Seorang pasien COVID-19 meletakkan kedua tangan di kepalanya. (ANTARA FOTO/REUTERS/Baz Ratner)
Dokter spesialis kedokteran jiwa RS Universitas Indonesia (RSUI), dr. Kristiane Siahaan, SpKJ, mengiyakan bahwa COVID-19 telah menjadi stigma di masyarakat. Mengapa begitu? Pertama, yang perlu kita ingat adalah COVID-19 masih tergolong baru, dan bahkan para ahli masih memahami berbagai aspek mengenai penyakit ini.
Namun, tiba-tiba COVID-19 menjadi pandemik, kondisi yang sejatinya sudah menakutkan karena menunjukkan penyebaran yang pesat dengan tingkat kematian yang tidak main-main. Oleh karena itu, saat mendengar diagnosis COVID-19, muncullah emosi negatif, seperti cemas, takut, dan marah.
"Stigma sendiri bermacam-macam. Ada stigma pada COVID-19 itu sendiri, lalu ada stigma terhadap pasiennya," ujar dr. Kristiane saat dihubungi oleh IDN Times pada Jumat (25/2/2022).
Saat pandemik COVID-19 pertama kali dilaporkan di Indonesia pada Maret 2020, pemerintah Indonesia sudah berusaha menggalakkan berbagai aturan dan protokol kesehatan (prokes). Salah satunya adalah anjuran untuk tidak ke luar rumah kecuali untuk urusan penting.
Saat ada pasien COVID-19 yang terkena, dr. Kristiane menjelaskan bahwa muncul stigma bahwa pasien COVID-19 lalai menjalankan prokes. Dan, tidak jarang pasien juga menyalahkan dirinya sendiri. Padahal, sebenarnya, meski sudah mengikuti prokes hingga divaksinasi pun, infeksi SARS-CoV-2 tidak ada yang tahu.
"Oleh karena itu, stigma bisa terjadi saat informasi yang masuk itu hanya kita dengar, tetapi terkadang kita tidak dipilah mana yang benar atau salah," ia menjelaskan.