Fenomena COVID Shame, saat Terkena COVID-19 Menjadi Aib

Pasien COVID-19 merasakan perasaan malu dan bersalah

Bagi para penyintas COVID-19, terinfeksi SARS-CoV-2 bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Dengan meningkatnya peredaran varian B.1.1.529 (Omicron) dan subvarian BA.2, jumlah kasus COVID-19 makin banyak. Bahkan, meski sudah divaksinasi pun masih ada risiko terkena.

Akan tetapi, selain harus menghadapi infeksi secara fisik, tidak sedikit pasien COVID-19 merasakan perasaan malu dan bersalah. Disebut COVID shame, fenomena ini dikatakan menjadi beban tambahan pada para pasien. Apa itu COVID shame, mengapa ini bisa dirasakan, dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasinya?

1. Mengapa COVID-19 menjadi stigma?

Fenomena COVID Shame, saat Terkena COVID-19 Menjadi AibSeorang pasien COVID-19 meletakkan kedua tangan di kepalanya. (ANTARA FOTO/REUTERS/Baz Ratner)

Dokter spesialis kedokteran jiwa RS Universitas Indonesia (RSUI), dr. Kristiane Siahaan, SpKJ, mengiyakan bahwa COVID-19 telah menjadi stigma di masyarakat. Mengapa begitu? Pertama, yang perlu kita ingat adalah COVID-19 masih tergolong baru, dan bahkan para ahli masih memahami berbagai aspek mengenai penyakit ini. 

Namun, tiba-tiba COVID-19 menjadi pandemik, kondisi yang sejatinya sudah menakutkan karena menunjukkan penyebaran yang pesat dengan tingkat kematian yang tidak main-main. Oleh karena itu, saat mendengar diagnosis COVID-19, muncullah emosi negatif, seperti cemas, takut, dan marah.

"Stigma sendiri bermacam-macam. Ada stigma pada COVID-19 itu sendiri, lalu ada stigma terhadap pasiennya," ujar dr. Kristiane saat dihubungi oleh IDN Times pada Jumat (25/2/2022).

Saat pandemik COVID-19 pertama kali dilaporkan di Indonesia pada Maret 2020, pemerintah Indonesia sudah berusaha menggalakkan berbagai aturan dan protokol kesehatan (prokes). Salah satunya adalah anjuran untuk tidak ke luar rumah kecuali untuk urusan penting.

Saat ada pasien COVID-19 yang terkena, dr. Kristiane menjelaskan bahwa muncul stigma bahwa pasien COVID-19 lalai menjalankan prokes. Dan, tidak jarang pasien juga menyalahkan dirinya sendiri. Padahal, sebenarnya, meski sudah mengikuti prokes hingga divaksinasi pun, infeksi SARS-CoV-2 tidak ada yang tahu.

"Oleh karena itu, stigma bisa terjadi saat informasi yang masuk itu hanya kita dengar, tetapi terkadang kita tidak dipilah mana yang benar atau salah," ia menjelaskan.

2. Munculnya perasaan bersalah dan malu

Fenomena COVID Shame, saat Terkena COVID-19 Menjadi Aibilustrasi pasien COVID-19 (freepik.com/freepik)

Rasa bersalah adalah saat seseorang tahu kalau ia telah melakukan hal yang salah, sementara rasa malu adalah saat seseorang khawatir orang lain menempelkan stigma dan penilaian negatif. Lalu, apa hubungannya dengan para pasien COVID-19?

Dunia sudah paranoid dengan COVID-19 sebagai penyakit parah yang tak tahu obatnya. Lalu, berbagai otoritas kesehatan sudah menerapkan berbagai aturan dan prokes.

"Pada saat pasien terkena, mereka berpikir, 'Oh, ini penyakit baru, entah bisa sembuh atau tidak'. Lalu, saat mengingat prokes tersebut, pasien lalu menuduh dirinya tidak menjalankan prokes dengan benar sehingga perasaan bersalah muncul," papar dr. Kristiane.

Selain muncul rasa bersalah akibat dari tuduhan lalai menjalankan prokes, para pasien COVID-19 juga makin merasa galau saat mengingat anggota rumah dan orang tercinta. Kemudian, rasa malu datang akibat para pasien khawatir orang-orang melihat mereka sebagai pribadi yang tidak taat aturan.

Baca Juga: Studi: Pasien COVID-19 Lebih Berisiko Kena Gangguan Mental

3. Isolasi mandiri mengunci hak manusia sebagai makhluk sosial

Fenomena COVID Shame, saat Terkena COVID-19 Menjadi Aibilustrasi pasien COVID-19 isolasi mandiri (boonehospital.com)

Di sisi lain, infeksi COVID-19 sangat mudah menular, apalagi varian Omicron dan subvariannya. Dengan tingkat penularan tinggi, maka pasien COVID-19 (umumnya yang bergejala ringan atau tanpa gejala) harus isolasi mandiri (isoman).

Hal itu saja sudah membuat para pasien COVID-19 merasa "dikucilkan" bak menderita kusta seperti pada zaman dahulu. Sebagai makhluk sosial, manusia butuh interaksi dengan manusia lain, dan isolasi hingga 2 minggu (10 hari + 3 hari tanpa gejala) menimbulkan perasaan tak mengenakkan.

“Disuruh isolasi, tidak boleh kontak, lalu saat diperiksa, orang-orang memakai pakaian hazmat atau APD, bagaimana kita tak merasa takut atau malu?” ungkap dr. Kristiane.

Sama seperti para pasien penyakit lainnya, COVID shame yang dirasakan oleh para pasien sebenarnya lumrah. Namun, yang paling penting adalah penerimaan dan pengelolaan perasaan tersebut.

“Kalau bisa, perasaan takut, malu, dan khawatir kita proses supaya bisa lebih menjadi adaptif dan kita bisa lebih berjaga-jaga,” imbuh dr. Kristiane.

4. Dampak COVID shame untuk pasien COVID-19

Fenomena COVID Shame, saat Terkena COVID-19 Menjadi Aibilustrasi gangguan mental akibat pandemik COVID-19 (unsplash.com/Ronaldo Santos)

Lalu, bagaimana jika perasaan negatif dari COVID shame ini tidak diproses? Dokter Kristiane memperingatkan bahwa dampaknya justru akan terasa panjang bagi para pasien. Perasaan negatif yang dirasakan ini malah berpotensi menghambat pemulihan pasien, menciptakan sebuah lingkaran setan.

“Kalau perasaan negatif itu dibiarkan terus-terusan, pasti akan mengganggu imunitas dan proses pemulihan jadi lebih lambat, dan makin lama pulihnya makin lama juga perasaan tersebut ada,” kata dr. Kristiane.

Beberapa penelitian terkini menemukan kalau penyintas COVID-19 didiagnosis terkena gangguan mental meski sudah sembuh. Apakah COVID shame ikut berkontribusi? Perasaan negatif yang dibiarkan menumpuk tersebut bisa menjadi salah satu faktornya.

“Setelah COVID-19, terkadang memang menyisakan gejala-gejala mental… terlihat dari berbagai penelitian bahwa angka kecemasan dan depresi pun meningkat... Selain dari imunitas, juga bisa jatuh ke kondisi gangguan mental jadinya.”

5. Berdamai dengan COVID shame

Fenomena COVID Shame, saat Terkena COVID-19 Menjadi Aibilustrasi pasien COVID-19 yang sedang isolasi mandiri (freepik.com/freepik)

Faktanya, kita masih berjuang menghadapi pandemik. Oleh karena itu, siapa pun bisa terinfeksi SARS-CoV-2, bahkan meski sudah divaksinasi lengkap plus booster serta menjalankan prokes. Saat terkonfirmasi positif, terimalah dengan lapang dada. Bila mengalami COVID shame, cobalah untuk menerima dan memprosesnya.

“Daripada kita cemas dan berpikir kematian akibat COVID-19, lebih baik kita menyadari kalau COVID-19 adalah penyakit parah dan berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk bertahan,” dr. Kristiane menyarankan.

Salah satu cara yang bisa dipakai adalah teknik mindfulness. Kalau saat ini kamu sedang berjuang melawan infeksi COVID-19, maka fokuslah pada pengobatan dan pemulihan. Terima rasa malu dan bersalah, proses perasaan tersebut, lalu tetap fokus pada tindakan selanjutnya untuk bisa segera pulih.

Tergantung pribadi masing-masing, permintaan maaf juga dapat dilakukan. Kalau pasien merasa bersalah dan permintaan maaf membuat pasien COVID-19 merasa lebih baik, maka disarankan untuk meminta maaf (setelah pulih).

Akan tetapi, sebelum minta maaf, disarankan untuk memaafkan dirinya terlebih dulu. Bagaimanapun, hati yang gembira bisa menjadi salah satu obat yang manjur. Jadi, jangan sampai pasien tenggelam dalam COVID shame karena bisa memperlambat pemulihan.

“Yang seharusnya kita hindari adalah rasa bersalah terus-menerus. Ada hal yang bisa kendalikan, dan ada hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kalau sudah di luar kendali kita, maka kita tak bisa berbuat apa-apa...

“Saat kita lebih legawa untuk menerima kondisi, imunitas kita juga akan melawan virus,” tutup dr. Kristiane.

Baca Juga: Studi: Divaksinasi COVID-19 Dongkrak Kesehatan Mental

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya