Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Cara Tubuh Mengirim Sinyal bahwa Kamu Tidak Bahagia

Ilustrasi seseorang mengalami sakit kepala (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Pernah gak sih kamu merasa capek terus padahal tidur cukup? Atau tiba-tiba sering sakit kepala tanpa alasan jelas? Bisa jadi itu bukan sekadar kelelahan fisik—tapi sinyal dari tubuh bahwa kamu sedang tidak bahagia.

Tubuh kita punya cara unik buat “berbicara” saat ada yang salah secara emosional. Sayangnya, sinyal-sinyal ini sering diabaikan karena terlihat biasa. Yuk, kenali 7 cara tubuh memberi tanda bahwa ada yang gak beres secara mental dan emosional. Baca sampai habis, ya—bisa jadi kamu sedang mengalami salah satunya tanpa sadar!

1. Gangguan tidur (insomnia atau tidur berlebihan)

Ilustrasi seseorang mengalami gangguan tidur (pexels.com/cottonbro studio)

Stres emosional dapat secara signifikan mengganggu pola tidur seseorang. Menurut American Psychological Association (APA), terdapat siklus antara stres dan kurang tidur, di mana stres menyebabkan gangguan tidur dan kurang tidur meningkatkan tingkat stres.

Stres dapat meningkatkan kadar hormon kortisol, yang membuat tubuh tetap waspada dan sulit untuk rileks sehingga menyebabkan insomnia. Sebaliknya, beberapa individu mungkin mengalami peningkatan kebutuhan tidur sebagai mekanisme pelarian dari stres dan ketidakbahagiaan yang mereka rasakan.

2. Sakit kepala tanpa penyebab fisik jelas

Ilustrasi seseorang mengalami sakit kepala (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Stres emosional sering kali menjadi pemicu utama tension-type headache atau sakit kepala tegang. Menurut Cleveland Clinic, sakit kepala tegang ditandai dengan sensasi seperti ada pita ketat yang melilit di sekitar kepala, memberikan tekanan pada dahi dan pelipis.

Ketika seseorang mengalami stres atau kecemasan, otot-otot di leher dan kulit kepala dapat menegang sebagai respons tubuh terhadap tekanan tersebut. Ketegangan otot yang berkelanjutan ini dapat menyebabkan sakit kepala tegang. Selain itu, stres juga dapat meningkatkan sensitivitas sistem saraf terhadap rasa sakit, sehingga memperburuk persepsi nyeri pada individu yang mengalami stres emosional.

3. Masalah pencernaan (sakit perut, mual, atau IBS)

Ilustrasi seseorang mengalami sakit perut (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Tubuh memiliki cara yang unik untuk memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang tidak seimbang secara emosional—salah satunya melalui sistem pencernaan. Menurut Harvard Health, saluran cerna sangat sensitif terhadap emosi seperti kemarahan, kecemasan, kesedihan, dan bahkan kegembiraan. Itu sebabnya kita sering mendengar ungkapan seperti “perut terasa mual karena gugup” atau “merasakan kupu-kupu di perut.”

Hubungan antara otak dan usus (gut-brain connection) bersifat dua arah: otak yang sedang stres bisa mengganggu sistem pencernaan, sementara usus yang bermasalah juga bisa mengirim sinyal yang memperburuk suasana hati.

Ketika seseorang mengalami gangguan pencernaan seperti sakit perut, mual, kembung, atau sindrom iritasi usus besar (IBS) tanpa penyebab medis yang jelas, hal ini bisa jadi merupakan manifestasi fisik dari ketidakbahagiaan emosional. Stres atau gangguan psikologis lainnya dapat memengaruhi kontraksi otot-otot di saluran cerna, mengubah proses pencernaan, dan menimbulkan ketidaknyamanan. Oleh karena itu, masalah pencernaan yang terjadi secara berulang tanpa alasan fisik yang pasti, sebaiknya tidak diabaikan—bisa jadi itu adalah sinyal bahwa tubuh sedang merespons tekanan emosional yang belum tersadari.

4. Berat badan turun atau naik secara tidak normal

Ilustrasi seorang perempuan mengalami obesitas (pexels.com/MART PRODUCTION)

Stres dan ketidakbahagiaan dapat menyebabkan perubahan nafsu makan yang signifikan. Menurut Harvard Health Publishing, stres emosional seringkali mendorong individu untuk mengonsumsi makanan tinggi lemak dan gula sebagai coping mechanism yang dapat menyebabkan peningkatan berat badan.​

Sebaliknya, beberapa orang mungkin mengalami penurunan nafsu makan di bawah tekanan, yang mengarah pada penurunan berat badan yang tidak disengaja. Perubahan pola makan ini, baik peningkatan maupun penurunan, merupakan respons tubuh terhadap stres dan dapat menjadi indikator ketidakbahagiaan yang mendalam.​

5. Burn-out: lelah emosional karena stres yang tak terkelola

Ilustrasi seseorang tengah tertidur di meja (pexels.com/Marcus Aurelius)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui bahwa burnout adalah fenomena yang muncul akibat stres kerja kronis yang tidak berhasil dikelola. Burnout ditandai dengan tiga dimensi: perasaan kelelahan energi atau kelelahan, peningkatan jarak mental dari pekerjaan seseorang, atau perasaan negatif terhadap pekerjaan seseorang, dan pengurangan efektivitas profesional.

Penting untuk membedakan antara burnout dan depresi, meskipun keduanya memiliki gejala yang mirip seperti kelelahan dan penurunan kinerja. Burnout khusus terkait dengan konteks pekerjaan, sementara depresi mencakup aspek kehidupan yang lebih luas.

Jika kelelahan emosional berlanjut dan mengganggu kehidupan sehari-hari, disarankan untuk mencari bantuan profesional guna mendapatkan penanganan yang tepat.

6. Nyeri otot atau sendi tanpa cedera

Ilustrasi seseorang mengalami sakit sendi (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Stres dan nyeri memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Menurut sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Pain Reports (NIH/NCBI), stres psikososial dapat memperkuat persepsi terhadap rasa sakit, khususnya di otot dan sendi seperti punggung, leher, dan bahu.

Ketika kamu mengalami stres emosional, tubuh sering kali merespons dengan meningkatkan ketegangan otot. Tanpa disadari, otot-otot ini terus-menerus menegang dan menyebabkan rasa nyeri walau tidak ada cedera fisik yang nyata. Inilah sebabnya banyak orang merasa "pegal terus" padahal secara medis tidak ditemukan kelainan.

7. Frekuensi pilek atau penyakit ringan meningkat

Ilustrasi seseorang mengalami pilek (pexels.com/cottonbro studio)

Menurut penelitian dari Carnegie Mellon University, stres psikologis yang berkepanjangan terbukti melemahkan sistem imun sehingga tubuh lebih mudah terserang flu, batuk, dan infeksi ringan lainnya.

Stres meningkatkan kadar kortisol, yang bila terjadi terus-menerus akan membuat tubuh tidak responsif terhadap hormon imun. Akibatnya, produksi sel kekebalan tubuh menurun dan kamu menjadi lebih rentan terhadap penyakit meskipun pola hidupmu tampak sehat.

Ketidakbahagiaan nggak selalu terlihat dari ekspresi wajah—kadang tubuhlah yang lebih jujur mengungkapkan segalanya. Jangan abaikan sinyal-sinyal kecil yang bisa jadi pertanda sesuatu yang lebih besar. Semakin cepat kamu sadar, semakin cepat juga kamu bisa mulai memulihkan diri.

 

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febrianti Diah Kusumaningrum
EditorFebrianti Diah Kusumaningrum
Follow Us