TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Angka Bunuh Diri Meningkat selama Pandemik, Apa Penyebabnya?

Keterasingan, kecemasan, dan depresi meningkat saat pandemi

unsplash.com/Sasha Freemind

Tak bisa dimungkiri betapa dahsyatnya pandemik COVID-19 mengubah tatanan hidup kita. Bukan hanya kondisi ekonomi dan sosial, tetapi juga kondisi mental. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pandemik memiliki efek psikologis yang mendalam, seperti kecemasan, depresi, keterasingan akibat isolasi sosial, hingga ketakutan terhadap penularan.

Apabila dibiarkan berlarut-larut, kondisi kejiwaan akan memburuk dan bisa berujung pada tindakan bunuh diri, apalagi pada individu dengan gangguan kejiwaan atau memiliki riwayat gangguan sebelumnya.

Benarkah angka kematian akibat bunuh diri meningkat selama pandemik? Dan siapa saja yang rentan melakukan tindakan bunuh diri di situasi seperti sekarang? Simak penuturan dari Benny Prawira Siauw, suicidologist sekaligus founder komunitas Into the Light.

1. Pandemik menyebabkan tekanan psikologis pada masyarakat umum, tenaga medis, dan individu dengan gangguan kejiwaan

wonderwall.sg

Sejumlah penelitian dilakukan untuk memeriksa efek pandemi COVID-19 dengan kesehatan mental masyarakat umum, tenaga medis, dan individu dengan gangguan kejiwaan.

Hasilnya, menurut studi berjudul "Nationwide Survey of Psychological Distress among Chinese People in the COVID-19 Epidemic: Implications and Policy Recommendations" yang diterbitkan di jurnal "General Psychiatry", ditemukan ada 35 persen dari 52.730 orang di Tiongkok yang mengalami tekanan psikologis.

Sementara, menurut studi berjudul "The Impact of COVID-19 Epidemic Declaration on Psychological Consequences: a Study on Active Weibo Users" yang dipublikasikan di "International Journal of Environmental Research and Public Health", pandemik membuat emosi negatif meningkat, termasuk kecemasan, depresi, dan kemarahan. Di sisi lain, emosi positif dan kepuasan hidup berkurang.

Lebih lanjut, menurut studi berjudul "The Impact of the COVID-19 Pandemic on Suicide Rates" yang diterbitkan di "QJM: An International Journal of Medicine", menunjukkan bahwa isolasi sosial, kecemasan, ketakutan penularan, ketidakpastian, stres kronis, dan kesulitan ekonomi bisa menggiring pada tindakan bunuh diri, khususnya pada individu dengan gangguan kejiwaan yang sudah ada sebelumnya, orang dengan daya tahan tubuh rendah, orang yang tinggal di daerah dengan prevalensi COVID-19 yang tinggi, serta orang yang memiliki anggota keluarga atau teman yang meninggal dunia akibat COVID-19.

2. Siapa yang rentan melakukan tindakan bunuh diri di situasi pandemik seperti sekarang?

medicine.hsc.wvu.edu

Menurut Benny, pada dasarnya pandemik merugikan masyarakat umum dan populasi khusus. Yang dimaksud dengan populasi khusus adalah kelompok yang sebelumnya sudah rentan.

"Misalnya, orang-orang dengan gangguan jiwa punya risiko bunuh diri yang cukup tinggi. Dalam konteks pandemi, mereka dihambat dengan sedikitnya akses pengobatan. Ditambah lagi, mereka tidak bisa bertemu secara face-to-face. Padahal, mungkin mereka lebih nyaman dengan cara seperti itu daripada online," Benny menjelaskan.

Kelompok lain yang juga rentan adalah perempuan dan anak korban kekerasan domestik. Pada kondisi normal, mereka lebih leluasa untuk meminta pertolongan atau mencari akses rumah aman. Tetapi, saat pandemi, mereka terkurung di rumah dan kesulitan mencari keamanan.

"Kerentanan itu bisa dari berbagai aspek. Bukan hanya ekonomi, tetapi juga gender dan aspek kesehatan jiwanya. Bahkan, orang yang kecanduan alkohol juga rentan karena pandemi membuat mereka terjebak dalam rumah, menambah stres, dan pelariannya ke alkohol lagi," lanjut alumnus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ini.

Baca Juga: Urgent! Kamu Harus Segera ke Psikolog kalau Mengalami 7 Tanda Ini

3. Pandemik meningkatkan rasa kesepian dan membuat seseorang semakin terisolasi

medium.com

Tak sedikit orang yang merasa semakin kesepian selama pandemi. Karena dianjurkan untuk mengisolasi diri di rumah, kita tak bisa bebas bertemu orang lain seperti dulu.

Menurut survei pada orang dewasa Inggris selama masa lockdown, 24 persen orang mengaku kesepian. Jika pertanyaan yang sama ditanyakan sebelum lockdown, hanya 10 persen orang yang mengalami perasaan tersebut.

Menurut Benny, isu kesepian sudah ada sebelum pandemik. Yang perlu dicermati ialah apakah kesepian hanya dinilai dari kehadiran fisik atau dari lingkungan sosial.

"Semua orang butuh kehadiran fisik, seperti pelukan, rangkulan, dan merasakan ada kehadiran orang di hadapannya secara visual. Saat di rumah saja, banyak orang yang sulit beradaptasi dengan kondisi ini. Akan semakin sulit jika mereka tidak bisa mengelola kesepian dengan baik," tegas Benny.

Padahal, kesepian jangka panjang dikaitkan dengan risiko kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan peningkatan stres. Menurut keterangan dari laman Mental Health Foundation, kita disarankan untuk tetap terhubung dengan orang lain, baik lewat pesan teks, telepon, maupun panggilan video untuk mengatasi rasa kesepian.

4. Apa dukungan yang bisa diberikan untuk para penyintas bunuh diri?

apa.org

Sebagai founder sekaligus head coordinator Into the Light, Benny mengatakan bahwa komunitas tersebut memberikan support dalam bentuk informasi dan edukasi terkait pencegahan bunuh diri. Into the Light sendiri tidak lagi menawarkan konseling sejak tahun 2018 dan sekarang lebih fokus pada edukasi, riset, dan advokasi.

"Tentunya kami berusaha mengubah stigma (terkait bunuh diri) karena memang tujuan utama kami adalah meningkatkan kesadaran atau raising awareness," ungkap Benny.

Untuk menghapus stigma, Into the Light memberikan edukasi pada banyak pihak, termasuk tempat-tempat agama, lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO), dan berbagai institusi lain. Into the Light juga memberikan advokasi terkait pemberitaan bunuh diri dan memberikan pedoman supaya bisa diterapkan dengan baik oleh jurnalis di media massa.

Benny mengingatkan bahwa pemberitaan bunuh diri harus ditulis dengan hati-hati. Jika tidak, ini bisa memicu orang-orang dengan masalah serupa, apalagi jika mereka sedang dalam kondisi putus asa.

5. Apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kesadaran terkait bunuh diri?

biblicalcounselingcenter.org

Perjalanan untuk menghapus stigma bunuh diri masih panjang. Benny mengatakan bahwa stigma akan selalu ada. Bahkan, di negara-negara maju yang puluhan tahun melakukan gerakan kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri, masih ada berbagai kelompok yang memberikan stigma negatif.

"Untuk melawan stigma, kita harus sadar bahwa apa yang diajarkan kepada kita sedari kecil dan diamini oleh masyarakat itu belum tentu benar. Kita harus memahami bunuh diri secara utuh lewat bukti-bukti ilmiah maupun mendengar sendiri dari orang-orang yang mengalami proses sakitnya percobaan bunuh diri," tutur Benny.

Bila dibandingkan dengan tujuh tahun lalu saat Into the Light pertama berdiri, kondisi sekarang sudah jauh lebih baik. Semakin banyak orang yang peduli dan speak up soal kesehatan mental, termasuk selebriti dan figur publik. Benny berharap komunitas yang menaruh perhatian di bidang kesehatan jiwa semakin banyak dan tersebar di seluruh Indonesia, agar informasi seputar kesehatan mental bisa diakses dengan mudah oleh semua orang.

Baca Juga: Psikolog: Pelaku Inses Punya Agresivitas Tinggi dan Kontrol Diri Lemah

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya