Rahasia Salinem - BAB 3

Penulis : Brilliant Yotenega & Wisnu Suryaning Adji

[3]

 

Sehari setelah pemakaman Mbah Nem, sendunya masih terasa kental. Bapak benar-benar melaksanakan niatnya untuk melukis wajah Mbah Nem. Dia bilang, “Yo, kamu pulang duluan saja ke Jakarta, tidak usah menunggu Bapak berangkat ke Surabaya. Bapak akan tinggal beberapa waktu lagi,” dan Tyo duduk sambil memandangi petak-petak sawah yang belum juga dipanen.

Cahaya sore membias, miringnya bisa membuat bulir padi memantulkan cahaya sehingga desa terasa jadi kejinggaan. Atau, semua itu cuma bayangan. Tyo meragukan apa yang pernah ia bayangkan tentang Mbah Nem. Memang, kematian jadi lebih mirip pelajaran untuk mereka yang hidup.

Sebuah kanvas berdiri menghadap Bapak, sebuah kaki-tiga menyangganya. Tangan Bapak terus menggurat-guratkan pensil. Kacamatanya turun dan beristirahat di cuping hidungnya. Wajahnya yang mulai bergurat karena usia agak mendongak, tanda kalau ia sedang berpikir keras. Jari-jarinya menarik garis satu-satu hingga terangkai semacam kerangka. Tyo sempat mengira kanvas itu masih kosong karena guratan pensil itu begitu tipis. Itu sketsa awal wajah Mbah Nem.

Mereka berdua mengenal wajah tirus itu, namun Tyo meyakini bahwa apa yang dirinya pahami tentang Mbah Nem berbeda jauh dengan apa yang Bapak pandang tentangnya. Garis-garis itu bukan hanya garis-garis semata, bukan sekadar wajah. Bapak sedang mengabadikan kenangan dan bagaimana cara dirinya mengingat wajah itu. Inilah rahasia intim yang disimpan (atau disembunyikan) pelukis di dalam lukisannya sendiri. Mungkin, akan terbawa mati tanpa pernah ada yang tahu.

Dari bentuk kasarnya, Tyo menduga bahwa Bapak akan melukis wajah Mbah Nem sebatas dada. Jadi, jarik batik yang biasa dikenakan Mbah Nem tidak akan terlihat.

“Kenapa ndak gambar seluruh tubuh saja, Pak?”

“Suka-suka Bapak, lah. Bapak yang melukis, kenapa jadi kamu yang protes?” ucapnya sambil terkekeh, tak menengok sama sekali. Tyo tersenyum. Ia tahu bahwa kelak gurat pensil itu akan tertutup cat minyak atau akrilik, entah cat apa yang akan dipilih Bapak, karena bisa juga ia akan menggunakan pensil arang dan membiarkan lukisan itu berwarna hitam-putih saja.

Apa pun hasilnya, wajah Mbah Nem tak sehitam-putih yang Tyo duga. Mbah Nem adalah sketsa tipis di atas kanvas kehidupan keluarga ini. Segala yang digambarnya telah tersembunyi oleh cat warna-warni. Dalam waktu yang tak terlalu lama, namanya dan semua yang pernah Mbah Nem berikan pada keluarga ini akan hilang, tercatat hanya sebagai nama yang dilupakan artinya. Itukah?

Sudah sejak jam dua siang tadi, Bapak dan Tyo berada di belakang rumah Bulik Ning yang menghadap sawah. Berdua. Mereka lebih banyak diam. Selain Bapak sibuk dengan rencana lukisannya, pikiran Tyo sedang lari ke mana-mana. Nun, di suatu jarak yang jauh, bisa ditemukan sungai kecil. Mbah Nem pernah mengajak Tyo dan sepupu-sepupu menjebak ikan di sana. Pohon-pohon kelapa mengecil di cakrawala.

Tiba-tiba Bapak berhenti, memalingkan wajah dari sketsanya, mengangkat kedua matanya untuk melemparkan pandangan ke suatu titik nun jauh di selatan, ke arah cakrawala yang di sana mengalir sungai kecil itu, seperti sedang membayangkan sesuatu.

“Pak,” panggil Tyo, dan Bapak menengok. Tyo menatap matanya, “mengapa tidak pernah ada yang bilang kalau Mbah Nem adalah ....”

Sunyi sebentar, membuat Tyo khawatir salah ucap. Bapak melepaskan kaca mata, dan membiarkan rantai menggantungnya di depan dada. Lalu, ia menatap balik Tyo.

“Pembantu?”

“Iya.”

Bapak tersenyum, “Sederhana, Yo. Karena memang tidak ada dari kita yang melihat Mbah Nem dengan cara itu. Buat Bapak dan saudara-saudara, Mbah Nem adalah Ibu.”

“Eyang Kartinah?”

“Eyang Kartinah adalah ibu pertama dan Mbah Nem adalah ibu kedua,” Bapak melengkapinya. Tyo membayangkan sebuah kerumitan garis yang sudah membawa Mbah Nem masuk jauh ke dalam keluarga ini, dan membuatnya terlibat begitu intim tanpa ikatan darah. “Tanpa Mbah Nem, Bapak tidak akan pernah jadi pelukis. Eyang Kartinah sedikit tidak setuju waktu Bapak bilang mau jadi pelukis. Mungkin, karena ia pikir jadi karyawan lebih aman.”

Tyo mengangguk. Jalan hidup Bapak memang berisiko, jalan hidup tanpa gaji tetap. Kocaknya, dirinya sendiri juga memilih jalan serupa. Dari cerita Bapak, Tyo baru mengetahui bahwa Mbah Nem adalah satu-satunya orang yang mendukung Bapak melukis. Mbah Nem kerap sembunyi-sembunyi membelikan Bapak kanvas dan, kata Bapak, Mbah Nem pernah bilang: Teruskan saja dulu. Kalau ini bukan jalanmu, kelak kamu akan tahu. Kalaupun ini benar jalanmu, kamu juga akan tahu.

“Padahal waktu itu zaman susah, kanvas mahal. Untuk melukis, Bapak seringnya pakai kain bekas karung terigu. Dapat kertas leces murah saja sudah lumayan,” ujar Bapak, “tapi Mbah Nem bisa-bisanya menyisakan uang untuk beli kanvas sekali-sekali.”

“Waktu itu Bapak umur berapa?”

“Mungkin, 14 atau 15 tahun. Sekitar awal tahun 70-an. Sebelum pindah ke Surabaya. Sudah tahu sengsara itu apa. Jadinya pengin bantu cari uang. Dan, yang Bapak bisa waktu itu cuma menggambar dan melukis,” lanjut Bapak. “Tapi, tetap harus belajar dulu, bukan? Nah, Mbah Nem yang kerja keras membiayainya.”

“Lalu?”

“Mbah Nem mati-matian mendukungnya. Untunglah, meski hasilnya belum banyak, ada saja yang memesan lukisan dari Bapak. Lukisan foto, ilustrasi buku, majalah, sampai poster film,” Bapak menerawang. “Sampai sekarang. Seperti yang kamu lihat ini.”

Bapak sekarang pelukis yang namanya cukup terpandang. Harga lukisannya bisa puluhan juta, dari sanalah biaya-biaya Tyo berasal. Jadi, Tyo bisa membayangkan akan seperti apa jadinya kalau Mbah Nem tidak mendukungnya waktu itu. Mungkin Bapak tidak akan bisa membiayainya. Atau bisa? Entahlah, sulit untuk berandai-andai. Yang jelas, Bapak menjadi dirinya saat ini karena peran Mbah Nem.

Begitu pun dengan Pakde Satya, Paklik Wid, dan Bulik Ning. Pakde Satya saat ini memiliki beberapa toko batik di Solo. Yang kuliah hanya Paklik Wid dan Bulik Ning karena Mbah Nem bisa mendorong tiga anak pertama untuk segera bekerja sehingga bisa ikut membiayai dua adik bungsunya. Paklik Wid sudah jadi dekan di sebuah universitas swasta di Surabaya dan Bulik Ning menyusulnya dengan jadi dosen yang mengajar di mana-mana di Kota Solo.

Mbah Nem jadi seperti prototipe kerja keras, garis-garis sketsa di atas kanvas kosong yang menjadi panduan hingga anak-anaknya bisa mewarnai hidup dengan cara lebih mudah meski dirinya sendiri yang kemudian harus mengorbankan diri. Semacam martir? Apakah benar begini? Tyo tidak bisa memastikan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Zaman susah. Bapak dan Bulik Ning menyebut itu. Tak ketinggalan Pakde Satya dan Paklik Wid. Waktu kecil, Tyo juga pernah merasa keluarganya kesusahan uang, namun zaman susah yang mereka maksud sepertinya lebih dari itu.

