TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Apakah Stres pada Ibu Hamil Pengaruhi Kondisi Mental Anaknya Kelak?

Ibu hamil harus bisa mengelola emosinya dengan baik

ilustrasi perempuan sedang sedih (freepik.com/diana.grytsku)

Kehamilan merupakan masa yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Pasalnya, saat ibu hamil merasakan kebahagiaan karena akan memiliki buah hati, ia juga harus bisa menjaga kesehatannya serta janin yang dikandungnya dengan baik, karena akan berpengaruh pada keselamatannya dan bayinya kelak.

Hal tersebut kadang bisa bikin ibu hamil stres karena takut membahayakan atau kehilangan janinnya karena tidak bisa menjaga kesehatannya dengan baik. Contohnya, mengalami gangguan pada lambung atau tekanan darah naik karena tidak bisa menjaga pola makanannya.

Selain itu, ketidaknyamanan yang muncul selama hamil, seperti mual, muntah, sakit punggung, mudah lelah, atau sembelit, juga bisa menyebabkan ibu hamil stres. Stres terus-menerus bisa berpotensi bahaya bagi kesehatan ibu hamil maupun janinnya. Apalagi jika ibu hamil punya masalah lain yang cukup berat dan tidak punya teman bercerita, itu bisa membuatnya makin stres.

Stres yang sering terjadi selama kehamilan dikhawatirkan tidak hanya akan memengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janinnya, tetapi juga kondisi mental anaknya kelak setelah lahir. Sebab, apa yang dirasakan oleh ibunya juga bisa dirasakan oleh janin dalam kandungan.

Penelitian telah menunjukkan bahwa selama kehamilan, bayi akan merasakan apa yang ibunya rasakan dan dengan intensitas yang sama. Artinya, jika ibunya menangis, maka bayinya merasakan emosi yang sama, mengutip RMC Health System. Bahkan, sebuah studi dari University of California-Irvine menyebut bahwa keadaan emosi seorang ibu memengaruhi perkembangan bayinya, baik sebelum maupun sesudah lahir. 

Jadi, apakah stres yang dialami ibu hamil dapat memengaruhi kondisi mental anaknya kelak? Yuk, ketahui jawabannya di bawah ini!

1. Penyebab stres saat hamil

ilustrasi ibu hamil menolak makanan (freepik.com/freepik)

Dilansir March of Dimes, penyebab stres berbeda untuk setiap ibu hamil. Namun, ada beberapa hal yang sering menjadi pemicu stres pada ibu hamil. Ini dapat mencakup:

  • Mengalami ketidaknyamanan kehamilan seperti mual pada pagi hari, sembelit, kelelahan, atau sakit punggung. 
  • Perubahan hormon yang bisa mengakibatkan perubahan suasana hati saat hamil. Perubahan suasana hati bisa mempersulit penanganan stres. 
  • Merasa khawatir tentang apa yang terjadi selama persalinan dan kelahiran, atau bagaimana merawat bayi. 
  • Masalah dengan pasangan atau keluarga, atau merasa seolah-olah tidak memiliki dukungan yang cukup.

Baca Juga: 9 Kondisi selama Kehamilan yang Bisa Diturunkan dalam Keluarga

2. Cara stres menyebabkan masalah kehamilan

ilustrasi ibu hamil sakit kepala (freepik.com/freepik)

Bagaimana stres bisa memengaruhi kehamilan tidak sepenuhnya dipahami. Namun, hormon terkait stres tertentu mungkin berperan dalam menyebabkan komplikasi kehamilan tertentu.

Stres yang serius atau berkepanjangan bisa memengaruhi sistem kekebalan ibu hamil, yang melindungi dirinya dari infeksi. Ini bisa meningkatkan risiko infeksi, dan infeksi tertentu bisa meningkatkan risiko kelahiran prematur.

Cara lain stres bisa menyebabkan masalah kehamilan dapat meliputi:

  • Ketidaknyamanan kehamilan normal, seperti susah tidur, nyeri tubuh, dan mual pada pagi hari, kemungkinan terasa lebih buruk dengan stres. 
  • Ibu hamil kemungkinan mempunyai masalah makan, seperti tidak cukup makan atau makan terlalu banyak. Ini dapat membuat ibu hamil kekurangan berat badan atau mengakibatkan berat badannya bertambah terlalu banyak. Ini juga bisa meningkatkan risiko ibu hamil mengalami diabetes gestasional dan persalinan prematur (persalinan sebelum 37 minggu kehamilan)  
  • Stres bisa menyebabkan tekanan darah tinggi selama kehamilan. Hal ini menempatkan ibu hamil pada risiko kondisi tekanan darah tinggi serius, yang disebut preeklamsia, kelahiran prematur, dan bayi dengan berat lahir rendah (berat kurang dari 2,5 kg). 
  • Stres juga bisa memengaruhi cara ibu hamil merespons situasi tertentu. Beberapa orang mengatasi stres dengan merokok, minum alkohol, dan menggunakan narkoba. Jika ibu hamil mengatasi stres dengan cara tersebut, maka bisa menyebabkan masalah kesehatan yang serius bagi dirinya dan bayinya. 

Banyak orang tua khawatir bahwa stres bisa mengakibatkan keguguran, yaitu kematian bayi sebelum minggu ke-20 kehamilan. Namun, masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami hubungan antara keduanya.

Meski begitu, tinjauan ilmiah tahun 2017 mengaitkan stres prenatal dengan peningkatan risiko keguguran. Kata para peneliti, perempuan yang mengalami peristiwa besar dalam hidupnya yang negatif atau paparan stres psikologis dua kali lebih mungkin untuk mengalami keguguran dini.

Selain itu, ditemukan pula hubungan antara stres di tempat kerja dan keguguran. Ini menunjukkan pentingnya melakukan penyesuaian dan bekerja sama dengan atasan. Ini mungkin sangat dibutuhkan jika perempuan hamil bekerja pada shift malam.

3. Jenis stres yang bisa menyebabkan masalah kehamilan

ilustrasi perempuan sedang melamun (freepik.com/jcomp)

Berikut ini jenis stres yang bisa menyebabkan masalah kehamilan:

  • Peristiwa kehidupan yang negatif: Misalnya perceraian, penyakit serius, kematian anggota keluarga, atau kehilangan pekerjaan atau rumah. 
  • Peristiwa bencana: Termasuk serangan teroris, gempa bumi, atau bencana alam lainnya. 
  • Stres berkepanjangan: Jenis stres yang disebut dengan stres kronis ini dapat disebabkan oleh stres yang ibu hamil alami dalam waktu yang lama. Paparan rasisme, terutama rasisme seumur hidup, mengakibatkan peningkatan stres, misalnya. Hal lain yang bisa menyebabkan stres kronis mencakup masalah finansial, mempunyai pasangan yang kasar, tinggal di lingkungan yang tidak aman atau tidak stabil, dan mempunyai masalah kesehatan serius. 
  • Depresi atau kecemasan: Depresi merupakan kondisi medis yang mengakibatkan perasaan sedih dan kehilangan minat. Itu bisa memengaruhi perasaan, pikiran, dan tindakan, serta juga bisa mengganggu kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kecemasan merupakan perasaan khawatir atau takut akan hal-hal yang mungkin terjadi. Kedua kondisi tersebut bisa mempersulit ibu hamil untuk merawat dirinya sendiri dan bayinya. Oleh sebab itu, jika seseorang mengalami kondisi ini sebelum dirinya hamil, sebaiknya bicarakan dengan dokter sebelum ia berhenti atau mulai minum obat. Sebab, berhenti minum obat tiba-tiba bisa menyebabkan masalah serius bagi dirinya maupun bayinya. Jika perlu berhenti minum obat atau mengganti obat, dokter akan membantu untuk melakukan perubahan dengan aman. 
  • Stres terkait kehamilan: Beberapa orang tua kemungkinan merasakan stres serius tentang kehamilan. Mereka mungkin khawatir tentang keguguran, kesehatan bayi mereka, atau bagaimana mereka akan mengatasi persalinan serta kelahiran, dan menjadi orang tua. Jika ibu hamil merasa seperti itu, bicarakan ini dengan dokter yang menanganinya. 

Ibu hamil yang pernah mengalami peristiwa yang mengejutkan, menakutkan, atau berbahaya seperti pemerkosaan, pelecehan, bencana alam, serangan teroris, atau kematian orang yang dicintai, ada kemungkinan ia mengalami gangguan stres pasca trauma (PTSD). Ini merupakan gangguan yang berkembang sesudah seseorang mengalami kejadian traumatis.

Seseorang dengan PTSD kemungkinan memiliki:

  • Kecemasan serius. 
  • Kilas balik peristiwa tersebut. 
  • Mimpi buruk. 
  • Respons fisik (seperti detak jantung yang berpacu atau berkeringat) ketika mengingat kejadian tersebut. 
  • Menghindari tempat, aktivitas, dan orang yang mengingatkan dengan peristiwa tersebut. 
  • Merasa lebih sadar akan sesuatu. 

PTSD merupakan jenis stres yang lebih serius yang bisa berdampak negatif pada bayi. Ibu hamil dengan PTSD lebih mungkin untuk melahirkan secara prematur atau memiliki bayi dengan berat lahir rendah, dibanding ibu hamil yang tidak memiliki kondisi tersebut.

Selain itu, ibu hamil dengan PTSD juga cenderung merokok, minum alkohol, atau memiliki gangguan penggunaan zat. Hal-hal tersebut bisa meningkatkan risiko masalah selama kehamilan.

Apabila ibu hamil merasa dirinya memiliki PTSD, bicarakan dengan dokter kandungan yang menanganinya agar bisa dirujuk ke profesional kesehatan mental untuk mendapat perawatan. Perawatan untuk PTSD dapat meliputi terapi dan obat-obatan.

4. Dampak ibu hamil yang stres pada kondisi anaknya setelah lahir

ilustrasi memegang tangan bayi (freepik.com/KamranAydinov)

Menurut penelitian dalam jurnal Early Human Development, seseorang yang cemas atau mengalami depresi selama kehamilan hampir 40 persen lebih mungkin untuk memiliki bayi yang mengalami masalah tidur dibandingkan dengan yang tidak. Ini karena hormon stres kortisol yang membanjiri tubuh ketika seseorang mengalami stres berlebihan. 

Bahan kimia ini bisa melewati plasenta, memengaruhi bagian otak yang mengatur siklus tidur-bangun anak, kata penulis studi Thomas O'connor, Ph.D., seorang profesional psikiatri di University of Rochester Medical Center.

Tidur anak sering kali merupakan ukuran penting dari perkembangan yang sehat. Oleh sebab itu, penting bagi perempuan, terutama yang sedang hamil, untuk memperhatikan tingkat stres yang tinggi, yang pada akhirnya bisa memicu kecemasan dan depresi kronis.

Kelahiran prematur dan bayi lahir dengan berat yang rendah juga merupakan salah satu efek stres ibu yang paling dikenal selama kehamilan. Menurut penelitian, perempuan yang mengalami tingkat stres psikologis yang tinggi secara signifikan lebih mungkin untuk melahirkan secara prematur.

Bayi prematur rentan terhadap berbagai komplikasi di kemudian hari, termasuk penyakit paru-paru kronis, keterlambatan perkembangan, gangguan belajar, hingga kematian bayi. Bahkan, ada bukti dari studi epidemiologi dan penelitian hewan, bahwa bayi yang mengalami stres dalam kandungan lebih mungkin untuk mengembangkan masalah kesehatan kronis ketika dewasa, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan penyakit jantung.

5. Stres pada ibu hamil bisa memengaruhi kondisi mental anaknya kelak

ilustrasi anak laki-laki sedang melamun (freepik.com/freepik)

Stres merupakan contoh bagaimana janin merespons rangsangan di dalam rahim dan beradaptasi secara fisiologis. Ketika ibu hamil mengalami stres beberapa perubahan biologis terjadi, termasuk peningkatan hormon stres dan peningkatan kemungkinan infeksi intrauterine. Janin membangun dirinya sendiri secara permanen untuk menghadapi lingkungan stres tinggi semacam ini, dan begitu lahir kemungkinan berisiko lebih besar untuk sejumlah besar patologi terkait stres.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres di dalam rahim bisa memengaruhi temperamen dan perkembangan neurobehavioral bayi. Bayi yang ibunya mengalami stres tingkat tinggi ketika hamil, terutama pada trimester pertama, menunjukkan tanda-tanda depresi dan mudah tersinggung. Selain itu, mereka di dalam rahim juga lebih lambat untuk membiasakan atau menghilangkan rangsangan berulang, keterampilan yang pada bayi adalah prediktor penting dari IQ.

Menurut sebuah studi dalam jurnal Endocrinology tahun 2015, stres pada trimester pertama bisa memengaruhi mikroba vagina pada ibu hamil. Mikroba ini ditransfer ke bayi baru lahir selama persalinan pervaginam, menghasilkan perubahan pada mikrobioma usus dan perkembangan otak si kecil. 

Pada gilirannya nanti, mikroba yang terkena berdampak pada sistem kekebalan dan metabolisme bayi. Para ilmuwan percaya bahwa mikrobiota usus yang berubah berhubungan dengan risiko gangguan perkembangan saraf yang lebih besar, termasuk autisme dan skizofrenia. Efek ini diamati di laboratorium University of Pennsylvania pada tikus hamil yang harus menanggung stres seperti suara asing, bau predator, dan dikekang. Ini semua terjadi selama trimester pertama.

Hasil tes tersebut juga menunjukkan bahwa stres kemungkinan memberikan efek pada perkembangan keturunannya, jauh sebelum perempuan tersebut mengetahui bahwa ia hamil. Menurut temuan mereka dalam model tikusnya, konsisten dengan studi epidemiologi yang menunjukkan bahwa trimester pertama merupakan periode dinamis dan juga kritis untuk berbagai faktor lingkungan, stres, infeksi, dan malnutrisi, yang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan perkembangan saraf, seperti autisme, skizofrenia, dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Tim peneliti sebelumnya juga melihat stres selama pertengahan dan akhir kehamilan, tetapi mereka tidak menemukan periode ini sebagai rentan.

Fungsi psikologis perempuan selama kehamilan, tingkat kecemasan, stres, hingga kepribadian pada akhirnya bisa memengaruhi temperamen bayi. Sebab, bayi dibanjiri dengan seluruh bahan kimia yang diproduksi ibunya.

Akan tetapi, studi tahun 2019 menemukan bahwa jika seorang anak memiliki orang dewasa yang peduli, yang bisa memberikan hubungan pengasuhan yang aman dan stabil, maka akan banyak kesulitan pada masa kecil yang bisa diubah.

Baca Juga: 6 Olahraga untuk Mempercepat Kehamilan, Yuk Lakukan!

Verified Writer

Eliza Ustman

'Menulislah dengan hati, maka kamu akan mendapatkan apresiasi yang lebih berarti'

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya