Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan pada Nakes 

Kekerasan pada nakes kerap terjadi. Bagaimana pencegahannya?

Kekerasan pada tenaga kesehatan (nakes) kembali terjadi. Sebagai contoh pada 24 April 2023 lalu. Dua dokter magang di Puskesmas Fajar Bulan, Lampung, menjadi korban kekerasan dua pasien yang tengah berobat disana.

Dikabarkan bahwa pasien tidak terima karena sakit yang dideritanya tidak kunjung membaik, padahal dokter yang merawat sudah memberikan perawatan sesuai SOP dan obat-obatan pun sudah diberikan. Video yang viral di media sosial memperlihatkan korban dicekik dan dibanting ke lantai.

Terdapat jejak panjang kasus kekerasan pada nakes di negeri ini. Dokter spesialis paru yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Nabire, Papua Tengah, tewas dibunuh pada 9 Maret 2023.

Korban bernama Mawartih Susanty, merupakan satu-satunya dokter spesialis paru di Nabire. Menurut data IDI Papua, sejak 2019 sampai Maret 2023 ada empat dokter yang menjadi korban kekerasan.

Tiga dokter spesialis tewas dan satu dokter umum terluka berat. Sementara itu, berdasarkan data Komnas Perempuan, dalam rentang 2022–2023, ada sembilan kasus kekerasan terhadap perempuan perawat yang dilaporkan ke mereka. Tiga di antaranya adalah kekerasan yang terjadi di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan dan rekan kerja.

Komnas Perempuan menyebut bahwa kekerasan pada perawat perempuan dilakukan oleh pasien, rekan kerja, maupun orang yang tidak dikenal. Pemicunya pun kadang sepele, seperti saat ayah seorang pasien anak memukuli dan menjambak seorang perawat perempuan di RS Siloam Palembang. Saat diperiksa, pelaku mengaku emosi karena melihat darah keluar dari tangan anaknya saat korban melepas infus. Kejadian seperti ini tentu memprihatinkan, terutama bagi nakes.

1. Dampak kekerasan terhadap nakes

Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan pada Nakes ilustrasi tenaga kesehatan (ANTARA FOTO/Fauzan)

Di klinik dan rumah sakit, sangat besar kemungkinan pasien dan keluarga pasien mengalami kesedihan, frustrasi, marah dan bingung. Hal ini bisa bermanifestasi menjadi perilaku agresif yang membahayakan bagi nakes maupun pasien sendiri.

Kekerasan terhadap nakes adalah risiko yang dapat menyebabkan cedera, tuntutan dan kerugian secara finansial pada ruang lingkup rumah sakit. Kekerasan terhadap nakes adalah realita yang tidak menguntungkan yang terjadi pada praktik medis.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan di tempat kerja didefinisikan sebagai insiden saat staf dilecehkan, diancam, atau diserang dalam keadaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.

Peristiwa kekerasan pada nakes termasuk cukup sering terjadi di Indonesia. Pelakunya rata-rata adalah keluarga atau penunggu pasien. Hal itu membuat para nakes mengalami rasa cemas sehingga berdampak terhadap kualitas pelayanan kesehatan dan muruah nakes sebagai nobile officium (profesi mulia).

Profesional medis yang menghadapi kekerasan diketahui dapat mengalami masalah psikologis seperti depresi, insomnia, stres pascatrauma, ketakutan, yang menyebabkan keengganan untuk bertugas di wilayah terpencil.

2. Penyebab umum kekerasan terhadap nakes

Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan pada Nakes ilustrasi tenaga nakes memeriksa pasien (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)

Beberapa penyebab umum kekerasan terhadap nakes adalah ketidakpuasan pasien dengan perawatan yang diberikan, administrasi yang buruk, miskomunikasi, masalah infrastruktur, dan penggambaran negatif tentang nakes di media.

Seorang nakes, terutama dokter, harus membekali diri dengan pengetahuan keahlian yang terstandar untuk memastikan keamanan diri sendiri dan orang lain.

Tenaga medis diharapkan mampu berkomunikasi dengan jelas, simpatik, dan memberikan peran kolaborasi antara pasien dan tenaga medis. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, memastikan pasien paham dengan informasi yang diberikan, serta bahasa tubuh yang baik penting dilakukan untuk membina hubungan baik dengan pasien.

3. Klasifikasi kekerasan di tempat kerja

Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan pada Nakes ilustrasi pelayanan kesehatan kepada pasien oleh nakes (IDN Times/Ervan)

Manajemen risiko di rumah sakit adalah kegiatan pengendalian yang menyeluruh berupa identifikasi dan evaluasi untuk mengurangi risiko cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit, dan organisasinya sendiri sesuai standar Akreditasi (The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations/JCAHO).

Kekerasan terhadap nakes termasuk dalam kategori risiko di rumah sakit yang berhubungan dengan karyawan serta risiko keselamatan dan kecelakaan kerja. Manajemen rumah sakit harus mampu mempertahankan lingkungan yang aman dan menyediakan perawatan dan kompensasi pekerja untuk cedera terkait dengan pekerjaan.

Program manajemen risiko yang terintegrasi digunakan untuk mencegah terjadinya cedera dan kerugian di rumah sakit. Risiko lainnya yang bisa terjadi jika terjadi tindakan kekerasan adalah risiko reputasi yang mana narasi media tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga bisa menyebabkan persepsi yang negatif terhadap nakes dan menurunnya kepercayaan publik terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.

Ada lima tingkat klasifikasi kekerasan di tempat kerja seperti yang dijabarkan menurut Kumari dkk. (2020), yaitu:

  • Tingkat 1: Pasien dan/atau penunggu pasien menyebabkan konflik kecil, misalnya argumen yang tidak diinginkan, berteriak, gerakan yang tidak ramah, dan ancaman emosional. Ini memengaruhi sisi psikologis dari dokter dan mengganggu rutinitas sehari-hari.
  • Tingkat 2: Kekerasan verbal yang berat, misalnya penggunaan kata-kata kasar, ancaman mati, berkomentar secara ofensif, baik secara langsung maupun lewat panggilan telepon.
  • Tingkat 3: Kekerasan fisik (mendorong, menendang/memukul, menggunakan objek seperti pisau atau pistol, menampar, mencekik, menarik rambut, yang menyebabkan gangguan moral dan psikologis namun tidak ada cedera fisik.
  • Tingkat 4: Kekerasan fisik yang menyebabkan cedera parah seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dislokasi wajah, fraktur, dan gangguan psikologis.
  • Tingkat 5: Kekerasan fisik yang menyebabkan cedera parah seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dislokasi wajah, fraktur, dan gangguan psikologis.

Oleh karena itu, manajemen risiko kekerasan pada nakes sangat penting untuk dilakukan. Ada beberapa cara untuk mengatasi kemungkinan kekerasan.

Keahlian dalam berkomunikasi kepada pasien secara baik penting dimiliki seorang nakes untuk mencegah terjadi agresi. Pada pasien ataupun keluarga pasien yang agresif, umumnya tindakan deeskalasi merupakan cara yang pertama kali dipilih untuk menenangkan pasien.

Apabila pasien bertindak agresif dan membahayakan diri sendiri maupun orang lain, bisa dipertimbangkan tindakan restriksi dengan restrain atau penggunaan obat penenang.

4. Pencegahan tindakan agresif

Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan pada Nakes ilustrasi tenaga kesehatan dan keluarga pasien (ANTARA FOTO/Fauzan)

Pencegahan tindakan agresif membutuhkan keahlian dan kepemimpinan yang kuat dari tenaga medis. Tenaga medis diharapkan mampu berkomunikasi dengan jelas, simpatik, tidak menghakimi, dan memberikan peran kolaborasi antara pasien dan tenaga medis.

Ketika bertemu dengan pasien atau keluarga pasien, perkenalkan diri dengan sopan dan bersahabat. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, memastikan penerima informasi paham, dan bahasa tubuh yang baik penting untuk membina hubungan baik dengan pasien.

Apabila pasien mengalami disorientasi atau salah memberikan informasi, tenaga medis tidak perlu mengonfrontasi atau bahkan mempermalukan pasien.

Membina hubungan yang baik tidak hanya pada pasien namun juga keluarga pasien. Keluarga pasien sering kali memiliki informasi yang dibutuhkan. Apa saja yang bisa memprovokasi pasien? Apa saja yang bisa menenangkan pasien? Keluarga juga terlibat dalam penentuan keputusan dan rencana perawatan pasien selanjutnya.

Baca Juga: Kenali Ciri-ciri Anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual

5. Deeskalasi

Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan pada Nakes ilustrasi nakes di Kota Kediri saat merawat pasien COVID-19. I(DN Times/Istimewa)

Deeskalasi adalah metode yang dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal, untuk menurunkan kemarahan dan agresi. Metode ini umumnya dilakukan dengan berkomunikasi, tetapi bisa ditambahkan pemberian medikamentosa terhadap pasien dengan agresi yang berat.

Tujuan deeskalasi adalah memberikan distraksi dan menenangkan pasien. Dalam melakukan deeskalasi, tenaga medis diharapkan mampu mengenali tanda-tanda awal agresi. Tanda eskalasi yang bisa terjadi meliputi:

  • Bicara dengan nada keras.
  • Pengguanaan bahasa yang tidak pantas, misalnya menggunakan bahasa yang tidak senonoh, melakukan intimidasi.
  • Memaksakan tindakan yang tidak diperlukan.
  • Menuduh tenaga medis berkonspirasi terhadap pasien.
  • Agresi terhadap benda mati, misalnya melempar atau memukul.
  • Tindakan agitasi, misalnya berjalan ke sana ke mari, gerakan bola mata cepat, menginvasi ruang pribadi, mengepalkan tangan, mengatupkan rahang.
  • Tidak mengikuti arahan dari petugas.