“Mulai masuk tahun 60-an, situasi berat untuk semua orang, Yo. Satu-satunya cara untuk keluar dari kesulitan adalah terbiasa hidup sulit,” paparnya lagi. “Itulah pelajaran paling berharga yang diberikan Mbah Nem: Melatih mulut untuk tidak mengeluh.”

Tyo menarik udara sawah yang harum. Udara ini yang mungkin sedang diabadikan Bapak lewat lukisan wajah Mbah Nem. Kerut-kemerut yang menggaris di wajahnya adalah jalan-jalan yang pernah ia tempuh. Tyo ingin bisa melihat jalan-jalan itu. Sayang, lusa ia sudah harus pulang ke Jakarta, padahal banyak sekali yang ingin ia lakukan di Solo.

Pagi ini adalah hari terakhir Tyo berada di Solo. Besok, Tyo harus kembali ke Jakarta. Semua keluarga sudah pulang ke rumah masing-masing. Bapak terus menyelam ke dalam lukisannya, tidak bisa disela. Sepertinya, ia hendak menyelesaikan lukisan itu cepat-cepat. Upacara pemakaman Mbah Nem baru saja lewat. Sayangnya, Mbah Nem malah tumbuh jadi misteri. Anak-anak Bulik Ning—sepupunya—sudah kembali kuliah, dan Bulik Ning hari ini tidak mengajar.

Tyo tak mau menghamburkan sisa waktu yang sedikit ini. Ia mau melihat seperti apa rumah Prawit yang selalu dikait-kaitkan dengan zaman susah.

Dengan mobil milik Pakde Satya, Tyo mengajak Bulik Ning untuk mampir ke rumah lama, ditemani oleh Dewi dan dua anaknya. Tentu saja anak-anak senang, setelah beberapa hari ini mereka menyaksikan adegan-adegan yang menekan, pelesiran ke kota Solo bisa jadi pengalihan.

Mereka sempat mampir ke pasar Klewer, Dewi membeli beberapa potong batik sebelum mereka menuju sebuah kawasan tempat Bulik Ning dan saudara-saudaranya dibesarkan. Mobil berbelok memasuki sebuah jalan.

“Wilayah ini sudah berubah sekali,” desis Bulik Ning. “Dulu, masih ada sawah di sini. Rumah-rumahnya belum sebagus ini.”

Sekarang, dari apa yang Tyo lihat, Jalan Prawit penuh berisi rumah dan toko. “Rumahnya yang mana, Bulik?”

“Jalan terus sedikit,” jawabnya. “Nanti, kita akan ketemu sekolah dasar. Rumah Prawit tepat di seberangnya.”

Tak makan waktu lama, bangunan sekolah dasar itu muncul. SD Nusukan. Ramai. Sekilas, Tyo melihat ada anak-anak yang sedang berkumpul bersama gurunya, mungkin sedang pelajaran olahraga. Ezra memandangi mereka, mungkin ia kangen sekolah, dan teman-temannya. Ah, semoga ia bisa mengejar materi yang tertinggal karena harus absen seminggu.

Tyo memarkirkan mobil sekitar lima meter dari rumah Prawit. Dewi, Ezra dan Kiel juga turun, tapi berjalan ke arah yang berbeda. Mereka berjalan ke depan sekolah yang ramai dengan pedagang makanan dan mainan. Sementara, Tyo dan Bulik Ning berdiri memandangi sebuah rumah. Jadi, ini rumahnya. Rumah biasa berlantai satu dengan dinding berlapis cat warna hijau.

“Bentuknya dulu bukan begini. Ini bagus sekali,” gumam Bulik. “Waktu pindah ke sini Bulik masih bayi, dan karena besar di sini, masih ingat bentuknya.”

“Sebelum di sini, keluarga tinggal di mana, Bulik?”

“Kata Bapakmu, di Ngemplak. Pinggiran kota Solo. Bulik sama sekali tidak tahu. Bapakmu, Pakde, dan Paklikmu yang pasti ingat. Kapan-kapan kita ke sana. Bulik juga jadi pengin lihat.”

Tyo memandang lagi rumah itu, sebagian besar halaman depannya sudah tertutup semen dan konblok, namun tampaklah sebatang pohon besar di belakangnya, menaungi rumah itu. Ukuran pohon itu luar biasa besar, tingginya mungkin dua kali tinggi rumah dari lantai ke atap dengan daun yang seukuran telapak tangan berbentuk lonjong-lonjong.

Bulik Ning melanjutkan, “Dulu, ada dua pohon sejenis itu di belakang,” ia menunjuk. “Mungkin, yang satu lagi mati. Halamannya juga lebih luas, batasnya dengan rumah tetangga cuma patok-patok atau pagar bambu pendek, sebagus-bagusnya pagar tanaman. Di sebelah sana ada lahan yang banyak pohon pepaya dan pohon pisang.”

Bulik memaksudkan sisi kanan rumah itu. Tyo melihat bahwa bagian yang ditunjuk Bulik sudah jadi rumah lain, dibatasi pagar tembok, alias lahan di bawah rumah ini pernah dibagi dua oleh pemiliknya dan dijual terpisah. Mobil-mobil berderet parkir di halamannya.

“Mbah Nem jual pecel di mana?”

“Di situ,” tunjuk Bulik Ning ke sisi kiri yang berbatasan dengan pagar rumah. “Kalau Mbah Nem sedang jualan, Bulik selalu duduk dekat-dekat, sambil main boneka.”

Tyo memandang ke sana dan melihat bahwa tepat di sisi seberangnya adalah gerbang masuk ke areal sekolah dasar yang terdengar darinya suara dengung. Masih jam sekolah dan suara dengung itu mungkin berasal dari kumpulan murid-murid yang mengobrol di dalam ruang-ruang kelas.

Sementara Dewi, Ezra dan Kiel sudah sibuk memilih-milih jajanan di depan SD Nusukan, Tyo dan Bulik Ning berjalan masuk ke dalam gang yang terletak tepat di samping rumah, melewati gapura beton bercat merah-putih—bekas perayaan kemerdekaan tahun lalu.

“Dulu, pekarangan rumah Prawit luas sekali, bukan cuma dua pohon yang tadi Bulik bilang,” lanjutnya. “Di pojok halaman depan ini juga ada pohon jambu sukun, pohonnya juga besar. Sering dipanjati anak-anak, buahnya tak pernah berhenti.

Mereka terus berjalan ke dalam gang.

“Setelah ini akan ada sumur,” tebak Bulik. “Kalau belum diurug sama yang punya.”

Dan benarlah, tampak sebuah sumur di sisi pagar rumah kedua.

“Ini batas belakang rumah Prawit, dulu bukan beton begini, cuma pagar tanaman teh-tehan. Semua sudah berubah,” desis Bulik. Tyo, memandang ke arah muka gang. Dari tempatnya berdiri sampai ujung depan rumah Prawit jaraknya lumayan. Halaman rumah itu memang luas. Nostalgia Bulik berlanjut, “Dulu, di rumah ini ada anak yang suka manjat pohon jambu. Bulik lupa namanya.” Bulik menunjuk satu rumah selewat batas pekarangan rumah Prawit.

Mereka terus berjalan menyusur pagar samping rumah. Gang tempat mereka berjalan tertutup campuran beton, cuma bisa dilewati dua sepeda motor bersimpangan. Mereka berjalan balik, hendak kembali ke arah jalan utama.

Seorang laki-laki yang tampaknya lebih tua dari Bulik duduk di depan rumah yang tadi ditunjuk Bulik. Kulitnya kuning cenderung putih, lebih putih dari Bulik Ning, jadinya terlihat pucat seperti tak pernah kena sinar matahari. Posturnya tak terlalu tinggi. Mungkin, tingginya sama dengan Bulik. Laki-laki tua langsung menyapa Bulik, mukanya seperti menaruh kecurigaan.

“Cari siapa, Bu?”

“Cuma jalan-jalan saja, Pak,” balas Bulik. “Dulu, saya tinggal di rumah itu.”

Ia menengok, lalu bertanya, “Oh, saya tinggal di sini dari lahir. Ibu kapan tinggal di sini?”

“Sudah lama sekali, Pak. Lebih dari 30 tahun lalu.”

Laki-laki tua itu mendadak mengernyitkan alis dan menyelidik wajah Bulik, “Sebelum dibeli sama Koh Bung San?”

“Lho? Bapak tahu?”

“Ibu siapa?” ia malah balik bertanya.

“Saya Ning.”

“Siapanya Satya?”

Bulik Ning agak terkesiap, “Saya adiknya.”

“Owalah! Saya Slamet.”

“Slamet?”

“Iya. Saya yang sering manjat pohon sama Satya.”

