TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Arrival Fallacy, Saat Pencapaian Hidup Tak Membuatmu Bahagia

Saat kebahagiaan diukur dari standar kepuasan masyarakat

ilustrasi perempuan melamun (pexels.com/Hadi Slash)

Setiap manusia memiliki ambisi dan banyak yang mengerahkan segenap usaha untuk mencapai suatu tujuan hidup. Setelah tujuan berhasil dicapai, umumnya kita akan merasa bangga atau bahagia. Namun, bagaimana jadinya jika setelah mencapai tujuan hidup kita tidak merasa bahagia? Situasi ini dinamakan arrival fallacy, yaitu asumsi yang salah ketika mencapai "tujuan".

Arrival fallacy berangkat dari gagasan yang tertanam dalam diri seseorang sejak kecil. Masyarakat cenderung mengenal kunci kebahagiaan dalam hidup yang berkaitan dengan mendapatkan pekerjaan layak, menghasilkan banyak uang, menikah, dan sebagainya. Hal-hal tersebut seolah dijadikan patokan untuk mencapai kebahagiaan.

1. Kemunculan konsep

ilustrasi perempuan sedang sedih (pexels.com/João Jesus)

Istilah arrival fallacy dicetuskan oleh seorang guru sekaligus penulis di bidang psikologi positif, Tal Ben-Shahar. Melalui bukunya berjudul Happier: Learn the Secrets to Daily Joy and Lasting Fulfillment, ia mendefinisikan arrival fallacy sebagai ilusi populer bahwa mencapai tujuan tertentu akan mengarah pada kebahagiaan. Konsep ini mengarah pada gagasan mencapai tujuan dalam proses bekerja.

Ia juga menyebutkan jika arrival fallacy telah dialami oleh para selebritas dan tokoh-tokoh sukses lainnya. Pada akhirnya, mereka mengalami kondisi mental dan penyalahgunaan zat (bahkan setelah mencapai impian-impiannya).

Orang yang mengalami arrival fallacy sering kali merasa tidak bahagia, terlebih ketika kesuksesan tidak bisa memperbaiki rasa ketidakbahagiaannya. Tidak hanya merasakan kekecewaan, tetapi juga bisa berakhir dengan perasaan putus asa dan depresi. Tidak jarang arrival fallacy hanya memperburuk ketidakbahagiaan dan kondisi mental itu sendiri.

Baca Juga: Mengenal Adverse Childhood Experience, Pengalaman Traumatis Masa Kecil

2. Penyebab

ilustrasi perempuan di area perhijauan (pexels.com/Vladimir Fukalov)

Belum banyak penelitian yang secara spesifik mengulik arrival fallacy dan penyebab pastinya. Faktor seperti memiliki hubungan bermakna dan berfokus pada hal positif bisa memicu kebahagiaan itu datang. Namun, ada kalanya kesuksesan eksternal seperti memperoleh banyak uang, mencapai puncak karier, dan mendapatkan tempat layak dalam status sosial bisa jadi tidak membawa kebahagiaan (dalam jangka panjang).

Masyarakat telah mengenal tolok ukur yang mendarah daging bahwa kebahagiaan sangat erat dengan pencapaian tujuan. Misalnya, penelitian dari Harvard tahun 2014 menemukan bahwa anak-anak generasi sekarang masih "dicekoki" gagasan bahwa pencapaian dan kesuksesan pribadi adalah kunci kebahagiaan.

3. Mekanisme

ilustrasi laki-laki berdiskusi (pexels.com/August de Richelieu)

Mencapai tujuan hidup dapat memicu pusat penghargaan di otak yang berhubungan dengan efek menenangkan. Perasaan pencapaian tersebut menjadi bagian dari identitas yang lekat dalam masyarakat. Dengan demikian, orang menyesuaikan diri sedemikian rupa untuk mencapai tujuan. Namun, pada akhirnya pencapaian tersebut ternyata kurang memuaskan dari yang diharapkan.

Ketika seseorang terlalu fokus pada orientasi hasil di masa depan, besar kemungkinannya terjerat pada ilusi kesempurnaan yang tidak dapat dicapai. Seiring waktu, persepsi ini dapat berkembang menjadi siklus pencarian hal-hal eksternal (seperti objek material) untuk memenuhi dan melengkapi kehidupan. Dengan begitu, selalu ada tujuan baru untuk menggantikan tujuan yang sudah tercapai.

4. Strategi mengatasi tolok ukur yang salah dalam menetapkan tujuan hidup

ilustrasi perempuan menikmati keindahan alam (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Poin arrival fallacy adalah, meskipun seseorang mengisi kehidupannya dengan tujuan yang makin ambisius, terkadang pencapaian tersebut tidak selalu mendatangkan kebahagiaan.

Penting untuk dipahami bahwa menetapkan tujuan hidup untuk "sukses" bukan serta-merta menjurus pada ketidakbahagiaan. Ini berkaitan dengan jawaban, apakah tujuan hidup memengaruhi suasana hati yang justru akan menjatuhkan diri sendiri.

Konsep menetapkan tujuan hidup tampaknya perlu diperbaiki untuk menghindari penetapan tujuan hidup yang keliru. Dilansir Psych Central, ada beberapa cara sederhana untuk menetapkan tujuan hidup yang lebih sehat, di antaranya:

  • Temukan kembali misi hidup menurut versi diri sendiri: Melalui eksplorasi internal dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri seperti, "Kapan aku merasa hidup?" atau "Uang bukan masalah yang besar, lantas apa yang akan aku lakukan?" mungkin menyadarkan seseorang pada misi hidupnya yang sebenarnya.
  • Mengedepankan proses, bukan hasil akhir: Penelitian menunjukkan bahwa prestasi tinggi adalah hasil dari dorongan intrinsik. Ini berkaitan dengan keinginan melakukan sesuatu untuk kepentingan yang melekat. Orang-orang sukses cenderung menikmati proses pembelajaran. Mereka juga tidak keberatan jika proses itu berlanjut di luar estimasi waktu yang diharapkan. Intinya, mereka fokus pada kebahagiaan yang dikembangkan pada setiap proses menuju tujuan. Ini tidak hanya berorientasi pada materi semata.
  • Berkomitmen pada sistem: Menetapkan tujuan yang berani dalam hidup dapat menjadi katalis perubahan yang fantastis. Akan tetapi, menetapkan saja tidak cukup. Butuh komitmen pada proses pengambilan tindakan yang dilakukan secara konsisten.
  • Menanamkan pemikiran bahwa kesuksesan sifatnya dinamis: Pahami bahwa metrik kesuksesan (misalnya karier, cinta, dan sebagainya) sifatnya dinamis. Tentukan kesuksesan dengan caramu sendiri dan optimalkan peluang yang ditemui di sepanjang jalan kehidupan.

Baca Juga: Mengapa Seseorang Bisa Memalsukan Depresi?

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya