Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi cedera lutut (pexels.com/Funkcinės Terapijos Centras)
ilustrasi cedera lutut (pexels.com/Funkcinės Terapijos Centras)

Intinya sih...

  • Jenis cedera hiperekstensi dapat terjadi pada hampir semua sendi tubuh, dengan tingkat keparahan yang bervariasi.

  • Faktor risiko cedera hiperekstensi meliputi usia, riwayat cedera sendi sebelumnya, teknik gerakan atau postur tubuh yang salah.

  • Gejala cedera hiperekstensi meliputi nyeri, memar di sekitar sendi, kelemahan dan ketidakstabilan, serta penurunan rentang gerak.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Apa kamu pernah terjatuh dan secara refleks menahan tubuh dengan tangan? Sekilas tampak seperti cedera biasa, tetapi saat pergelangan tangan tertekuk terlalu jauh ke belakang, rasa nyeri hebat kemudian muncul. Kondisi inilah yang dikenal sebagai cedera hiperekstensi, yaitu ketika sendi dipaksa bergerak melampaui batas aman rentang geraknya.

Meski terdengar mirip, tetapi cedera hiperekstensi berbeda dengan latihan hiperekstensi yang kerap dilakukan di gym menggunakan bangku khusus. Cedera hiperekstensi bisa menimbulkan dampak serius bila tidak ditangani dengan tepat.

1. Jenis cedera hiperekstensi

Cedera hiperekstensi bisa terjadi pada hampir semua sendi tubuh, dengan tingkat keparahan yang bervariasi tergantung lokasi dan penyebabnya.

Pada bagian bawah tubuh, kondisi ini kerap muncul dalam bentuk ankle hyperextension pada pergelangan kaki atau knee hyperextension pada lutut. Cedera ini biasanya terjadi akibat olahraga atau aktivitas fisik yang melibatkan banyak tekanan.

Sementara itu, di bagian atas tubuh, cedera bisa berupa elbow hyperextension pada siku, shoulder hyperextension pada bahu, hingga wrist hyperextension pada pergelangan tangan dan finger hyperextension pada jari, yang sering dipicu oleh benturan atau gerakan tiba-tiba.

Tidak hanya sendi ekstremitas, hiperekstensi juga bisa terjadi pada tulang belakang, baik lumbar spine hyperextension di punggung bawah maupun cervical spine hyperextension di leher. Cedera di area tulang belakang umumnya lebih berisiko karena bisa memengaruhi fungsi saraf sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan yang lebih serius.

2. Faktor risiko cedera hiperekstensi

Risiko mengalami cedera hiperekstensi bisa meningkat karena berbagai faktor yang berkaitan dengan kondisi tubuh maupun kebiasaan sehari-hari. Usia yang makin bertambah sering kali membuat rentang gerak menurun, otot melemah, dan keseimbangan otot terganggu, sehingga sendi lebih rentan cedera.

Riwayat cedera sendi sebelumnya juga dapat memperbesar kemungkinan terjadinya hiperekstensi, terutama jika pemulihan tidak dilakukan dengan benar. Selain itu, teknik gerakan atau postur tubuh yang salah saat beraktivitas fisik kerap menjadi pemicu.

Orang dengan kondisi joint laxity atau sendi yang longgar, serta mereka yang memiliki hypermobility atau biasa disebut “double-jointed,” juga lebih berisiko mengalami cedera hiperekstensi karena struktur sendi mereka cenderung tidak stabil.

3. Gejala dan rasa nyeri pada cedera hiperekstensi

ilustrasi cedera lutut (pexels.com/cottonbro studio)

Rasa nyeri akibat cedera hiperekstensi bisa berbeda-beda tergantung sendi yang terdampak, tetapi ada beberapa gejala umum yang perlu diwaspadai. Pada kasus yang lebih parah, sering muncul memar di sekitar sendi akibat pembuluh darah yang rusak, membuat area tersebut terasa nyeri dan sensitif saat disentuh.

Orang yang mengalami cedera ini juga kerap merasakan kelemahan dan ketidakstabilan, seolah-olah sendi bisa “copot” atau tidak mampu menopang beban dengan baik. Selain itu, penurunan rentang gerak menjadi tanda lain yang sering muncul, ditandai dengan rasa kaku atau ketat saat mencoba menggerakkan sendi.

Gejala lain meliputi nyeri tajam, kekakuan setelah istirahat, serta pembengkakan dan nyeri tekan pada area yang cedera.

4. Apa bedanya dengan latihan hiperekstensi?

Meski istilahnya sama, tetapi latihan hiperekstensi berbeda dengan cedera hiperekstensi. Latihan ini, yang juga dikenal sebagai back extension, aman dilakukan oleh orang yang tidak mengalami cedera sebagai cara memperkuat bagian belakang tubuh.

Gerakan ini menargetkan otot punggung bawah, erector spinae yang menyangga tulang belakang, gluteus di area bokong, serta hamstring di bagian belakang paha. Bagi mereka yang pernah mengalami cedera hiperekstensi pada punggung, latihan ini juga bisa dimanfaatkan dalam masa pemulihan untuk membantu meningkatkan rentang gerak tulang belakang dan mengembalikan kekuatan otot secara bertahap. Latihan tentunya harus dilakukan dengan teknik yang benar dan pengawasan yang tepat.

5. Latihan di rumah untuk mencegah cedera hiperekstensi

Beberapa latihan sederhana bisa dilakukan di rumah untuk menjaga kelenturan tulang belakang sekaligus membantu mencegah cedera hiperekstensi.

Salah satunya adalah standing “one stretch”. Untuk melakukannya, kamu bisa berdiri dengan kaki selebar bahu dan tangan di pinggang. Kemudian, perlahan regangkan tubuh ke belakang sambil menatap ke langit-langit, dan menahan posisi seiring embusan napas sebelum kembali berdiri tegak.

Ada juga floor back extension, yang mana kamu berbaring tengkurap dengan tangan di samping tubuh, lalu perlahan mengangkat dada menggunakan otot punggung bawah, menahan sebentar, dan kembali turun.

Latihan lain yang tak kalah efektif adalah superman exercise. Gerakan ini dilakukan dengan posisi tengkurap dengan tangan lurus ke depan dan kaki terentang, kemudian mengangkat tangan, dada, dan kaki bersamaan seolah sedang terbang.

6. Pemulihan dari cedera hiperekstensi

Proses pemulihan dari cedera hiperekstensi umumnya dimulai dengan metode RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation).

  • Rest atau istirahat untuk memberi kesempatan jaringan yang rusak memperbaiki diri sekaligus mencegah cedera bertambah parah.

  • Ice application dengan menempelkan kompres es selama 15–20 menit setiap dua hingga tiga jam pada area cedera. Cara ini membantu meredakan peradangan sekaligus mengurangi rasa nyeri dengan menyempitkan pembuluh darah

  • Compression menggunakan perban elastis untuk menjaga stabilitas sendi sekaligus membatasi pembengkakan.

  • Elevation dengan meninggikan area cedera di atas level jantung agar cairan tidak menumpuk pada bagian yang terluka.

Cedera hiperekstensi bisa terjadi pada siapa saja dan menimbulkan dampak serius jika diabaikan. Dengan mengenali gejala hingga penanganan yang tepat saat, risiko komplikasi bisa diminimalkan. Ingat, menjaga kekuatan dan kesehatan sendi sejak dini adalah kunci agar tetap aktif tanpa hambatan.

Referensi

"Managing joint hyperextension injuries". Health Digest. Diakses pada Agustus 2025.
Carroll, Matthew B. “Hypermobility Spectrum Disorders: A Review.” Rheumatology and Immunology Research 4, no. 2 (June 1, 2023): 60–68.
Aarabi, Bizhan, Michael Koltz, and David Ibrahimi. “Hyperextension Cervical Spine Injuries and Traumatic Central Cord Syndrome.” Neurosurgical FOCUS 25, no. 5 (November 1, 2008): E9.
Matsudaira, Ko, Miho Hiroe, Masatomo Kikkawa, Takayuki Sawada, Mari Suzuki, Tatsuya Isomura, Hiroyuki Oka, Kou Hiroe, and Ken Hiroe. “Can Standing Back Extension Exercise Improve or Prevent Low Back Pain in Japanese Care Workers?” Journal of Manual & Manipulative Therapy 23, no. 4 (January 4, 2015): 205–9.

Editorial Team