“Owalah,” seru balik Bulik sambil menatap Tyo seakan berkata ‘langsung ada buktinya’ kemudian bergegas mendekati Pak Slamet sambil menjulurkan kedua tangannya yang mengatup—cara khas orang jawa bersalaman antara laki-laki dan perempuan, “Apa kabar Mas Slamet?”

“Begini-begini saja,” jawabnya. Wajahnya malah tampak lemas seperti hendak mengeluh, “Yah, namanya sudah tua. Mulai banyak penyakitnya.”

Bulik Ning tak menjawabnya, mungkin karena bingung juga harus menjawab apa. Untunglah, Pak Slamet itu langsung mengubah ekspresi wajahnya, “Dulu, ayam saya yang masuk ke halaman,” ia terkekeh. “Ingat?”

Bulik Ning sesaat membelalak sebelum tawanya meledak, “Ingat! Tentu saja ingat.”

Masa Jepang sudah tak ada bekasnya, tahun ‘66 juga sudah lewat lewat, tapi kemiskinannya tertinggal. Daging adalah kemewahan. Kalau Ibu membawa daging sisa dari tempat bekerjanya di sebuah Hotel Sahid, esoknya daging itu akan ditukar beras di pasar oleh Mbah Nem. Beras lebih penting dari daging. Demikian tutur Bulik Ning mengenang masa-masa antara akhir tahun 60-an hingga mendekati pertengahan 70-an.

“Ndak pernah makan daging sama sekali, Bulik?” tanya Tyo. “Hampir ndak pernah, Yo,” jawabnya lalu merenung-renung sambil tersenyum-senyum, seperti teringat sesuatu dan langsung meralat, “Pernah. Pernah satu kali Bulik mikir kalau akan makan daging, tapi batal. Mbah Nem keburu kesurupan.”

“Kesurupan?”

Bulik Ning terbahak-bahak kemudian memulai ceritanya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Bulik Ning yang waktu itu masih SD terkaget-kaget mendengar Mbah Nem berteriak-teriak di pelataran, suaranya persis orang kesetanan. Bulik Ning langsung mencelat ke halaman dan menemukan Mbah Nem berlarian macam kesurupan. Tangannya bergerak-gerak aneh ke sana kemari. Bulik Ning panik dan segera berlari ke belakang menuju Paklik Wid yang waktu itu sedang belajar. Paklik Wid memang selalu belajar.

“Mas! Mbok Nem kesurupan!”

“Hush! Jangan sembarangan!”

“Beneran, Mas! Masa ndak dengar?”

Paklik Wid menajamkan telinga dan suara Mbah Nem berteriak-teriak terdengar sampai ke belakang, membuat mereka berdua bergegas berlari ke depan. Di sana, mereka masih melihat Mbah Nem berlari serabutan, tapi bukan karena kesurupan.

Ada ayam tetangga meloncat masuk halaman dan mengajak tarung si Jago. Si Jago yang sok jagoan meladeninya dan Mbah Nem jadi wasit yang kerepotan sendiri. Ia menarik jariknya nyaris sampai ke paha sambil terus mencoba melerai si Jago dan ayam tetangga yang kelihatannya tak terlalu peduli. Hasilnya: Mbah Nem seperti sedang bersorak-sorak di tengah pertarungan dua ayam jantan beringas. Husah! Husah!

“Mas! Bagaimana ini?

Paklik Wid terbelalak sebentar, dan bukannya membantu, ia malah mulai terbahak-bahak.

“Mas!”

“Ya, sudah. Kita tonton saja,” Paklik Wid terus terbahak. “Kita lihat siapa yang menang.”

“Mas!”

Bulik Ning kesal karena Paklik Wid tak berbuat apa-apa, tapi Bulik juga tak berani membantu—khawatir kalau-kalau ayam itu malah balik menyerangnya. Jadilah mereka berdua cuma menonton adegan kacau itu dan akhirnya Bulik ikut terbahak, sementara Mbah Nem juga memutuskan untuk melipir dari arena pertarungan. Sepertinya ia sudah insyaf, percuma memisahkan dua ayam jantan yang kelewat bersemangat itu.

Kini, kedua ayam itu memelesat-lesat, saling menyambar dengan bulu di leher mengembang. Sayap mereka terbentang, berkibas-kibas. Taji saling menghunjam, dan Mbah Nem pasrah saja, jongkok di pinggiran.

Sampai, pertarungan itu berhenti dengan kemenangan telak ayam Slamet. Taji tajamnya merobek tembolok si Jago dengan hingga langsung terkapar. Di situlah Mbah Nem kembali mengambil peran. Sebelum ayam tetangga sempat menyergap si Jago lebih lanjut, Mbah Nem berlari menghalangi dengan mengayun-ayunkan sapu lidi, dan ayam Slamet terbirit-birit pergi. Dadanya membusung.

Bulik Ning sempat berpikir kalau berikutnya ia akan makan daging ayam karena si Jago akan dipotong jadi lauk. Tapi, skenario Mbah Nem ternyata beda dengan bayangannya. Mbah Nem meraih tubuh si Jago yang tergeletak berdarah-darah. Sesaat kemudian, Mbah Nem menyeru Bulik Ning yang masih keheranan tentang apa yang sedang Mbah Nem lakukan.

“Ning! Ambil benang dan jarum!

Bulik Ning kecil dan Paklik Wid berpandang-pandangan, tapi Mbah Nem kelihatan tidak sabar.

“Cepat!”

Bulik Ning langsung berlari menuju lemari belakang. Bulik pernah melihat Mbah Nem menyimpan benang dan jarum di sana, sehabis menisik rok sekolahnya yang robek karena rapuh.

Bergegas-gegas, Bulik Ning meraih keduanya dan kembali berlari ke depan. Paklik Wid sudah tidak ada, entah pergi ke mana. Dan kemudian .... Mbah Nem menjahit si jago.

Apa Mbah Nem bisa menyulap ayam jadi rok sekolah? Baru kali ini (dan akan jadi satu-satunya peristiwa yang pernah dilihat Bulik Ning), ada manusia (berakal sehat) menjahit ayam dengan benang dan jarum jahit, sementara ayam itu seharusnya bisa jadi menu makan malam. Telaten benar. Mbah Nem menarik jarum dan benang di atas luka yang merobek tembolok si Jago. Mbah Nem memang ada-ada saja, pikir Bulik waktu itu. Manusia mana yang terpikir untuk menjahit ayam?

Tak lama, Paklik Wid tergopoh-gopoh muncul dari pagar. Ternyata, ia disuruh minta obat merah pada tetangga. Ia menyerahkannya pada Mbah Nem. Bulik Ning dan Paklik Wid terus memandangi Mbah Nem yang mengoles-oleskan obat merah pelan-pelan di atas luka jahitan layaknya merawat seorang anak kecil terluka. Mbah Nem jadi dokter hewan.

Tyo terkikik mendengar cerita itu, “Si Jago selamat?”

“Selamat. Dia hidup. Bulik saja heran,” ucap Bulik sambil terkekeh. “Sejak itu, kalau lihat ayam jantan, Bulik jadi ingat si Jago,” lanjutnya. “Dan, Mbah Nem.”

Ah, perkara-perkara kecil memang efektif untuk jadi jimat pengingat, pikir Tyo sambil terus berjalan menuju depan rumah Prawit yang sudah jadi milik orang lain. Dari cerita-cerita Pak Slamet, Bulik dan Tyo mengetahui kalau rumah Prawit dibagi dua oleh pemiliknya dan sebelahnya itu kini jadi kantor perusahaan travel yang menyewakan mobil dan bus. Pantas halamannya ramai dengan mobil parkir.

Tyo meneruskan pandangannya menelusuri sisi jalan. Jalan Prawit cukup panjang, ujungnya tak terlihat dari tempat Tyo berdiri.

“Ada yang jualan pecel juga,” ucap Tyo.

“Dulu, cuma Mbah Nem yang jualan pecel di sini.”

Sederet dengan rumah Prawit, dua rumah di sisi lain gang kecil, tampaklah seorang gadis berdiri di balik sebuah meja dengan banyak mangkuk bertutup kain putih tipis. Di belakang gadis itu terlihat pintu harmonika berwarna hijau yang tertutup rapat.

“Mau coba, Bulik?”

“Boleh.”

Bulik dan Tyo berjalan ke sana. Gadis penjual pecel itu tampaknya sudah SMA, Bulik Ning sempat bertanya-tanya kepadanya dan gadis itu menjawab bahwa ia sudah semester dua di Universitas Sebelas Maret. Bulik Ning bertanya ia kuliah di fakultas apa karena Bulik juga mengajar di sana. Bulik Ning mengangguk waktu mendengar jawaban nama fakultas yang berbeda dengan tempat ia mengajar. Pantaslah, mereka tak pernah bertemu. Lalu, gadis itu juga menjelaskan kalau ia membantu ibunya berjualan pecel. Nama anak itu Kalis.

