Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?

"Rasanya enak banget, mau meninggal."

Belakangan ini, fenomena menjamurnya content creator di media sosial bisa dibilang sangat masif. Tidak dapat dipungkuri bahwa peran media sosial sangat besar di sini. Siapa pun bisa menjadi content creator, yang penting bisa memiliki akun, berapa pun jumlah pengikutnya.

Ditambah lagi, kini akun dengan jumlah pengikut yang sedikit pun bisa viral dan mendapat jumlah views yang besar secara tiba-tiba. Jalurnya beragam, bisa melalui Instagram dengan reels-nya atau TikTok dengan For Your Page-nya. 

Fenomena tersebut merambah ke banyak variasi konten, termasuk konten review makanan. Baik itu review makanan kemasan hingga rekomendasi tempat makan.

Menjamurnya food influencer ini pun diimbangi dengan banyaknya audiens yang mencari konten kuliner. Namun, hal tersebut membuat kami bertanya-tanya, apakah semua orang layak menjadi food influencer? Kira-kira apa yang membuat para penonton percaya atau tidak percaya dengan suatu review kuliner?

Dari situlah, IDN Times membuat survei untuk mencari tahu pandangan masyarakat tentang kelayakan menjadi seorang food influencer. Survei ini melibatkan 118 responden di beberapa provinsi di Indonesia dengan rentang usia <20 tahun hingga >35 tahun.

Selengkapnya, untuk lebih memahami dan mendapatkan sudut pandang baru terkait kelayakan food influencer, berikut kami jabarkan hasil surveinya di bawah ini. Simak baik-baik, ya!

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Grafis survei kelayakan food influencer. Hasil persentasi yang ditampilkan merupakan perolehan tertinggi (IDN Times/Aditya Pratama)

1. Platform media sosial yang paling sering digunakan untuk melihat konten kuliner

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Infografis survei kelayakan food influencer (IDN Times/Aditya Pratama)

Penggunaan media sosial erat kaitannya dengan penyebaran konten oleh food influencer.  Dari 118 orang yang mengisi survei kami, sekitar 40,7 persen responden yang sering menjadikan konten food influencer sebagai rekomendasi kuliner. Sedangkan, sekitar 40,7 persen responden menjawab kadang-kadang, dan hanya 11 persen lainnya jarang menjadikan konten food influencer sebagai rekomendasi kuliner. 

Saat ditanya platform media sosial apa yang paling sering dilihat untuk membuka konten kuliner, Instagram dan TikTok menjadi dua aplikasi yang mendominasi. Instagram sebesar 81,4 persen, lalu diikuti dengan TikTok sebesar 52,5 persen. Sementara itu, persentase responden yang membuka konten kuliner sebagai rekomendasi di YouTube hanya sebesar 13,5 persen, lalu disusul Twitter sebanyak 10,2 persen saja. 

Sebagai salah satu pengguna media sosial yang sering melihat konten kuliner, Aditya Restu Dewangga (26 tahun), memilih TikTok dan Instagram sebagai media sosial andalannya. "TikTok dan Instagram adalah dua platform yang membuatku tahu tempat baru. YouTube itu iya juga, sih cuma gak sesering dua itu," kata Restu. 

Faiz Nasrillah (35 tahun) menjadi salah satu responden yang tidak pernah menjadikan konten food influencer sebagai "kiblat" untuk kulineran. Ia mengaku kapok dengan review kuliner yang tak sesuai dengan realitanya. "Menurutku, banyak konten yang terlalu lebay dan aku merasa dibohongi dengan diksi-diksi rasa yang mereka ciptakan," ujar Faiz. 

Dari sisi food influencer sendiri, Queena Vinanda Arrachim (26 tahun) yang memiliki akun @quhiiin di TikTok, merasa engagement di TikTok juga lebih besar. "Di Instagram dulu sempat high demand, tapi sekarang drop karena satu dan lain hal. Jadi aku sekarang (lebih) banyak di TikTok," tutur food influencer dengan 629 ribu pengikut ini. 

2. Konten yang disukai audiens

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Ilustrasi media sosial di smartphone (IDN Times/Fina Wahibatun Nisa)

Setiap food influencer tentu memiliki variasi konten yang berbeda. Beda segmentasi, tentu beda pula cara menyampaikannya.

Amimatun Hasanah (25 tahun), seorang influencer asal Malang yang biasa dikenal dengan Mima Mimndut ini menyatakan kebanyakan pengikutnya berasal dari anak muda dan ibu-ibu. Sebagian besar perempuan dengan jumlah 85 persen dari total pengikutnya di TikTok. Ia menambahkan bahwa pengikutnya suka saat melihatnya melahap makanan yang ia review. 

Sedangkan, untuk Queena, pengikutnya banyak yang menyukainya saat ia mengambil gambar makanan secara detail dan caranya melahap makanan. "Orang-orang lebih suka mukbang dan ASMR, itu lebih tinggi engagement-nya," katanya. 

Setelah kami ulik lebih lanjut, sebesar 89,8 persen responden suka dengan video dengan voice over dan deskripsi, 30,5 persen responden suka dengan video tanpa voice over dan deskripsi, serta 18,6 persen suka dengan foto dengan deskrispi. 

Aditya juga mengaku lebih senang melihat konten kuliner berupa video dengan voice over  daripada yang sekadar foto dan lagu. "Informasinya menurutku kurang sampai aja kalau foto dan lagu, kalau pakai voice over lebih tempting," ujarnya. 

Berbeda dengan Fatma Indira (27 tahun), sebagai salah satu penonton konten kuliner, ia lebih suka konten foto dan deskripsi. "Lebih sat set aja menurutku, karena aku gak perlu tonton videonya sampai habis."

3. Kuliner legendaris dan hidden gem menjadi daya tarik tersendiri

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Infografis hasil survei food influencer (IDN Times/Aditya Pratama)

Dari sekian banyak variasi tempat makan, ternyata kuliner legendaris dan tempat makan hidden gem menempati urutan pertama dan kedua. Masing-masing sebesar 66,1 persen dan 64,4 persen. 

Kemudian, dilanjutkan dengan coffee shop sebesar 49,2 persen, disusul dengan kafe sebesar 48,3 persen, dan restoran sebanyak 34,7 persen. Di tempat terakhir, ada hotel hanya 6,8 persen saja. 

Seorang responden, Hamdiki Ainur Roziqi (26 tahun) mengatakan lebih suka kuliner legendaris, tempat makan hidden gem, dan street food. Dari ketiganya, ia merasa bisa mengenali kota yang ia datangi. "(Dari situ) aku jadi lebih mengenal taste orang-orang di kota itu."

Untuk bujetnya, hasil survei menyatakan sebanyak 20,3 persen responden mengeluarkan bujet kurang dari Rp50 ribu untuk kulineran, lalu sebanyak 66,9 persen menyiapkan bujet berkisar Rp50 ribu-Rp200 ribu. Sebanyak 11 persen lainnya mengalokasikan bujet sebesar Rp200 ribu-Rp500 ribu dan sisanya sebanyak 1,7 persen rela mengeluarkan lebih dari Rp500 ribu untuk sekali kulineran.

Soal bujet, Hamdiki dan Aditya memiliki opini yang berbeda. Hamdiki akan mengeluarkan bujet sesuai mood-nya saat itu. Kalau ingin yang estetik, ia rela mengeluarkan bujet lebih, tetapi kadang ia juga mencari tempat makan yang on budget atau tak terlalu mahal

Sedangkan, untuk Aditya, ia rela mengeluarkan bujet lebih untuk makanan dan tidak terlalu membatasi. Menurutnya, makanan adalah sebuah hal yang membuatnya bahagia. "Karena makanan adalah kebahagiaan, makanan adalah kenikmatan, makanan adalah kehidupan," ujar pria yang berdomisili Surabaya ini. 

4. Rasa dan harga masih tetap menjadi faktor utama saat memilih tempat makan

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Ilustrasi makan di restoran (IDN Times/Fina Wahibatun Nisa)

Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih tempat makan. Di antaranya rasa makanan, harga, tempat, hingga pilihan menu. 

Berdasarkan hasil survei kami, rasa makanan yang nikmat menjadi faktor nomor satu saat menentukan tempat makan, yaitu sebesar 82,2 persen. Disusul dengan harga yang terjangkau sebesar 61,9 persen, lalu desain tempat yang estetik sebesar 56,8 persen. Kemudian, menu yang berbeda sebesar 50 persen dan sedang viral di media sosial sebesar 31,4 persen. 

Fatma pun setuju kalau rasa menjadi faktor utama dalam memilih tempat makan. Menurutnya, percuma jika sebuah tempat memiliki interior yang estetik dan viral, tapi tidak dibarengi dengan rasa yang nikmat. Jika disuruh memilih, ia lebih rela makan di tempat yang kurang estetik, tapi rasanya menggoyang lidah. 

Berbeda dengan Hifzil Reyhan (29 tahun), yang suka dengan tempat makan yang sedang viral. Ia sering merasa "FOMO" atau merasa tertinggal jika tidak mengikuti tempat makan yang sedang tren di Instagram atau TikTok. "Seru aja, sih ngikutin orang-orang," tambah pria kelahiran 1993 ini. 