Tindakan awal yang dilakukan adalah menjauhkan pasien agresif dari sumber yang memprovokasinya ke ruang yang lebih tenang dan nyaman, tetapi tidak mengisolasi tenaga medis. Ruangan tersebut harus bebas dari benda-benda tajam atau benda yang berpotensi membahayakan.

Nakes kemudian berkomunikasi dengan pasien untuk mengklarifikasi penyebab agresi dan mencari jalan keluar terbaik tanpa memprovokasi pasien. Tetap tenang dan bersahabat, kemudian tanyakan kepada pasien seperti ”apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membantu?”

Postur tubuh merupakan media komunikasi nonverbal, dan deeskalasi dilakukan dengan menjaga ketenangan emosional, tidak mengekspresikan kecemasan atau rasa frustrasi terhadap pasien.

Nakes dibantu oleh petugas keamanan harus mampu untuk mengidentifikasi sumber daya yang ada untuk merespons reaksi emosional individu tersebut, memvalidasi keluhan pasien, memberikan informasi, serta memberikan dukungan dan komunikasi yang disetujui bersama.

Jika pasien atau keluarga pasien melakukan tindak lanjut perilaku yang lebih mengancam, seperti mengintimidasi atau menyakiti secara verbal maupun fisik kepada petugas medis, petugas rumah sakit lain harus mengimplementasikan konsekuensi yang sudah disepakati sebelumnya terhadap perilaku yang tidak aman dan tidak bisa diterima.

Tindakan yang diambil bisa meliputi "kode abu-abu" (tanda tindakan agresif atau mengancam), peringatan tertulis dari petinggi rumah sakit lalu melakukan pertemuan lanjutan untuk meninjau kembali batasan yang ada.

6. Medikamentosa

Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan pada Nakes ilustrasi obat-obatan (IDN Times/Aditya Pratama)

Ketika pemberian obat secara oral tidak memungkinkan atau dibutuhkan sedasi cepat, maka obat bisa diberikan melalui jalur parenteral. Pemilihan obat penenang berdasarkan gejala dan riwayat pasien.

Obat antipsikotik lebih baik diberikan pada pasien psikosis, manik, atau delirium. Benzodiazepine bekerja lebih baik pada gejala putus obat alkohol, epilepsi, penyakit Parkinson, atau demensia badan Lewy.

Apabila penggalian informasi kesehatan pasien tidak cukup untuk menentukan terapi pilihan, atau pasien sebelumnya tidak pernah menggunakan antipsikotik, bisa diberikan lorazepam secara intramuskular. Lorazepam juga menjadi pilihan pada pasien psikosis dengan penyakit kardiovaskular.

7. Penggunaan intervensi restriktif

Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan pada Nakes ilustrasi konsultasi dokter (freepik.com/tirachardz)

Ketika deeskalasi dan pemberian obat tidak mampu menenangkan pasien yang agresif, serta terdapat potensi tindakan yang mencederai diri sendiri dan orang lain, maka dapat dipertimbangkan intervensi restriktif.

Restrain dilakukan oleh tenaga medis terlatih, baik secara manual atau mekanik. Restrain manual dilakukan secara fisik dengan tujuan imobilisasi pasien agresi secara aman.

Sementara itu, restrain mekanik menggunakan peralatan yang telah terstandar, misalnya dengan borgol atau sabuk pengikat. Restrain tidak dilakukan secara rutin dan harus dihentikan apabila pasien sudah tenang.

Ketika melakukan restrain manual, tenaga medis harus menghindari menekan pasien ke lantai. Apabila terpaksa dilakukan, restrain dilakukan dengan posisi wajah menghadap ke atas dan tidak mengganggu jalan napas dan sirkulasi pasien. Tidak dianjurkan melakukan restrain manual selama rutin selama lebih dari 10 menit.

Tindakan kekerasan pada nakes makin sering terjadi. Tidak hanya dilakukan oleh pasien, tetapi juga keluarga pasien.

Nakes diharapkan memiliki pengetahuan, keahlian, dan manajemen risiko tindakan kekerasan yang mumpuni untuk mengatasi agresi pasien.

Tindakan awal yang dilakukan adalah mencegah agresi dengan kemampuan berkomunikasi, baik verbal maupun nonverbal, yang baik serta memberikan peran kolaborasi terhadap pasien.

Apabila terjadi eskalasi tindakan agresi, maka tenaga medis melakukan deeskalasi dengan memisahkan pasien agresif ke ruangan tersendiri yang nyaman dan aman. Kemudian dilakukan klarifikasi penyebab agresi dan mencoba bersama-sama mendiskusikan jalan keluar.

Pada kasus ketika pasien tidak bisa ditenangkan secara komunikasi dan bertindak membahayakan diri sendiri atau orang lain, maka dipertimbangan intervensi restriktif dengan pilihan restrain dan obat penenang. Tindakan restriktif ini tidak dilakukan secara rutin dan memerlukan pemantauan tanda vital untuk memastikan keamanan pasien.

Baca Juga: Kenali Ciri-ciri Anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Cirska Nadia Putri Photo Writer Cirska Nadia Putri

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya