Temuan studi ini menekankan bahwa pengurangan jam media sosial saja tidak cukup. Perlu adanya aktivitas sebagai substitusi, dan dalam hal ini, aktivitas fisiklah yang paling bermanfaat untuk mental.
Menurut para peneliti, desain studi ini bersifat longitudinal. Oleh karena itu, studi ini mampu menjelaskan hubungan kausalitas antara waktu penggunaan media sosial, waktu aktivitas fisik, dan kesehatan mental.
Meski begitu, penelitian ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, studi ini melibatkan partisipan yang terbatas dari segi latar belakang, dari usia, gender, hingga pendidikan. Akibatnya, studi ini tak bisa dipukulratakan dan perlu diuji hipotesisnya terhadap partisipan dengan latar belakang yang lebih beragam.
Selain itu, studi ini tak memberitahu apakah bentuk media sosial yang digunakan atau menjelaskan jenis aktivitas fisik yang dipilih partisipan. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika penelitian selanjutnya ikut menyingkapkan hal-hal ini.
ilustrasi media sosial (IDN Times/Aditya Pratama)
Di kesimpulannya, para peneliti mengatakan bahwa perubahan kebiasaan media sosial dan peningkatan aktivitas fisik bisa melindungi kesehatan mental. Sekali lagi, bukan hanya mengurangi jam media sosial, melainkan menggantinya dengan aktivitas fisik, meski 30 menit saja.
Media sosial sejatinya memiliki fungsi yang penting saat ini. Bukan cuma berkomunikasi, tak sedikit orang yang menggunakan media sosial sebagai ladang pekerjaan dan berbagi informasi yang penting (terutama informasi yang valid dan terbukti keabsahannya). Hanya saja, jika sudah merasa ketergantungan, inilah saatnya untuk membatasi media sosial.
"Dari waktu ke waktu, penting untuk membatasi aksesibilitas ke media sosial dan kembali ke ... gaya hidup aktif agar tetap bahagia dan sehat di era digital ini," tulis para peneliti Jerman.