5. Ekspektasi audiens saat datang tempat yang telah diulas para food influencer

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Ilustrasi makan di kafe bersama teman-teman (IDN Times/Fina Wahibatun Nisa)

Saat membuat konten kuliner untuk ditampilkan di media sosial, seorang food influencer pasti menonjolkan hal-hal yang positif untuk menunjang kontennya. Tentu saja ia juga akan menyunting foto atau video buatannya, supaya terlihat lebih estetik sekaligus menggugah selera. 

Dari situlah, ada ekspektasi yang muncul dari audiens saat menonton konten di media sosial. Bicara soal ekspektasi, sebanyak 61,9 persen responden mengaku netral dengan konten kuliner yang mereka lihat. Disusul dengan 34,7 persen responden merasa memiliki ekspektasi lebih setelah melihat konten yang diunggah para food influencer. 

Aditya dan Hamdiki sama-sama memiliki ekspektasi yang tinggi setelah melihat konten di media sosial, terutama jika review-nya bagus. "Ketika aku sudah punya niat ke tempat makan tersebut, aku akan memasang ekspektasi yang tinggi, jadi bisa dibilang aku tidak siap terluka," ungkap Aditya. 

Berbeda dengan Fatma dan Hifzil. Keduanya sama-sama netral terkait ekspektasi setelah melihat konten dari food influencer. "Aku, sih fair aja, karena selera orang beda-beda. Mungkin menurut mereka enak, menurut orang lain biasa aja," ucap Fatma. 

Baca Juga: [LONGFORM] Antusiasme Bukber Ramadan Tahun Ini, Masih Excited Gak Ya?

6. Reaksi audiens saat kecewa dengan realita yang mereka hadapi

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Ilustrasi food influencer (IDN Times/Aditya Pratama)

Para responden memiliki reaksi berbeda saat realita yang mereka hadapi dengan ekspektasi yang mereka pasang setelah melihat konten dari food influencer. Terutama jika tak sesuai dengan review. 

Ada yang tidak melakukan apa-apa, ada yang langsung pergi, bahkan memprotes influencer tentang ulasannya. Ada pula yang tetap ngonten karena tempatnya bagus, hingga mengatakan kepada yang lainnya bahwa review-nya kurang sesuai. 

Mima Mimndut mengembalikan hal tersebut kepada selera masing-masing. Selama membuat konten, ia mengaku selalu mencoba jujur dengan apa yang ia rasakan.

Apa yang menurutnya enak, belum tentu menurut orang lain enak. Kalau harganya mahal, ia juga berusaha mengatakannya dalam video. Bahkan, perempuan yang juga berprofesi sebagai penyiar radio ini pernah mengarsipkan video tempat makan yang tak sesuai dengan apa yang ia rasakan.

"Aku selalu kasih terms and condition di awal dan memberikan feedback kalau kurang. Namun, kalau tetap gak berkembang, ya aku arsip saja, karena itu juga menyangkut kredibilitasku," ujar perempuan yang berdomisili Malang ini. 

Hal yang sama juga dilakukan Queena. Ia mengembalikan semuanya kepada para pengikutnya, karena menurutnya warganet sudah bisa membedakan mana yang jujur dan tidak. "Tugas kita (food influencer) adalah membuat konten sebaiknya mungkin, feedback-nya ya kata apa netizen. Kalau mereka suka Alhamdulillah, kalau tidak ya sudah," tambahnya. 

Perempuan kelahiran 1997 ini juga sedikit memberikan keluh kesahnya sebagai food influencer. Terkadang, pihak restoran akan menyajikan makanan yang "berbeda" kepadanya, baik itu dari segi rasa atau porsi. Itulah mengapa ia kerap meminta kepada kliennya untuk menghidangkan makanan yang sama seperti biasanya, tidak lebih dan tidak kurang. 

7. Reaksi audiens saat puas dengan rekomendasi food influencer

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Infografis survei kelayakan food influencer (IDN Times/Aditya Pratama)

Tak melulu negatif, banyak juga respons positif atas konten kuliner yang diunggah para food influencer. Misalnya yang dialami Hamdiki. Ia mengaku pernah puas setelah menjadikan konten food influencer sebagai acuan kulinernya. 

Ia pernah mendatangi sebuah tempat makan yang menyajikan sate buntel di Malang dan berekspektasi tinggi dengan rasanya. Ternyata, apa yang ia rasakan jauh melebih ekspektasinya. "Yang aku coba itu jujur enak banget, sih," ucap pria yang pria lulusan Universitas Brawijaya ini. 

Mima Mimndut turut membagikan pengalamannya saat pengikutnya puas dengan review-nya. Ia pernah merekomendasikan sebuah depot dan langsung laris setelahnya.

Ada juga momen di mana ia mengunggah video bakso goreng. Tak lama berselang, besoknya bakso goreng yang ia makan langsung sold out dan tutup lebih awal saking ramainya.

"Bahkan orang-orang banyak yang nge-tag aku dan tahu hashtag-ku yang #Rekomendut," tuturnya dengan senang. 

8. Apakah food influencer harus paham kuliner?

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Ilustrasi para food influencer mengulas makanan (IDN Times/Dewi Suci)

Pertanyaan yang paling di-highlight dalam survei kali ini adalah apakah food influencer harus paham kuliner. Jawabannya beragam. Sebanyak 83,1 persen responden menjawab food influencer harus paham akan hal tersebut, lalu 14,4 persen responden menjawab netral, dan 2,5 persen orang menjawab tidak harus. 

Saat ditanya apakah food influencer harus paham soal kuliner, sebagian besar narasumber kami mengatakan iya. Queena merasa seorang food influencer harus menguasai itu. Bila setiap content creator bisa mengulas makanan lebih spesifik, hasilnya akan lebih baik dan memberikan taste tersendiri ke dalam videonya. 

Perempuan yang mulai menjadi content creator sejak 2020 ini sering memerhatikan banyak konten. Menurut dia bisa terlihat sebenarnya seberapa paham seorang food influencer dengan konten mereka, ada yang detail dan tidak. 

Itulah mengapa, Queena selalu mengusahakan lebih deskriptif dan detail agar pengikutnya paham dengan yang ia lakukan, sehingga durasi videonya bisa lama di atas dua menit.

Paham tentang kuliner itu bisa dari mana saja. Bagi Queena, pengalaman menjadi salah satu hal yang ia andalkan. "Pengalamanku ada karena aku sering makan, jadi aku bisa tahu dan membedakan."

Hal yang sama juga diungkapkan Aditya. Seorang food influencer harus paham dengan apa yang ia makan. Kalau tidak paham, deskripsinya hanya akan bilang enak saja, tidak bisa review lebih dalam tentang makanannya.

Menurut Hamdiki, satu hal yang perlu dimiliki seorang food influencer adalah genuity-nya. Ia berharap konten kuliner sekarang tak melulu promosi, tapi juga berani mengkritik dan itu tidak masalah. 

Sedangkan, bagi Mima Mimndut, ia bersikap netral. Semuanya tergantung dengan tipe konten seorang food influencer. Kalau dia memang menonjolkan makanannya, berarti ia harus paham dengan makanannya, seperti aroma, tekstur, hingga bahannya. Kalau lebih ke tempatnya, tak perlu yang detail, bisa menonjolkan poin-poinnya aja.

9. Food influencer yang dipercayai review-nya

Apakah Semua Orang Layak Menjadi Food Influencer?Potret Ria SW (instagram.com/riasukmawijaya)

Berbagai nama besar disebut saat kami bertanya siapa food influencer yang dipercayai review-nya. Di antaranya Ria SW, Nex Carlos, Koko Buncit, Tanboy Kun, dan Eatandtreats. Alasannya pun beragam. 

Hamdiki dan Aditya sama-sama suka melihat konten Ria SW. Menurut Hamdiki, Ria SW bisa mendeskripsikan makanan dengan lebih detail di tengah hadirnya para food influencer baru. Ia menilai para food influencer baru seringkali tak memerhatikan detail. "Food influencer sekarang terlalu general, bilangnya cuma enak banget, and I need more than that," tambahnya.

Aditya bercerita pernah mencicipi beberapa makanan yang direkomendasikan Ria SW. Semua yang pernah ia coba bercita rasa sedap dan nyaman di lidah. Hal tersebut membuat kepercayaannya jadi meningkat tajam. 

Berbeda dengan Fatma yang cenderung percaya dengan food influencer legendaris, seperti Almarhum Bondan Winarno. Menurutnya, Pak Bondan merupakan salah satu food influencer paling ikonik yang pernah ada. Maknyus!

Nah, itu dia hasil survei IDN Times tentang kelayakan menjadi seorang food influencer yang mulai menjamur di berbagai platform media sosial. Kamu sendiri punya opini berbeda gak terkait food influencer, gak?

Kalau ada, coba ceritakan pendapatmu di kolom komentar, ya!

Baca Juga: [LONGFORM] Tren Wisata Viral: Sekadar Konten atau Beneran Bikin Happy?

yummy-banner

Topik:

  • Dewi Suci Rahayu

Berita Terkini Lainnya