“Buatkan tiga bungkus, ya, Dik Kalis,” pesan Bulik Ning, “sama baceman1-nya, campur.”

Gadis itu mulai meracik pecel pesanan Bulik sambil bergumam-gumam, menembang pakai bahasa Jawa sepotong-sepotong, seperti ia lupa keseluruhan liriknya. Gadis periang, benak Tyo, dan Bulik Ning mengernyit menyelidik.

“Kamu belajar tembang itu dari siapa?”

“Dulu saya sering ditembangi oleh ibu saya sebelum tidur,” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh,” Bulik menatap matanya, “kamu ndak hapal, ya?”

“Saya ingat sepotong-sepotong. Tapi kalau mau, saya bisa ingat seluruhnya,” jawab gadis itu. “Dulu, kalau tidak bisa tidur, ibu saya nembang lagu ini. Ibu tahu tembang ini juga?”

Bulik sempat mengernyit lagi, seperti menyimpan keheranan, tapi langsung mengangguk-angguk. Setelah menerima bungkusan dan uang kembalian, Tyo dan Bulik berjalan kembali ke mobil, di dalamnya Dewi, dan Kiel yang sudah tertidur karena menunggu, sementara Ezra tenang saja bermain dengan telepon genggam.

“Memangnya kenapa, Bulik?” tanya Tyo sambil membuka pintu mobil.

“Dulu, Mbah Nem kalau menidurkan Bulik pakai tembang itu juga.”

“Mungkin lagu itu tenar di zamannya, Bulik. Jadi, semua orang hapal,” duga Tyo.

Tyo memandang Bulik Ning dan memaklumi kedekatannya dengan Mbah Nem. Bulik Ning-lah yang paling lama menghabiskan waktu dengan Mbah Nem, sampai akhir sisa hidupnya. Hal-hal kecil semacam itu bisa menyeret-nyeret kenangan untuk kembali teringat.

Sampai di rumah, sambil duduk di meja makan, Bulik berkata menyelidik, “Rasa pecel ini mirip sama buatannya Mbah Nem.”

“Persis, Bulik?” Tyo mengunyah pecel itu dengan perasaan enggan. Rasanya, dalam lima hari terakhir ini sudah terlalu banyak aksi pecel dalam hidupnya. Makanan ini harus dihabiskan cepat-cepat.

“Mirip sekali, walaupun tetap ada yang bikin beda,” Bulik mengunyah pelan-pelan seperti di dalam mulutnya ada alat sortir bumbu. “Baceman ini juga persis. Tingkat manisnya sama seperti buatan Mbah Nem, begitu juga racikan bumbunya.”

Lidah Bulik memang layak diandalkan kalau masalah resep masakan. Ia bisa menebak bumbu apa yang dipakai. Tyo mencomot tempe bacem dari piring dan memasukkan ke mulutnya. Bulik Ning hanya memandangi Tyo, seperti isi kepalanya tengah berada entah di mana. Tyo ingat, kecuali aroma kayu bakar, tempe bacem ini memang mirip buatan Mbah Nem.

“Apa yang bikin pecelnya Mbah Nem beda, ya?” Bulik sudah mengunyah pecel lagi, lebih pelan dari caranya tadi. Detektif pecel, Tyo menggeleng sambil tersenyum kemudian mengangkat bahu dan langsung berbalik menuju kamar depan; Dewi, Ezra, dan Kiel sepertinya sudah tidur di sana. Besok, mereka harus segera kembali ke Jakarta. Bulik masih sibuk dengan pecel, dan sekarang ia memanggil Bapak dan saudara-saudaranya, semacam mencari afirmasi.

Ia sungguh heran dengan sikap Bulik Ning pada pecel yang lama-kelamaan seperti hendak menghidupkan Mbah Nem kembali, dan pecel itu adalah mantra ajaib. Di sisi lain, Tyo juga memaklumi, mungkin ini cara Bulik Ning mengatasi kedukaan.

Bapak, Pakde Satya, Paklik Wid, dan Bulik Ning kini duduk bersama di meja makan, mungkin membahas pecel itu, atau entah apa. Walau dekat luar biasa, Bapak dan Paklik Wid yang tinggal di Surabaya, jarang-jarang berkumpul dengan dua saudaranya, pun jelas demikian sebaliknya. Sesekali terdengar suara tertawa. Sepertinya, Bulik Ning mengulang cerita pertarungan si Jago dengan ayam Slamet. Tawa mereka mengeras lagi dan dalam kepala Tyo tersimpan ide aneh. Ia tak menyampaikannya pada siapa-siapa.

