ilustrasi sakit perut (freepik.com/benzoix)
Intoleransi makanan terjadi ketika kamu kesulitan mencerna makanan atau komponen makanan tertentu.
Intoleransi makanan tidak menimbulkan reaksi alergi, melainkan menyebabkan gejala gastrointestinal seperti diare, kram perut, kembung, dan gas.
Tidak seperti alergi makanan, orang-orang dengan intoleransi makanan mungkin dapat menoleransi sejumlah kecil makanan yang tidak dapat mereka toleransi, menurut Mayo Clinic.
Menurut studi dalam jurnal Nutrients, intoleransi makanan memengaruhi sekitar 20 persen populasi. Meskipun tidak mengancam jiwa, tetapi kondisi ini bisa sangat tidak nyaman.
Meskipun ada berbagai jenis intoleransi makanan dan sejumlah alasan mengapa seseorang bisa mengembangkannya, tetapi penelitian telah menunjukkan bahwa banyak kasus intoleransi makanan terjadi akibat perubahan mikrobioma usus yang dapat diperbaiki melalui penyesuaian pola makan.
Laporan kasus menggambarkan kasus ketika transplantasi mikrobiota tinja secara efektif merawat seorang perempuan dengan intoleransi makanan terhadap produk susu, gluten, telur, dan kedelai (Case Reports in Clinical Nutrition, 2021).
Dengan mengubah ekosistem mikroba yang hidup di ususnya, perempuan tersebut mengalami peningkatan signifikan pada gejala gastrointestinal, dan mampu mengonsumsi gluten kembali.
Untuk mengidentifikasi intoleransi makanan, kamu bisa membuat jurnal makanan dan gejala untuk menentukan makanan pemicu. Setelah diidentifikasi, hilangkan makanan itu dari pola makan selama beberapa minggu. Jika gejala menghilang, pertimbangkan untuk memperkenalkan kembali makanan dalam jumlah kecil, perlahan-lahan tingkatkan porsinya sesuai toleransi.
Reintroduksi bertahap memungkinkan bakteri usus berubah dan menyesuaikan diri menjadi lebih mahir dalam memecah makanan tersebut, berpotensi meningkatkan toleransi. Bekerja dengan ahli gizi dapat membantu kamu dalam proses ini.