawa. Tepuk tangan orang-orang menggema sangat meriah. Ia turun dari panggung dengan bangga dan tangan terbuka semua orang.
Aku tertegun dengan bagaimana suasana menjadi berapi-api. "Wah, apa kesuksesan kuncinya?"
Aku kembali merenungkannya. Meskipun kata "bencana" ada dalam pendeskripsiannya, mungkin semua orang menganggap sifat seseorang bisa saja dirubah. Lagi pula pria jangkung itu juga bisa menyangkalnya dengan berjalannya waktu. Ia bisa menunjukkan bahwa "bencana" itu tidak akan pernah terjadi.
Aku mengelus-elus daguku dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kananku. "Cukup menarik."
Peserta ketiga adalah cowok berkacamata yang tentu saja identik dengan anak pintar dan rajin. Entah bagaimana rasanya pendeskripsiannya sudah bisa kutebak. Suasana kembali hening. Para pembaca menafsirkan tanggal lahir cowok pintar itu.
Diskusi kali ini cukup lama sampai akhirnya para pembaca membisikkan sesuatu pada orang di sebelah mereka. Ekspresi orang tersebut jelas membuat semua orang bingung. Dan mungkin cowok pintar itu juga menjadi tegang. Dalam kasus seperti ini, biasanya akan muncul rasa baru.
Kini butuh waktu sedikit lama hingga dua es krim tersedia di hadapan cowok pintar itu. Es krim itu rasa kacang dan buah-buahan.
"Baiklah, kini sudah tersedia dua es krim dengan rasa kacang dan rasa baru yaitu buah-buahan," jelas MC. "Silahkan pilih dengan baik sesuai hati nurani," lanjutnya.
Kalau cowok pintar itu memilih rasa buah-buahan, maka akan ada karater baru dalam sejarah. Ini bisa berdampak positif atau negatif, karena semua perhatian akan tertuju padanya.
Cowok pintar itu cukup tenang walaupun suasana sekitarnya tiba-tiba menjadi tegang. Lalu, setelah beberapa saat terdiam, tangannya meraih es krim rasa kacang.
"Selamat remaja baru, kau adalah orang yang teliti, peka, berhati lembut, dan memahami norma-norma dengan baik. Namun, tidak perlu sampai menjepit diri sendiri secara berlebihan, hidup tetap bisa dinikmati."
Semua orang bertepuk tangan. Wajah orang tua cowok pintar itu tampak lega. Cowok pintar itu turun dari panggung perlahan. Dan kontes ini terus berlanjut.
Peserta urutan keempat, lima, dan enam naik ke atas panggung. Mereka mendapat pendeskripsian yang cukup baik. Lalu, peserta ketujuh, delapan, dan sembilan naik ke atas panggung. Peserta urutan kedelapan mendapat pendeskripsian kurang baik. Meskipun begitu, ia turun dengan tepuk tangan semua orang yang mendukungnya agar bisa mengubah nasibnya.
Lalu, kini giliranku untuk memilih. Setelah para pembaca menafsirkan tanggal lahirku, es krim rasa cokelat dan vanila ada di hadapanku. Aku benar-benar bingung bagaimana cara memilihnya, karena aku tidak terlalu suka makan es krim.
"Baiklah, silahkan pilih dengan baik sesuai hati nurani."
Aku melihat wajah semua orang. Mereka tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Jadi begini rasanya mendapat seluruh perhatian. Aku kembali dengan es krim. Kupejamkan mataku, kutarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Kubuka mataku perlahan, lalu tanganku meraih es krim rasa cokelat.
Aku melihat ke arah para pembaca. Mereka mengangguk dan salah seorang dari mereka berdiri.
"Selamat remaja baru, kau adalah orang yang menawan, ramah, dan cukup santai. Banyak orang akan menyukaimu dari caramu bersikap. Namun, bermain dengan lebih dari satu takdir cinta sama sekali bukanlah hal yang baik."
Pembaca itu duduk kembali. Aku pun masih berdiri. Aku melihat wajah orang tuaku, lalu wajah semua orang di sana. Para orang tua entah kenapa sudah memegangi erat tangan gadis mereka. Apa kalimat para pembaca menjadi sebuah konfirmasi?
Kubuang napas perlahan, "Hah... kalau begini, bagaimana caraku menyangkalnya?"