Mbah Nem layak untuk mendapat penghormatan lebih dari ini. Dalam hidupnya, Mbah Nem terus mendampingi Eyang Kartinah. Seperti kata Bapak, Mbah Nem adalah ibu kedua. Mengapa makam mereka dipisahkan? Seharusnya mereka bersama. Tyo ingin memindahkan Makam Mbah Nem ke sisi Makam Eyang Kartinah.

Esoknya. Bapak, Paklik Wid, dan Bulik Ning mengantar Tyo sekeluarga ke Bandara untuk kembali ke Jakarta. Obrolan tentang bagaimana memasukkan nama Mbah Nem ke dalam pohon silsilah keluarga masih berlangsung. Rencananya memang bulan depan baru akan diputuskan tapi, toh, mulut jadi gatal kalau tidak membicarakannya. Bulik Ning tak banyak merespons, kerjanya cuma memain-mainkan telepon genggamnya saja.

“Gil, bagaimana pendapatmu?”

Bapak berbalik ke belakang, menatap Bulik secara langsung.

Tyo yang sedang mengendara mobil sempat menengok sedikit.

Bulik sepertinya tidak ngeh kalau Bapak berbicara padanya.

“Kenapa, Mas?”

“Kamu ndak dengar?” rutuk Bapak. “Dari kemarin kamu main hape terus-terusan. Jadi kayak anak zaman sekarang. Lagi ngapain kamu?”

“Nonton YouTube, Mas.”

“Tumben.”

“Iya. Aku sedang mencari tembang Jawa yang dulu suka dinyanyikan Mbah Nem.”

“Tembang yang mana?”

“Yang dipakai Mbah Nem untuk nemani aku tidur.”

Bapak mengangguk-angguk, mungkin ia juga ingat lagu itu, tapi ia kemudian bilang, “Ya, ndak akan ketemu, Gil. Lah wong, itu lagu asal-asalan karangannya Mbah Nem.”

Bulik terhenyak. “Siapa yang bilang, Mas?”

“Ya, Mbah Nem sendiri. Aku pernah tanya.”

“Mas hapal?”

Ndak sama sekali,” balas Bapak. “Harusnya kamu yang hapal, Gil. ‘Kan kamu yang selalu ditembangi lagu itu.”

Bulik Ning cuma menggeleng bingung. Mungkin ia ingin bertanya lagi, tapi mobil sudah diparkir dan mereka harus menurunkan barang-barang yang dibawa Tyo pulang. Dewi lebih banyak diam dan cuma mendengarkan karena ia juga tak terlalu paham. Ezra dan Kiel sibuk bermain robot-robotan berdua. Sepanjang menunggu keberangkatan, mereka menduga macam-macam. Semuanya cuma dugaan yang tidak jelas, malah semacam teori konspirasi.

Bagaimana bisa lagu yang dikarang Mbah Nem, yang tidak diingat anak-anaknya, malah dihapalkan oleh gadis muda asing yang jualan pecel? Bagaimana bisa ibu bocah itu mengetahui tembang yang cuma dikarang-karang Mbah Nem? Apakah Mbah Nem sempat mengajarinya?

Paklik Wid cuma bilang, “Kalau anak itu sekarang sedang di awal kuliah, bisa jadi umur ibunya tak jauh-jauh dari kita. Mungkin, ibu anak itu pernah membeli pecel Mbah Nem. Kita tahu sendirilah kalau Mbah Nem suka nembang di mana-mana.” Tyo rasanya ingin kembali ke Prawit dan menanyakannya, tapi suara seorang perempuan telah bergema-gema memanggilnya untuk segera masuk pesawat. Tyo segera menyerahkan kunci mobil kepada Paklik Wid yang akan membawa Bapak dan Bulik Ning pulang. Hati Tyo terus bertanya-tanya.

Apakah ini cuma kebetulan?

_

 

1 Sajian panganan (tahu atau tempe) dari daerah Jawa Tengah, yang bercitarasa manis dengan bumbu khas gula merah.

Baca Juga: Rahasia Salinem - BAB 2

Baca Juga: Rahasia Salinem - BAB 1

Baca Juga: Rahasia Salinem - PROLOG

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya