[NOVEL] Wife Wannabe: Bab 1

Penulis: Ririn Ayu

Cream Pasta

 

Nila memuntir gulungan panjang mi di atas piring. Napas panjang terhela dari hidungnya yang bangir. Matanya menatap ke depan, memandangi wajah pemuda yang kini masih tampak sibuk dengan makanan di piringnya. Rasanya kesal saat melihatnya begitu santai, seharusnya pemuda itu melakukan sesuatu.

“Jadi bagaimana?” katanya akhirnya.

Pemuda yang kini masih sibuk memotong daging itu mendongak, memandang gadis di hadapannya. Kacamata minusnya melorot seperti biasa. Bibirnya yang tipis tampak mengilap karena bekas makanan yang baru saja masuk ke mulutnya.

“Apanya?”

Gadis itu mengesah, ingin rasanya melontarkan semua beban di dadanya. Apanya katanya? Sungguh tidak peka. Bagaimana ada manusia yang benar-benar tidak pengertian seperti ini? Pertanyaan terbesarnya adalah kenapa dia masih mencari jenis manusia yang sungguh menyebalkan seperti pemuda itu.

Hidungnya kembali mengais udara, mencoba untuk melonggarkan sesak di dada sementara pelipisnya mulai berdenyut. Dia benar-benar kesal sekarang. Bukan hanya sekali, berkali-kali pria ini berlaku sama. Menyebalkan, akan tetapi sayang untuk dibuang. Nanti tidak ada yang memungut, siapa yang mau bersama lelaki kaku itu selain gadis sepertinya.

Ingatannya melayang pada setahun belakangan. Betapa pria di depannya yang kini sibuk mencacah daging sempat menebas kesunyian di hatinya. Pria yang kini masih tersenyum itu pernah mengisi hari-harinya. Membuatnya merasakan adegan ala drama hingga membuatnya tak lagi iri saat menatap pelakon di layar kaca.

Berkejaran di bandara saat ketinggalan pesawat. Itu hanya adegan drama yang membuat para wanita berdecak kesal akan kemustahilan yang terjadi. Ya, itu untuk sebagian wanita. Tidak untuknya, dia pernah melakoni adegan ini. Semua ini karena pria berkaca mata dengan pipi imut di depannya ini.  .Pria itu membuat drama romantis seperti di film-film yang menjadi benar-benar hidup dalam hubungan mereka.

“Nila.”

Gadis itu kembali mendesah, tangannya mengepal di ujung garpu.  Selalu seperti ini. Selalu saja pura-pura tidak tahu. Seolah topeng kedunguan itu bisa menutupi semua hal yang telah diperbuat olehnya. Seakan semua bakalan baik-baik saja kalau berpura-pura tidak tahu.

“Ya.”

“Kenapa cemberut melulu, sih?”

Nila kembali menekuni wajah pemuda itu lalu menunduk berpura-pura cuek. “Wanita itu butuh kepastian, Gi!”

“Oh.”

Oh? Ya, Tuhan.

Nila memuntir pasta semakin cepat dengan garpunya, mengabaikan keinginannya untuk memukul dadanya atau menonjok Gie sekalian. Semua gemuruh dan kelontang sendok sungguh kontras dengan alunan lagu romantis yang bergema memenuhi ruangan. Jadi Nila sendiri bingung harus memakai mood yang mana.

“Apa aku kurang pasti?” Gie tersenyum. Bibirnya tertarik ke atas dengan maksimal dan matanya sungguh berbinar. Tolong dicatat, BERBINAR. Maksudnya benar-benar gemerlap seolah ada bintang-bintang di sana.

“Gak lucu!”

“Aku bukan pelawak, bagaimana lagi?” kekehnya.

“Serius sedikit bisa?”

“Bisa, aku pasti serius kalau denganmu, Nil.”

“Gombal!”

Gie kali ini menatap lebih tajam dan menaruh sendoknya di atas piring. Matanya tidak berkedip. “Nila!”

“Ya.”

“Bisakah kita berjalan pelan-pelan?”

“Maksudmu?”

Oh, well. Begini perumpamaannya, seperti aku menyesuaikan langkah denganmu. Aku rela memangkas langkah kakiku yang panjang agar kita bisa berjalan beriringan,” suara Gie semanis biasa.

“Aku lelah, Gie.”

“Apa yang membuatmu lelah? Aku atau hubungan kita?”

“Semuanya.”

“Aku bahkan membuatmu lelah?” Gie nyaris terdengar putus asa.

“Tidak, maksudku bukan begitu.” Nila mulai panik. Tangannya mendadak mulai bergetar.

“Lalu?”

“Hubungan kita yang membuatku lelah, aku tidak ingin bermain-main lagi, Gie. Bermain dengan perasaan itu menyebalkan.”

“Apa aku terlihat main-main?”

“Mungkin bagimu tidak, tapi bagiku iya.”

“Oke, lalu yang menurutmu tidak bermain-main bagaimana caranya? Beri tahu aku!”

“Aku ingin kejelasan, ingin komitmen yang pasti. Aku ingin kau menjelaskan posisiku di hatimu, lalu bicara tentang hubungan kita ke depannya,” Nila menghela napas di penghujung kalimat.

“Oke. Kalau menurutku posisimu di hatiku sudah jelas. Komitmen kita sudah ada. Aku hanya ingin kita berjalan pelan, menundukkan kepala dengan jemari bertaut maka kita tidak akan menyadari jarak yang kita lewati. Aku ingin melewatkan waktu yang panjang ini bersamamu, mungkin sambil menikmati pemandangan selama kita berjalan,” Gie tersenyum lagi, kali ini senyumannya lebih manis dari biasanya.

“Aku paham. Hanya saja sampai kapan?”

“Kenapa kau terburu-buru sekali sih? Kau tidak akan menjadi perawan tua dalam waktu setahun hingga dua tahun ke depan, Nil.” Gie terlihat mencoba menahan suaranya agar tidak melambung naik.

“Karena kau tidak akan menjadi perjaka tua makanya kau dengan mudahnya bilang begitu. Kau tidak bisa lihat betapa tidak adilnya ini untukku?”

“Maaf, aku keterlaluan. Lalu apa yang kau mau?”

Nila mendongak, menatap wajah pria di depannya. “Lamar aku!”

“Apa?”

“Iya, pinang aku secepatnya!”

“Apa kau sudah gila? Bagaimana bisa?”

“Apanya yang tidak bisa. Kau sudah mengunjungi orang tuaku. Bukan hanya sekali, dua kali, Gie. Apalagi yang perlu kau tunggu?”

“Aku menunggu kesiapan, Nil. Pernikahan itu bukan hanya masalah kau dan aku tapi kesiapan mental.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Aku curiga selama ini cintaku bertepuk sebelah tangan.” Nila menyahut sinis.

“Nil, kalau aku tidak mencintaimu maka aku tidak akan pernah memberikan perhatian untukmu, mencintaimu dan menyayangimu. Aku melakukannya sepenuh hati.”

Nila terdiam, banyak perhatian memang diberikan oleh pria itu. Satu hal yang paling berkesan untuknya adalah kejutan ulang tahun. Pikirannya kembali berkelana ke kejadian dua tahun lalu kala Gie mengirimkan kue ulang tahun. Dia mengantarkan kue itu sendiri. Hanya saja memakai nama orang lain. Kurang sinetron apa coba? Sayangnya, kenapa pula drama permintaan kepastian ini juga penuh adegan aksi dengan gelinciran twist di sana-sini? Hanya sebuah kepastian, kenapa sesulit ini kalau memang mereka saling cinta? Kepastian itu bahkan tidak mahal berlian yang dicari Bang Toyib.

“Aku tahu.” Nila menunduk. Matanya kini menatap ujung garpunya yang mulai kotor.

“Nah, apa yang membuatmu berpikir kalau aku tidak serius dengan perasaanku?”

“Tidak ada.”

“Kalau begitu bisakah kita hentikan drama pernikahan ini? Hmm ... hmmm?” Gie menaikkan alisnya ke atas dengan manja. Dia menyentuh tangan Nila lalu meremasnya.

“Begitukah?”

Tawa merekah di bibir Gie. “Iya. Dengan berjalan pelan-pelan. Kita akan menemukan timing yang tepat. Kalau memang benang takdir menautkan kita maka kita pasti akan bersama.”

“Berapa lama?”

“Aku tidak tahu.” Gie mengangkat bahu, senyuman masih terulas di bibirnya.

“Tidak tahu?”

“Iya.”

Nila mengedikkan bahu lalu mengalihkan pandangan. “Baik, aku paham.”

“Nila!”

“Gie, steak di piringmu masih sisa,” ucapnya sambil menunjuk piring pemuda itu.

“Ah, iya. Nanti keburu dingin.” Gie melepaskan genggaman tangannya.

“Kau suka daging, aku suka pasta.” Nila menyuapkan gulungan pasta ke dalam mulutnya.

“Huh? Apa maksudmu?”

“Pasta ini lunak dan daging keras. Pasta tidak butuh lama untuk bisa dinikmati sedangkan daging memerlukan waktu lebih lama untuk matang sepenuhnya.”

“Lalu?”

“Dari situlah perbedaan kita berasal. Sama seperti tidak ada istilah perjaka tua, namun selalu ada perawan tua. Stigma masyarakat terhadap pria dan wanita itu berbeda. Itu juga sama dengan kondisi mental kita, mentalmu mirip daging yang perlu waktu lama untuk matang sedangkan aku mirip pasta yang akan hancur kalau menunggumu matang.”

“Nila.”

“Kau tahu apa maksudku, kan?”

“Kita berjuang bersama, kita tertawa bersama, aku tidak memungkiri itu. Hanya saja, kau tidak bisa seperti ini. Aku tanya padamu untuk terakhir kalinya, apa kau tidak ingin memperjuangkanku?”

Gie tampak menelan ludah. “Dengan menikah secepatnya?”

“Ya,” sahut Nila tegas.

“Kau ini berlebihan! Coba pikirkan dari sudut pandang lain, terbukalah sedikit, jangan terlalu konservatif!”

“Apa kamu enggak pengin buat aku jadi milikmu?”

“Nila!” Suara Gie naik satu oktaf. “Jangan paksa aku!”

“Aku anggap itu artinya tidak.” Nila mengangkat jemarinya di meja, memamerkan cincin yang kini bertengger di jari manisnya.

Manik mata cokelat pemuda itu menatap ke arah jemari Nila. Pandangannya beralih ke wajah gadis itu.

“Apa maksudnya ini?”

“Aku tahu ini jawabanmu. Enam bulan aku menunggumu, Gie—“

“Kau selingkuh?” potongnya cepat.

Nila menggeleng. “Dia pria baik yang rela melepaskanku jika kau memang mau bersamaku.”

“Nila … aku …,” Gie tergagap memikirkan kalimat yang akan dilontarkan.

“Kamu kan enggak pengin milikin. Jadi apa aku salah kalau pilih bersama orang yang ingin memiliki hatiku?”

“Tapi, hatimu adalah milikku.” Gie masih belum menyerah.

“Kamu yakin?”

“Apa?”

“Kau yakin kalau hatiku masih milikmu?”

Gie terdiam. Ekspresi kebingungan terpampang di wajahnya.

“Wanita lebih memilih dicintai daripada mencintai. Dia menawarkan cinta dan kau hanya menawarkan ketidakpastian, kau tentu tahu mana harus kupilih.”

“Nila, bisakah kau menunggu?”

“Tidak. Maaf, Gie.”

Nila beranjak berdiri. Meremas tepian meja sebelum tersenyum ke arah pria itu. “Padahal aku sudah memberikan hatiku, sayang kau tidak ingin memilikinya. Selamat tinggal, Gie!”

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Wife Wannabe: Bab 2 

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya